TERKONEKSI DENGAN SANG CINTA

TERKONEKSI DENGAN SANG CINTA

 

Dalam novel-novel remaja bertema percintaan, sering dijumpai “adagium” – pepatah yang secara tradisional diyakini sebagai sebuah kebenaran bahwa, “Cinta sejati adalah cinta yang berkorban, terluka, serta berdarah-darah”. Benarkah? Dalam dunia remaja sepertinya sudah berlaku aturan bahwa percintaan yang lancar-lancar saja kurang greget. Tidak jarang sebuah percintaan putus hanya karena tiada drama, tiada tangisan dan luka hati. Cerita cinta itu baru seru jika ada drama di dalamnya. Benarkah?

Tertulis dalam 1 Yohanes 4:18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna dalam kasih.” Dalam kehidupan kekristenan, kita juga dengan mudah melihat karya Kristus di kayu salib sebagai sebuah pengorbanan. Dalam drama kisah penyaliban Kristus, kita membaca bahwa Kristus begitu takut pada malam Ia akan diserahkan ke mahkamah. Dilukiskan, “Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah”. Ia pun berdoa, “Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaku . . .” Kutipan-kutipan di atas menggambarkan kegalauan dan ketakutan yang amat sangat. Pergulatan, pergumulan Kristus ini lebih lanjut dapat kita lihat melalui film berjudul, “The Last Temptation of Christ” (1988) yang disutradari oleh Martin Scorcese berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Nicos Kazantzakis yang terbit pada tahun 1955. 

Dalam film/novel tersebut dilukiskan secara banal dan liar ketakutan dan pergumulan Kristus ketika disalibkan. Akankah Ia akan menuntaskan karya tersebut atau menyerah dan turun dari salib? Akhir dari film/novel tersebut melukiskan momen yang sangat indah ketika Kristus berkata, “Sudah selesai”. Ya, itulah ungkapan cinta Kristus kepada kita. “Sudah selesai” yang berarti bahwa Kristus sudah berhasil mengatasi ketakutannya, berhasil mengatasi perasaan terhukum dan digantikan dengan CINTA. Itulah cinta yang terbesar. Sempurna. Love without ‘why’unconditional love.

Pada sisi yang lain, kita mengenal prinsip, “Pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil tertentu atau dengan pengorbanan tertentu untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin” sebagai prinsip ekonomi. Demikian pula dalam kisah-kisah klasik kuno, kita banyak diperkenalkan tentang konsep pengorbanan untuk memperoleh hasil yang besar seperti: memenangi peperangan, mendapatkan hasil panen yang melimpah, berakhirnya wabah, dan sebagainya. Hal-hal tersebut menunjukan adanya motif-motif ekonomi atau transaksional.  Jika kita sepakat bahwa karya Kristus di kayu salib adalah sebuah pengorbanan (prinsip ekonomi), maka kita telah mereduksi peran Kristus sebagai Mesias bagi seluruh umat manusia. Karya Kristus di kayu salib adalah karya CINTA. 

Sebagai murid-murid Kristus kita perlu meneladani Kristus dalam mengamalkan cinta kepada sesama alih-alih bersikap transaksional. Bersikap transaksional sangat mudah, “Aku punya apa, kamu punya apa? Sepakat? Selesai. Atas nama cinta, maka apapun perlakuan pihak lain kepada kita harus kita tanggapi dengan sikap positif, membangun dan korektif. Sebagai makhluk yang berakal budi (homo sapiens) kita secara logis dapat “mengamini” bahwa kita perlu mengamalkan cinta kepada sesama. Namun, hal itu tidaklah mudah mudah karena kita adalah makhluk yang mempunyai perasaan dan emosi. Seringkali atas nama cinta kita sering kebablasan dengan mengabulkan semua permohonan dari orang yang kita cintai. Sebaliknya, terhadap orang yang kita benci kita menolak segala permohonannya. Kita perlu belajar mencintai secara proporsional seperti Allah mengasihi kita. Allah tidak selalu mengabulkan permohonan kita, melainkan Ia memelihara dan memberikan apa yang kita butuhkan pada waktu yang tepat.

Saat ini kita hidup dalam era “telepon pintar”. Sebuah alat kecil di genggaman tangan kita namun dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang beraneka ragam. Mulai dari fungsi pokoknya sebagai alat komunkasi, namun juga untuk memperoleh informasi, mengambil  foto serta mengolah hasil jepretan menjadi karya foto yang indah, mendapatkan ramalan cuaca serta ramalan astrologi, hingga mencari jodoh secara online. Hal ini dapat terjadi karena alat kecil/gawai tersebut berada “dalam jaringan” (daring atau online) yang terhubung dengan jaringan basis data serta informasi yang tidak terbatas. Bahkan ibadah-ibadah kita saat ini dapat dilakukan melalui jaringan internet. Pertanyaannya sekarang, apapun cara yang kita gunakan, apakah kita dapat benar-benar terhubung dengan Sang CINTA itu? 

Dalam 1 Yohanes 4: 15b, dikatakan, “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” – dengan kata lain Alkitab memberi tahu kita bahwa kita bisa berjumpa dengan Sang CINTA dan mengamalkannya dalam kehidupan kita jika kita berada dalam jaringan bersama Allah. Daring atau online serta nirkabel (= wireless). Terkoneksi dengan Allah Sang CINTA, serta dalam koneksi yang tak terbatas dengan sesama hanya dapat terjadi jika kita berada dalam jaringan yang sama dengan Allah. Untuk dapat masuk dalam jaringan itu yang kita perlukan hanyalah “sign in” dengan password, “Demi Kristus”, dan menyatukan segenap indera kita dalam doa untuk “berdialog dengan Sang CINTA dan membuka diri kita terhadap kehendak-kehendak-Nya. Mari kita upayakan agar kita tetap terkoneksi dengan Sang CINTA.



Pdt. Sri Yuliana, M.Th.