Transformasi Alkitab Di Era New Normal

Transformasi Alkitab Di Era New Normal

 

Kondisi di masa adaptasi kebiasaan baru (new normal) harus disikapi secara proporsional. Apalagi, di tengah masifnya digitalisasi, seperti aplikasi video conference, live streaming, hingga televisi streaming yang sudah memasuki ranah kehidupan.  Anak-anak belajar dari rumah dengan menggunakan perangkat digital, ibadah dilakukan melalui rekaman streaming, juga di dunia kerja hampir tidak lepas dari meeting-meeting online dan keharusan berselancar di dunia digital untuk menemukan peluang-peluang baru. Perluasan penggunaan dan percepatan teknologi digital-internet adalah sebuah keniscayaan sebagai akibat langsung dari Pandemi COVID-19.

Perkembangan teknologi komunikasi-internet (ICT: Information and Communication Technology) dan I-Pad yang diperkenalkan pada tahun 2010 (menyusul I-Phone pada 2007 sebagai smartphone pertama di dunia) yang hadir di era new normal semakin menempatkan  layanan digital pada posisi teratas yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini. Termasuk mengawali ketersediaan Alkitab versi digital. Pertanyaan yang perlu kita renungkan saat ini adalah sejauh mana perubahan dari budaya cetak ke budaya digital mempengaruhi hubungan umat manusia dengan Alkitab?

Perlu waktu kurang lebih 2000 tahun sejak perintah Tuhan Yesus untuk mewartakan Injil keseluruh dunia. Dari Yerusalem ke ujung dunia. Perlu proses yang panjang – yang diawali dari era lisan ke tulisan, dari papyrus ke perkamen, dari lebaran-lembaran kertas yang kemudian berubah ke gawai digital – tidak terlepas dari keterlibatan emosi, pengalaman spiritual dan hidup itu sendiri. Karena itu Alkitab perlu selalu diupayakan agar selalu lebih efisien dan  mampu mendekatkan komunikasi yang hidup antara manusia dengan Tuhannya dan menjadi referensi riil kehidupan manusia.

Saat ini berkat teknologi  Alkitab dapat diperoleh melalui sentuhan ujung-ujung jari di gawai digital kita. Tarian jari kita di gawai digital menuntun kita ke Google Play Store, aplikasi layanan Alkitab, tekan install dan done, begitu mudahnya saat ini kita mendapatkan Alkitab. Bayangkan seorang gadis cilik Mary Jones yang perlu menabung selama bertahun-tahun serta berjalan kaki 2x41 km hanya untuk memperoleh sebuah Alkitab yang kemudian menjadi legenda Pekabaran Injil di wilayah Wales dan menjadi awal gagasan berdirinya British and Foreign Bible Society (1804). Saat ini kita begitu mudah mendapatkan Alkitab pada gawai digital kita. Hanya sejauh ujung jari kita, bukan lagi 41 km seperti pada jaman Mary Jones. 

Sekarang di awal abad 21 manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan pada alat-alat yang dianggap dapat membantu manusia mengingat sejarah bahkan menemukan jawaban atas pergumulan hidupnya. Gawai digital dianggap sebagai alat yang efisien untuk melanggengkan ingatan manusia atau dalam istilah sekarang semacam perjumpaan yang disimulasi. Padahal semua yang disimulasikan justru menjauhkan kita dari kenyataan yang sebenarnya. Google dan Wikipedia tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang benar, karena Google adalah hasil karya bersama seluruh komunitas internet. Ia hanya menyajikan data/berita – yang seolah-olah fakta – sebelum kita menyadarinya. Kita tidak pernah tahu kejadian yang sebenarnya, tetapi kita mempercayainya dan menganggapnya sebagai kebenaran, lalu bereaksi bahkan secara berlebihan.  Selalu ada yang tidak lengkap dari apa yang disajikan di Google dan Wikipedia. Ada tiga hal dari dunia cetak yang tidak ditemukan dalam dunia digital, yaitu: [1] Hilangnya kepekaan dan kristisisme terhadap teks-teks yang disajikan. [2] Menciptakan ketakutan dan fantasi berlebihan. [3] Hilangnya kemampuan mengambil keputusan penting, karena semua orang bertanya kepada Google dan Wikipedia. 

Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menghadirkan Alkitab digital karena adanya kebutuhan masyarakat dunia akan hal tersebut. LAI menyadari dan mengakui bahwa Alkitab cetak tetap menjadi sumber informasi teologis yang akurat dan real, karena proses penulisan, penerjemahan, pencetakannya melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan dari budaya cetak ke digital tidak menjadikan manusia menjauhi Kitab Suci asalkan kita lebih bijak dan kritis untuk membedakan mana yang real dan mana yang simulasi. Hal yang perlu kita ingat bahwa kedekatan hubungan kita dengan Allah dan sesama tidaklah sesederhana memainkan jari-jari kita pada gawai digital. Percaya sepenuhnya kepada Alkitab, baik versi cetak maupun versi aplikasi digital, tidak akan menghilangkan kesadaran kita bahwa kita makhluk yang terbatas yang tetap membutuhkan kehadiran Tuhan dan sesama dalam komunikasi yang hidup. Menghadapi perubahan zaman seperti sekarang ini, kita harus berupaya menjadi manusia yang bijaksana dan peka dalam menyikapi realitas dihadapan kita, supaya kita tidak jatuh ke dalam pembuangan karena tidak mengerti apa-apa. Seperti yang dialami orang-orang Israel pada zaman nabi Yesaya dalam Yesaya 5:13, “Sebab itu umat-Ku harus pergi ke dalam pembuangan oleh sebab mereka tidak mengerti apa-apa; orang-orang yang mulia mati kelaparan, dan khalayak ramai akan menderita kehausan.”

Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa dalam perkembangan seperti apapun Alkitab cetak tidak mungkin ditiadakan dari muka bumi ini, apalagi di era new normal seperti sekarang. Alkitab versi aplikasi digital adalah pelestarian manuskrip sesuai teknologi jaman ini. Karenanya kita harus belajar menghargai Alkitab apakah dalam bentuk buku maupun dalam bentuk aplikasi digital sebagai anugerah yang berharga dalam hidup kita; “Costly grace is the gospel which must be sought again and again, the gift which must be asked for, the door at which a man must knock. Such grace is costly because it calls us to follow, and it is grace because it calls us to follow Jesus Christ” (Dietrich Bonhoeffer, 1906-1945).

Pdt. Sri Yuliana M.Th.