Tuhan Memelihara, Tuhan Menyediakan

Tuhan Memelihara, Tuhan Menyediakan

 

Pasca Perang Dunia II, terjadi ledakan jumlah penduduk dunia yang kemudian dikenal sebagai Generasi Baby Boomers, yaitu generasi yang lahir antara tahun 1946 sampai dengan 1964. Perang itu tidak hanya menyebabkan ledakan jumlah penduduk tapi juga meluluhlantakan produksi pertanian di Eropa dan Asia pada 1939-1945. Dari sanalah kemudian lahir gerakan Revolusi Hijau yang mengubah sistem produksi pangan dunia. Di satu sisi terjadi ledakan penduduk, di sisi lain terjadi revolusi pangan. Artinya sekalipun penduduknya banyak, ketersediaan pangan tercukupi. Kondisi ini secara teologis dimaknai sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan. Tuhan memelihara dan menyediakan segala sesuatunya (Providentia Dei).

Salah satu bentuk ungkapan atas pemeliharaan Tuhan tercermin juga dalam Doa Bapa Kami (Matius 6: 9-13): “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Doa yang kita ucapkan sebagai doa harian umat Kristiani di seluruh dunia. Doa memohon pemeliharaan Tuhan atas hidup kita sehari-hari. Doa memohon kecukupan atas kebutuhan kita. Melalui doa tersebut Tuhan Yesus mengajak kita untuk hidup secukupnya atau ugahari; cermat dan tidak berlebihan. Belajar hidup berdasarkan kebutuhan (needs) bukan berdasarkan keinginan (wants). Contohnya, untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain kita memerlukan alat transportasi, baik kendaraan pribadi (sepeda motor, mobil, dll) maupun transportasi publik (bus, kereta api, taxi, ojek, dll). Sebenarnya kita sudah bisa mencapai tempat yang kita tuju dengan fasilitas yang ada, namun tak dapat disangkal ada juga orang yang memerlukan Ferrari atau Lambhorgini sebagai alat transportasinya. Itulah keinginan yang tak terbatas dari orang-orang yang dengan kekayaannya memiliki keinginan untuk tetap tampil prima, serta dinilai mewah dengan status sosialnya. Sesungguhnya, Tuhan sudah memelihara dan menyediakan segala sesuatunya bagi kita, cukup untuk semua. Lalu mengapa masih ada kemiskinan dan kekurangan di mana-mana? Tentu saja ada hal yang perlu kita latih, yaitu menekan kerakusan dalam diri kita, ketidak puasan dan keinginan untuk mendapat lebih.

Pembelajaran untuk menekan keinginan memperoleh lebih dari yang dibutuhkan, sudah diajarkan oleh Allah sendiri dalam peristiwa keluaran umat Israel dari tanah Mesir. Ketika umat Israel mulai merasa kuatir dengan minimnya ketersediaan pangan, Allah tetap menunjukkan pemeliharaan-Nya, “Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.” (Kel. 16:4). Demikianlah hidup mereka terpelihara. Tuhan menyediakan daging (burung puyuh) dan manna (sejenis roti tipis) dari pagi hingga petang. Mereka hanya boleh mengambil sesuai dengan takaran kebutuhan mereka. “Ketika mereka menakarnya dengan gomer, maka orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan. Tiap-tiap orang mengumpulkan menurut keperluannya.” (Kel.16:18).

Persoalannya sekarang adalah seberapa cukup adalah cukup bagi kita? Peningkatan penghasilan seseorang atau keluarga secara otomatis juga meningkatkan standar kebutuhan hidup. Itu wajar. Namun saat ini kita hidup dalam dunia yang sadar atau tidak sadar dikendalikan oleh iklan dan berbagai tawaran mendapatkan pernik-pernik gaya hidup dengan sangat mudah. Bisa dibeli melalui toko daring (online shop) dan berbagai kemudahan cara pembayaran melalui kredit yang juga secara daring (online). Hidup kita tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan dan norma-norma hidup sehat, melainkan ditentukan oleh iklan gaya hidup dan sinetron. Inilah hiperealitas, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Baudrillard sebagai ketidakmampuan kesadaran manusia untuk membedakan antara kenyataan dengan khayalan/fantasi dalam kemajuan teknologi masa kini, khususnya dalam masyarakat yang over communicated

Situasi kenormalan baru pasca Pandemi COVID-19, secara langsung maupun tidak langsung,  mengingatkan kita akan pemeliharaan Tuhan atas diri kita dan keluarga kita. Bahwa kita masih sehat, kehidupan keseharian tetap berjalan, pelayanan kesehatan yang baik dan semakin baik, roda perekonomian tetap berputar dan terus berputar semakin cepat. Perlahan-lahan hidup kita dipulihkan. Sementara itu kita juga diingatkan untuk tetap sadar, tetap menginjak bumi setelah sekian lama berada di awang-awang hiperealitas. Perkantoran mulai dibuka. Karyawan mulai saling bertemu dalam satu ruangan. Keluarga kembali berkumpul, bertatap muka dan bersentuhan, tidak lagi melalui handphone. Keluarga-keluarga kembali memasak lagi, menghidangkan menu sehat bagi keluarga yang sebelumnya memesan makanan melalui online. Kebersamaan keluarga mengembalikan realitas kehidupan keluarga alih-alih terharu hingga menangis menyaksikan film-film drama Korea, dll.   

Tuhan memelihara umat-Nya sepanjang masa, dalam suka dan duka, namun juga menginginkan kita hidup dalam keugaharian, dan pemeliharaan Tuhan itu berdimensi sosial. Pemeliharaan Tuhan atas diri kita harus berdampak positif bagi orang-orang di sekitar kita atau orang-orang yang dipertemukan dengan kita. Semua sudah disediakan Tuhan dan cukup untuk semua. Jika kita sehat, kita tidak memerlukan obat. Jika kita cantik alami kita tidak memerlukan kosmetik, Jika kita percaya diri, kita tidak memerlukan cara untuk menyembunyikan diri kita (I’m OK. You’re OK - Harris, 1967). “Jika kita …., kita tidak memerlukan…“ Tuhan memelihara kita sepanjang masa dan pemeliharaan Tuhan cukup bagi semua. 

Pdt Sri Yuliana M. Th