// //

Wajah Arswendo  dalam Cermin Barabas

Wajah Arswendo dalam Cermin Barabas

 

Tuhan Yesus lebih dulu mencintaiku, jauh sebelum aku mengenal-Nya. Tuhan Yesus lebih dahulu mengenalku, jauh sebelum aku mengerti arti cinta. Tuhan Yesus lebih dulu mencintaiku, dan kasih itu menyelamatkan. Dalam artian sebenarnya. (dikutip dari buku Barabas Diuji Segala Segi, PT Gramedia Pustaka Utama, 2019) 

Nama Barabas atau Barabbas atau Bar-Abbas muncul dan menjadi perhatian di Injil, saat Yesus Kristus akan disalibkan. Barabas disebutkan dalam Kitab Perjanjian Baru yang dituliskan Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, dengan gaya masing-masing. Mereka berteriak pula: "Jangan Dia, melainkan Barabas!" Barabas adalah seorang penyamun (Yohanes 18:40). Dan pada waktu itu ada dalam penjara seorang yang terkenal kejahatannya yang bernama Yesus Barabas. Karena mereka sudah berkumpul di sana, Pilatus berkata kepada mereka: "Siapa yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu, Yesus Barabas atau Yesus, yang disebut Kristus? (Matius 27: 16-17)

Jika Matius dan Yohanes melukiskan Barabas sebagai seorang penjahat, penyamun, sebaliknya Lukas dan Markus menampilkan sisi lainnya sebagai pemberontak. Bisa jadi pejuang bagi bangsanya dari penjajahan Romawi. Tetapi mereka berteriak bersama-sama: "Enyahkanlah Dia, lepaskanlah Barabas bagi kami! Barabas ini dimasukkan ke dalam penjara berhubung dengan suatu pemberontakan yang telah terjadi di dalam kota dan karena pembunuhan (Lukas 23: 18-19). Dan pada waktu itu adalah seorang yang bernama Barabas sedang dipenjarakan bersama beberapa orang pemberontak lainnya. Mereka telah melakukan pembunuhan dalam pemberontakan. (Markus 15:7)

Ujung dari kisah Barabas di Kitab Suci, siapapun dia, adalah dibebaskannya dari penjara, dengan sulih Yesus Kristus, yang disalibkan. Walaupun Pontius Pilatus, yang berkuasa saat itu di Jerusalem, bisa membebaskan Yesus dengan kuasanya, ia tak melakukannya. Sekalipun Pilatus mengetahui penyerahan Yesus oleh para imam agung dan sejumlah orang lain karena kedengkian mereka, ia tak mau kehilangan jabatan. Peringatan dari istrinya pun, tak sepenuhnya diindahkannya. Padahal, istrinya sudah berpesan, “Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan,  isterinya mengirim pesan kepadanya: “Jangan engkau mencampuri perkara orang benar  itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi  tadi malam”.” (Matius 27:19)

Kisah Barabas, yang diyakini bernama Yesus Barabas, yang kontroversial itu memang menarik untuk dituliskan. Dan, Budayawan Arswendo Atmowiloto benar menuliskannya menjadi buku, berjudul “Barabas Diuji Segala Segi”, yang menjadi buku terakhirnya sebelum memenuhi panggilan Sang Khalik, 19 Juli 2019. Dalam pendahuluan bukunya, Arswendo menuliskan, “Inilah kesaksian hidup Barabas, Yesus Barabas. Nama lengkap itu tercatat karena Barabas masuk penjara, dan kebiasaan penjara adalah mencatat nama narapidana secara lengkap, dengan semua nama alias atau nama yang pernah dipergunakan.”

Meski bercerita mengenai Barabas, tetapi bagi yang mengenal dekat Arswendo, buku terakhir yang ditulisnya itu sesungguhnya adalah cermin dirinya. Wajah Arswendo-lah yang nampak, ketika dia bertutur tentang Barabas, yang adalah seorang narapidana. Arswendo, yang lahir di Solo, 26 November 1948, awalnya bukanlah pengikut Kristus. Ia menikah dengan Agnes Sri Hartini secara Katolik, tetapi itu tak membuatnya serta merta menjadi seorang Kristen yang taat. Bahkan, saat ia dibaptis, dengan nama Paulus, yang dipilihkan istrinya, dengan harapan jalan hidupnya seperti Saulus yang menjadi pengikut Kristus yang setia: Paulus, tetaplah pemberontakan khas seniman dan kegagapan menyambut sapaan Allah yang selalu muncul.

Kisah dirinya itu, berulangkali diceritakan pada orang-orang terdekatnya, termasuk warga di Lingkungan Mikael Gereja Santo Matius Penginjil, Bintaro. Pernah dalam rekoleksi dan ziarah di Gua Maria Bunda Kita di Kampung Narimbang Dalam (Kanada), Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada 29 Mei 2018, Arswendo mengisahkan kedekatannya kini dengan Kristus. Ia aktif dan menjadi pengurus di lingkungan, serta menyediakan waktu benar untuk melayani Tuhan di gerejanya. Namun, dia juga mengakui masih seringkali tak mampu bersuara saat menghadapi sapaan Allah secara batin.

Kondisi ini mirip dengan Barabas, yang dituliskannya dalam buku terbitan tahun 2019, beberapa minggu setelah kepergiannya. Pada bagian “Barabas Tak Mampu Bicara”, Arswendo menuliskan, “Kalau Barabas tidak muncul di pertemuan, bukan itu alasannya. Barabas tak mengenal takut, dan siap menghadapi risiko apa saja. Maut sekalipun. Namun ada dua hal tak bisa dikuasai. Pertama, dalam pertemuan Kelompok Pendoa yang dilakukan secara terbatas di beberapa tempat berbeda – tapi hampir bisa dipastikan itu rumah milik Yusuf Arimatea yang dipinjam-pakaikan, Barabas tak mampu menjawab sapaan Bunda Maria…. Barabas memandang bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak namun taka da suara yang keluar. Sama sekali.”

Cerita hidup Arswendo yang terpaksa masuk penjara tahun 1990, gegara survei yang dimuat di Tabloid Monitor, yang dipimpinnya, semakin menempatkannya mirip dengan Barabas. Arswendo dan Barabas dipenjara “sama-sama” karena pemberontakannya, dan menanggung beban dari mereka yang ada dalam tanggung jawabnya. Sebagai pimpinan, keduanya sama-sama harus bertanggungjawab atas tindakan anak buah. Jurnalisme yang dikembangkan Monitor kala itu, yang terasa lher, vulgar, menjadi wujud pemberontakan Arswendo pada gaya jurnalistik santun, berkedalaman, bermakna, dan “tinggi”, yang dikembangkan Harian Kompas, tempatnya berkarya sebelum memimpin kelompok majalah Grup Kompas Gramedia.

Survei yang hanya mengedepankan fakta, tanpa memperhitungkan rasa (dibaca “roso”, dalam Bahasa Jawa, yang diartikan segala aspek yang multidimensi) dan keimanan orang lain, yang membuat Arswendo terjerembab dalam kehancuran, sekaligus mengajarkan pula arti penting iman yang mampu menyelamatkan dan mengasihinya. Kian meneguhkan makna keluarga dan Gereja, sebagai tempatnya berlari dari ketakutan dan berlindung. Gereja adalah keluarga besarnya, yang akan tetap menerima ia,  seperti kisah anak yang hilang (Lukas 15: 11-32). Arswendo selalu mengutarakan arti penting keluarga dalam karyanya, maupun dalam pergaulan kesehariannya.

Dalam keluarga itu, bagi Arswendo, perempuan menjadi yang utama, yang menyelamatkannya. Ia sangat mencintai istrinya, yang selalu berada di sisinya dalam suka maupun duka. Juga anak-anaknya – dua dari tiga anaknya adalah perempuan, termasuk anak-anaknya dalam karya. Ia juga menghormati dan menyintai Bunda Maria, ibunda Yesus Kristus, yang setia menemani Anaknya dalam kondisi apapun, termasuk saat menghadapi maut. Karya Arswendo, seperti Keluarga Cemara, Canting, Dua Ibu, Sudesi: Sukses dengan Satu Istri, Keluarga Bahagia, Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi, dan Berserah Itu Indah yang merupakan kesaksian pribadinya. Arswendo juga sangat menyukai lagu nDerek Dewi Maria (Mengikuti Dewi Maria), selain lagu soundtrack film Keluarga Cemara: harta yang paling berharga, adalah keluarga; istana yang paling indah, adalah keluarga….

Arti penting keluarga, khususnya kaum perempuan itu pun digambarkan Arswendo sebagai yang utama dalam bukunya “Barabas Diuji Segala Segi”. Dia menuliskannya dalam sejumlah bagian tersendiri, antara lain dengan irah-irah “Peta Kekuatan: Kaum Perempuan”, “Bunda Segala Duka”, “Diserahkan ke Ibunya”, “Jawaban Bunda Maria”, dan “Bertemu Bunda Maria”. Ia pun menyatakannya, ”Yang diakui dan dikatakan Barabas tentang Kelompok Pendoa bersaksi adalah bahwa hal ini bisa terjadi karena kekuatan utama kaum perempuan. Bunda Maria yang menjadi penyelenggara dan semua pengikutnya adalah kaum perempuan. “Bahkan aku tak mempunyai pengikut perempuan. Mungkin karena itu belum berhasil hingga saat ini.”…pengakuan Barabas menjadi penting karena masyarakat saat itu kurang mengakui keberadaan perempuan.”

Dalam hidupnya, Arswendo memang tidak pernah lelah berkarya. Novelnya, “Barabas: Diuji Segala Segi”, ditulis saat Arswendo bertarung melawan sakitnya. Ia sudah memenangi pertarungan tersebut, dengan meninggalkan kesaksian dalam iman: percaya dan taat pada Kristus, seperti yang dilakukan Barabas, mengikuti jalan Kristus hingga akhir hayatnya. Kematian menyatukannya dalam kehidupan abadi Bersama Allah. (Paulus Tri Agung Kristanto)

 

Catatan penulis:

Saya mengenal Arswendo Atmowiloto secara fisik, bukan dari karyanya, pertama kali tahun 1986 saat sebagai aktivis Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) di SMA Kolose de Britto Yogyakarta diundang majalah “Hai” untuk mengikuti pertemuan KIR di Jakarta dan Bogor. Saya bertemu di kantor redaksi “Hai”, dan cuma sesaat, karena kesibukannya. Tahun 1990, nama Arswendo “mendekat” kepada saya kembali, sebab saya harus meliput unjuk rasa terhadapnya di Yogyakarta. Saat itu saya tercatat sebagai reporter Radio Unisi FM, milik Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan koresponden Harian Surya, Surabaya. Saya bertemu lagi dengan Arswendo saat kembali bertugas di Jakarta, setelah selesai menjadi Kepala Biro Harian Kompas di Jawa Tengah, dan menempati rumah milik pribadi di Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang bersebelahan dengan Kompleks Kompas di Jalan Damai, Jakarta Selatan, tempat tinggal Arswendo dan keluarga. Kami berada dalam satu lingkungan, Santo Mikael, dan Bersama-sama menjadi pengurus. Saya mendampingi Arswendo sebagai penasihat, hingga tahun 2019, saat ia pergi untuk selamanya. Saat Arswendo, senior saya dalam karya sebagai wartawan dan warga di Lingkungan Mikael, meninggal, istrinya Agnes Sri Hartini mengabari kami untuk pertama kalinya. Ketika Arswendo kembali ke rumah dari rumah sakit, pada 15 Mei 2019, ia juga meminta saya dan keluarga ke rumahnya. Hingga saat ini, saya dan istri Agnes Prilly Dwi Rinawati, yang adalah Wakil Ketua Lingkungan Santo Mikael, serta kedua anak kami terus bersahabat, bersaudara dengan keluarga besar Arswendo.