Weinata Sairin: Firman Allah adalah Suluh

Weinata Sairin: Firman Allah adalah Suluh

“Verbum Domini lucerna pedibus nostris.(Sabda Allah adalah pelita bagi langkah-langkah kita)

Jika ada pendeta yang hingga usia lanjut tetap aktif, produktif dan akrab dengan gadget, orang itu adalah Weinata Sairin, yang akrab dipanggil Pak Wein atau Pak Weisa. Pria yang memiliki hobi membaca dan menulis ini lahir di  Jakarta, 23 Agustus 1948. Pendidikan dasar dan menengah dijalaninya di sekolah negeri. Weinata mengenang, ia tidak pernah memperoleh pelajaran Agama Kristen di sekolah, melainkan Agama Islam. Untunglah ayah dan ibunya begitu memperhatikan kerohanian anak-anaknya. Bahkan sejak remaja Weinata sudah diharapkan ayahnya untuk menjadi seorang pendeta. 

Sejak kecil Wein rajin mengikuti Sekolah Minggu. Itulah permulaan Wein mulai mengenal Alkitab dan cerita-cerita di dalamnya. Di rumah pun orang tuanya cukup sering membacakan isi Alkitab kepada Wein. Perkenalan dengan Alkitab di rumah maupun Sekolah Minggu meninggalkan kesan mendalam dalam hidup Weinata ke depannya. Ketika kecil ia begitu mengagumi kisah-kisah Alkitab, terutama berbagai kisah mukjizat. Ambil contoh, mukjizat-mukjizat Tuhan Yesus di dalam Perjanjian Baru atau cerita ketika Bangsa Israel menyeberangi Laut Teberau, sesudah keluar dari Tanah Mesir. 

Di luar cerita-cerita Alkitab, Weinata memang dikenal suka membaca. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar dirinya menyukai sastra. Gurunya memperkenalkan Weinata dengan berbagai penulis dan penyair terkenal baik Indonesia maupun dunia melalui buku-buku mereka. Tumbuh cita-cita di hatinya melanjutkan kuliah ke Fakultas Sastra. 

Namun ayahnya, sebagai seorang sesepuh dan aktivis gereja, berharap Wein masuk sekolah pendeta di Malang. Sejak masih kanak-kanak, Wein sering mendengar ayahnya menyampaikan harapannya tersebut kepada kenalan-kenalan. Pada masa itu, menurut Weinata, jarang orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seorang pendeta. Karena kehidupan pendeta seringkali tidak mudah. 

Saat duduk di bangku kelas 3 SMP, Weinata akhirnya membeli Alkitab sendiri, karena Alkitab yang ada di rumahnya dirasa kurang memadai lagi.  Terlebih kekagumannya kepada sosok Yesus dari Nasaret, yang menyelamatkan manusia dari dosa, semakin berkembang. 

Sebagai  seorang yang menggemari banyak bacaan, Alkitab dianggap Wein bukan sekadar buku biasa. Firman Tuhan begitu berarti dalam kehidupannya.  Bagi Wein Alkitab adalah buku suci yang memuat petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya di tengah dunia dan bagaimana kehidupan manusia sesudah kematiannya. Ayat-ayat di dalamnya memberi penguatan, penghiburan, dan pengharapan bagi manusia yang mengalami pergumulan dalam hidup. Pendeknya, Firman Allah adalah suluh kehidupan. 

Merenungkan isi Firman Tuhan membuatnya sadar,  begitu banyak perbuatannya yang menyimpang dari kehendak Tuhan. Namun, Firman Tuhan juga menyatakan Allah mengasihi setiap orang bagaimanapun keberadaannya. Pada titik inilah Weinata belajar untuk rendah hati, dan menyadari belas kasihan Tuhan kepada umat-Nya. Firman Tuhan mengubah kehidupan pribadi Weinata menjadi insan yang selalu  bergantung kepada Tuhan. Caranya dengan menjadikan firman Tuhan sebagai inspirasi hidupnya, Melalui Kitab Suci, Weinata menjadikan “agenda Tuhan” menjadi agenda hidupnya.

Begitu lulus SMA, ayahnya pun bertanya kembali, ”Bagaimana Wein, sekarang kau sudah lulus SMA. Sudah mantap untuk ke sekolah pendeta seperti yang kita bicarakan dulu?” Waktu itu tahun 1966.

“Aku tak sanggup jadi pendeta, Pak. Sangat berat rasanya jabatan itu, dan tidak sesuai dengan bakatku. Aku ingin melanjutkan ke fakultas sastra saja, sesuai dengan bakatku!” jawab Wein. Saat itu Wein melihat bayangan kekecewaan di wajah ayahnya. Namun, beliau cukup bijaksana dan menyerahkan Wein memilih jalannya sendiri.

Sebetulnya dalam hati Wein ada keinginan untuk masuk sekolah pendeta. Keinginan itu muncul karena ia rindu menyelidiki kebenaran kata-kata guru sejarahnya waktu SMP dahulu. Guru tersebut sering mengatakan “Kitab Suci orang Kristen sudah dipalsukan” dan juga sering mengeluarkan pernyataan yang menyerang agama Kristen. Kalau Wein masuk sekolah pendeta, Wein bisa mengetahui dan menyelidiki apakah pernyataan-pernyataan gurunya itu benar. 

Seperti biasa, kalau menghadapi masalah, Weinata menggumulkan masalah tersebut dalam doa. Pergumulan itu cukup memakan waktu. Berbagai pertimbangan juga memasuki benaknya. Misalnya tentang masa depan seorang pendeta, tentang hidup pendeta yang harus selalu “baik”,  dan sebagainya. Ketika pergumulan itu selesai, Wein memutuskan untuk masuk Sekolah Tinggi Teologia (STT). Ternyata, Weinata terlambat. Pendaftaran sudah ditutup. 

“Untuk tahun ini pendaftaran telah ditutup, bahkan ujian penerimaan telah dilakukan. Namun, jika Saudara berminat, bersiaplah untuk tahun depan. Tidak ada waktu terlambat untuk melayani Tuhan!” demikian informasi Tresna Purnama, seniornya yang waktu itu duduk di tingkat akhir Sekolah Tinggi Teologi-Jakarta. 

Jadi, Wein harus menanti setahun lagi. Ada perasaan kecewa di hati. “Apakah mungkin Tuhan tidak mengizinkan aku sekolah di sana?” Pikiran itu sempat terlintas di benaknya. 

Waktu setahun cukup lama. Selama menunggu satu tahun itu Weinata ikut membantu mengajar Sekolah Minggu di gereja dan mengikuti berbagai kegiatan sosial gereja lainnya. Dorongan untuk sekolah ke STT juga makin banyak diperoleh Weinata dari saudara-saudara seiman. Namun, godaan juga timbul. Sering muncul di pikirannya untuk bekerja saja  daripada harus melanjutkan sekolah selama enam tahun. 

Maka Weinata pun mengikuti kursus mengetik. Menurut seorang pamannya, kalau ia ingin bekerja di kantor, ia harus bisa mengetik. Sesudah selesai kursus, Wein melamar pekerjaan di sana-sini, lewat kenalan-kenalannya. Semua persyaratan yang diperlukan untuk melamar pekerjaan ia lengkapi. Setiap memasukkan lamaran Wein selalu berdoa, “Tuhan, jika benar Engkau mau memakai aku menjadi pelayan-Mu, tutuplah lapangan kerja bagiku dan pimpinlah aku dalam menjalani tes di STT nanti.”

Usaha Wein mencari pekerjaan ternyata memang tidak berhasil. Maka Wein pun yakin Tuhan menghendaki dirinya harus  masuk STT. Apalagi selama satu tahun ia terlibat berbagai pelayanan, matanya mulai terbuka. Ia  menyadari banyak tenaga yang diperlukan dalam pelayanan di gerejanya. Waktu satu tahun ternyata dipergunakan Tuhan untuk mempersiapkan dirinya sehingga lebih mengerti apa yang dimaksud dengan menjadi hamba-Nya. Ia mula memahami apa dan bagaimana tugas seorang pendeta. 

Akhirnya, saat ujian masuk STT pun tiba. Wein ikut dalam kesempatan pertama. Sebelum berangkat ke STT, keluarganya berkumpul dan berdoa, menyerahkan segala sesuatu pada pimpinan Tuhan. Wein sendiri, yang sudah yakin akan keputusannya, tak hentinya-hentinya memohon agar Tuhan memimpinnya dalam seleksi ujian masuk STT. 

Bulan Agustus 1967, Wein menerima surat dari STT yang menyatakan dirinya lulus dalam ujian penerimaan. Wein pun diminta agar segera mengurus berbagai persiapan masuk asrama. Hati Wein begitu gembira. Demikian pula ayah dan ibunya, gembira bercampur rasa haru ketika tahu Wein berhasil masuk STT. Pada Desember  1973, Wein lulus dari STT Jakarta, dan pada 7 November 1974 ditabiskan sebagai pendeta di Cimahi. Setahun sesudah penahbisan kependetaannya, ayah Wein dipanggil Tuhan. 

Lewat karya sebagai pendeta, Wein bukan hanya ingin memenuhi harapan ayahnya. Namun, ia pun ingin memberitakan Injil kepada banyak orang melalui tulisan-tulisannya. Bagi Wein menulis berarti menuangkan ide, gagasan, pemikiran yang bisa dibaca oleh banyak orang dan hasilnya bisa didokumentasikan. Ia yakin dengan menulis, gagasan kita bisa tersusun secara rapi, sistematis, dan terdokumentasi.  Karya seorang penulis akan tetap abadi, sekalipun dirinya sudah meninggal. Gagasannya tetap tinggal dan bahkan bisa dikembangkan orang lain.

Sebagai pendeta Wein memahami persahabatan atau relasi merupakan hal yang penting. Sebab itu, Wein selalu berusaha membina relasi dengan banyak orang tanpa memandang  latar belakang orang tersebut. Wein terlibat dalam banyak organisasi baik keagamaan, pendidikan, dan sosial. Wein selalu ingin berkawan dengan banyak orang. 

Di masa lampau Wein membina relasi dengan berkirim surat, kartu pos, ucapan hari raya, dan memberi hadiah buku karangannya yang baru terbit, tetapi sekarang lebih mudah. Di era digital dan media sosial, ia menjalin keakraban lewat WA, FB, dan Tweeter. Hampir setiap hari Wein mengirim kata-kata bijak, sapaan ringan hingga renungan yang ia buat sendiri kepada lebih dari seribu kontak lewat telepon genggamnya. Lewat pesan-pesannya Wein ingin memberikan dorongan dan motivasi bagi para sahabat. Tema tulisannya seringkali seputar kerukunan, harmoni, cinta, juga bangsa dan negara. Belakangan tulisannya juga menyasar penyadaran umat beragama, agar laku hidup setiap insan sesuai ajaran agamanya.

Selagi Tuhan memberikan kesehatan dan usia panjang, Weinata Sairin ingin hidupnya senantiasa membawa manfaat. Sekian tahun ia telah melayani Tuhan. Dirinya menyadari bahwa jalan Tuhan memang adalah yang terbaik dan ia pun merasa bahagia menjadi seorang pendeta. Dalam kebahagiaan itu, ia dengan tegak dan  berani berkata, “Tuhan, kusambut panggilan-Mu.”

 

Pdt. Weinata Sairin, M.Th., pendeta Gereja Kristen Pasundan (GKP), Ketua Pengurus LAI,  penulis buku dan renungan yang sangat produktif.