Wenas Kalangit: Mengalir Dalam Tuntunan Tuhan

Wenas Kalangit: Mengalir Dalam Tuntunan Tuhan

 

Panta Rhei, Ouden Menei, demikian ungkapan Herakletus filsuf Yunani, yang artinya: segala sesuatu mengalir, tidak ada yang tetap.” Dalam hidup kita sering menghadapi perubahan yang menimbulkan rasa kurang nyaman, terkejut dan ketidakpastian. Namun, yang terkadang tidak kita sadari di balik itu semua ada karya Sang Pencipta, yang sedang merenda jalan kehidupan kita. Ini juga yang diyakini oleh: Pdt. Dr. Wenas Kalangit, mantan Kepala Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia. 

Wenas tidak pernah berkeinginan menjadi seorang pendeta, apalagi ahli Kitab Suci yang menjadi konsultan penerjemahan Alkitab. “Menjadi pendeta tidak pernah terpikir dalam benak saya,” ujarnya. Jalan hidup menjadi pendeta bahkan menurutnya adalah sebuah kealpaan.

Awalnya Wenas bermimpi masuk ke Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) di Manado. Menjadi seorang sarjana apalagi sarjana lulusan perguruan tinggi negeri seperti Unsrat merupakan mimpi besar bagi Wenas dan anak-anak sekampungnya di Siau. Di Siau kala itu sekolah hanya tersedia sampai bangku SMA. Untuk melanjutkan kuliah paling tidak harus merantau hingga ke Manado. Namun, transportasi dari Pulau Siau di utara Sulawesi ke Manado pada 1970-an tidak semudah pada saat ini. Kapal dari dan menuju Manado tidak tentu datangnya. Komunikasi antar daerah juga hanya melalui radio. Belum sampai berangkat ke Manado, ia mendengar pendaftaran Unsrat sudah ditutup. Meskipun cukup kecewa, Wenas masih memiliki harapan untuk mencoba mendaftar ke Unsrat di tahun berikutnya. 

Melihat Wenas urung melanjutkan sekolah, kakak Wenas yang nomer tiga, seorang pendeta, bertanya,” Bagaimana kalau Wenas mencoba mendaftar ke Universitas Kristen Indonesia Timur (UKIT) Tomohon?” Terhadap tawaran kakaknya, Wenas pun bertanya balik,”Fakultas apa saja yang tersedia di UKIT selain Teologia?” Tampaknya sedari awal Wenas tidak tertarik untuk mendalami ilmu teologia. Kakaknya pun menjawab,”Kalau memilih berkuliah di UKIT, tentu saja yang terbaik adalah Fakultas Teologia.” 

Akhirnya Wenas pun berpikir, daripada berdiam diri selama setahun akan lebih baik ia menjalani kuliah. Maka ia pun menyetujui usulan kakaknya. Maka Wenas pun diantar oleh kakaknya tersebut menuju Tomohon, kebetulan kakaknya merupakan alumni dari Fakultas Teologi UKIT. Segala persayaratan administrasi dan keperluan awal Wenas di UKIT dipersiapkan oleh kakaknya. “Kakak saya baru pulang kembali ke Siau ketika ia melihat saya sudah siap untuk hidup mandiri,”katanya. “Kakak saya begitu peduli pada saya, mungkin karena saya adalah anak bungsu.” 

Wenas Kalangit memang anak bungsu dari tujuh bersaudara. Wenas dilahirkan pada 2 April 1954 di Siau, Sulawesi Utara. Sedari kecil di kampung halamannya di Siau ia dan teman-teman sebayanya sudah terbiasa bermain di seputar pelataran gereja. “Pada zaman itu halaman gereja biasanya sangat luas, dan menjadi tempat anak-anak berkumpul dan bermain,”kenangnya. Suasana persekutuan kristiani tidak hanya dirasakan ketika menjalani peribadahan Minggu saja, namun dirasakan dalam kehidupan sehari-hari di tengah penduduk yang hampir seluruhnya Kristen. Ayah Wenas adalah seorang Penolong Injil (guru Injil). Maka, nilai-nilai Kekristenan dan pendidikan iman sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini. 

Setelah Wenas mulai menjalani kuliah di Fakultas Teologi, ia tidak pernah lagi berpikir untuk memilih jalan lain. Tidak ada lagi hasrat ke Unsrat atau perguruan tinggi lainnya. Ia memilih untuk menjalani kuliahnya di UKIT dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. “Saya tidak ingin gagal, terlebih saya merasa keluarga saya merasa bangga dengan pilihan saya masuk Fakultas Teologi UKIT,”katanya.

Empat setengah tahun masa kuliah dijalani Wenas hingga ia meraih gelar Sarjana Muda pada 1976. Banyak temannya selepas meraih gelar sarjana muda memilih untuk pulang kampung dan menjadi pendeta. Namun, Wenas memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. 

Ketika menyelesaikan jenjang Sarjana Muda Teologia, Wenas menekuni Etika. Ia belum berminat menekuni bidang Biblika. Namun, kemudian Wenas beralih minat ke biblika. Tentang ini  ada sebuah kisah yang menarik. Kala menjalani studi sarjana, Wenas tinggal di rumah dosennya, Dr Keith Stevenson, yang merupakan pengajar Perjanjian Baru. Sebagai orang asing yang bertugas di Indonesia, mereka memerlukan teman yang siap membantu mereka. “Sebagai orang yang tinggal di rumah Pak Keith, saya bertekad untuk tidak membuat beliau kecewa dalam mata kuliah Perjanjian Baru,”katanya. Sejak itulah beralih minat Wenas untuk menekuni dan mendalami Perjanjian Baru. Niat awalnya demi menyenangkan Pak Keith, dan selanjutnya bertumbuh semakin mencintai bidang studi tersebut. 

Meskipun Wenas telah lulus sebagai Sarjana Teologi, namun ia tidak berhasrat untuk segera pulang ke kampungnya menjadi seorang pendeta. Ia memilih untuk menjawab tawaran dari UKIT Tomohon menjadi calon Kepala Perpustakaan Fakultas Teologia di UKIT. Namun, karena hingga awal 1980 realisasi penetapannya untuk menjadi seorang Kepala Perpustakaan tidak kunjung terwujud, Wenas akhirnya menetapkan diri untuk pulang ke kampung halamannya. “Pada sekitar tahun 1980 tersebut, sudah begitu banyak teman-teman seangkatan saya yang menjadi pendeta dan melayani di tengah-tengah jemaat, sementara saya belum menjadi apa pun,”katanya. 

Pada April 1980, Wenas ditahbiskan sebagai pendeta dan selanjutnya berkarya sebagai pendeta jemaat Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST)  di Siau. Agaknya pihak gereja mempercepat proses penahbisan karena menganggap masa dua tahun ia berkarya di UKIT sebagai masa vikariat. Sekitar setahun Wenas melayani sebagai pendeta jemaat, datanglah kembali sepucuk surat dari UKIT. Isinya tentang permohonan kepada gereja untuk mengizinkan Wenas sebagai tenaga pengajar di UKIT dalam Bidang Perjanjian Baru. Wenas tidak menolak panggilan tersebut. Sebagai hamba Tuhan, suami dari Helly Luntungan ini sekadar mengikuti setiap tugas panggilan dengan taat. 

“Kisahnya memang tidak sesederhana itu,”kata Wenas. ”Pengajar Perjanjian Baru di UKIT adalah Dr. Keith Stevenson yang seperti sudah saya ceritakan begitu dekat dengan saya. Dalam rangka kaderisasi, dosen-dosen asing perlu mempersiapkan calon penggantinya. Mungkin Pak Keith melihat ada potensi dalam diri saya untuk menjadi kader penerusnya.”

Maka berubahlah kembali arah perjalanan hidup Wenas Kalangit. Dari seorang pendeta jemaat kembali ke kampus sebagai seorang pengajar. Beberapa waktu kemudian Wenas mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi pada jenjang S2 di The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST ) di bawah bimbingan langsung Dr. Keith Stevenson di Tomohon. Di tengah masa studi, karena pembimbingnya Dr. Keith Stevenson harus pulang ke negerinya, studinya dialihkan ke STT Jakarta, di bawah bimbingan Prof. Dr. Richard Haskin. Wenas menampatkan studi magister pada tahun 1988 dan selanjutnya kembali mengajar di UKIT. Setahun kemudian, Pdt. Prof. Dr. P.D. Latuihamallo sebagai pimpinan SEAGST kembali memanggil Wenas untuk melanjutkan studi tingkat doktoral (S3) di bawah dua pembimbing utama Prof. Dr. Richard Haskin dan Prof. Dr. Liem Khiem Yang. 

Ketika menjalani studi doktoral, Wenas membawa keluarganya ke Jakarta. Maka anak-anaknya pun melanjutkan pendidikan menengah mereka di Jakarta. Wenas menyelesaikan studi doktoralnya pada 1995. 

Pada tahun 1996 di Cisarua Bogor, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menyelenggarakan Lokakarya Revisi Perjanjian Baru Terjemahan Baru. Dalam pertemuan ini LAI  memaparkan draft revisi Perjanjian Baru kepada utusan-utusan gereja dan perguruan-perguruan tinggi teologia dan meminta masukan dari mereka.  Wenas hadir mewakili Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT). Inilah perjumpaan Wenas yang pertama dengan LAI. Dalam forum tersebut Wenas bertemu dengan Pdt. Dr. Daud Soesilo, konsultan penerjemahan LAI yang berkarya di Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (UBS) kawasan Asia Pasifik. Dalam percakapan akrab dengan Pdt. Daud, beliau menawarkan Pdt. Wenas untuk bergabung dengan LAI. Namun, Wenas menolak tawaran Pdt. Daud Soesilo tersebut. “Saya baru saja menyelesaikan studi doktoral yang dibiayai oleh UKIT, masakan saya meninggalkan UKIT begitu saja,”katanya. 

Pak Daud tampaknya tidak menyerah begitu saja dan bertanya lebih lanjut,”Berapa lama ikatan dinas Pak Wenas dengan UKIT?” Wenas menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada ikatan dinas tertulis dengan UKIT, lebih kepada tanggung jawab moral. Kemudian tidak ada pembicaraan lebih lanjut selepas pertemuan di Cisarua tersebut. 

Namun agaknya LAI belum menyerah untuk melakukan pendekatan kepada Wenas Kalangit. Sekitar awal 1998, Kepala Kantor Perwakilan LAI di Manado, Bapak Eno P. Rarung menemuinya di kampus UKIT di Tomohon. Beliau diutus oleh pimpinan LAI di Jakarta. Sebenarnya masih ada keengganan Wenas untuk meninggalkan UKIT. Namun, situasi dan kondisi politik nasional di Jakarta ternyata bisa merubah keputusan hatinya. 

“Pada tahun 1998 tersebut, situasi di Jakarta memanas karena maraknya demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan. Situasi ibukota tersebut membuat kami khawatir. Ketika saya menyelesaikan studi doktoral pada 1995, anak perempuan kami yang tertua, Holy, tidak ikut pulang ke Tomohon. Ia tetap menjalani pendidikan tingkat SMA di Jakarta dan kemudian diterima di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Kunjungan Pak Rarung dari LAI, membuat saya berpikir mungkin ini jalan Tuhan untuk mendekatkan keluarga kami,”kata Wenas.  

Maka Wenas pun akhirnya menerima permintaan dari LAI untuk bergabung dalam Departemen Penerjemahan LAI. Atas keputusannya tersebut, Wenas tidak pernah menganggap semuanya sebagai kebetulan. Segala sesuatu menurutnya ada dalam rencana dan karya Tuhan.

Selanjutnya Wenas memohon izin kepada almamater tempatnya berkarya. Ternyata UKIT melepaskan Wenas dengan segenap hati dan memahami keputusan Wenas. “Bahkan, tidak ada biaya kompensasi atau kerugian yang harus saya bayarkan kepada UKIT karena perpindahan karya pelayanan saya,”kenang Wenas.  

 

Datang pertama kalinya di Bogor awal Agustus, Wenas beserta istri dan anak boleh dikatakan tidak bermodalkan apa-apa. Pada bulan-bulan pertama, karena belum memiliki tempat tinggal LAI memberikan izin kepada Wenas dan keluarga untuk tinggal di komplek Penerjemahan di Jl. Ahmad Yani, Bogor. Setelahnya Wenas pindah tinggal di Depok, untuk mendekatkan dengan tempat kuliah anak sulungnya. 

Pada 10 Agustus 1998, Wenas mulai berkarya di LAI. Tugas-tugas awal yang dijalaninya adalah menerjemahkan sebuah materi terbitan dari Persekutuan Lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies) dan mempersiapkan materi untuk buku-buku kecil petikan-petikan Alkitab (portion). Bulan September 1998, Wenas sudah dipercaya untuk ikut membawakan materi dalam Lokakarya Penerjemahan Perjanjian Lama Siau dan Perjanjian Baru Bolaang Mongondow di Hotel Tontemboan, Manado. Awal tahun berikutnya, Wenas sudah mulai dipercaya untuk mengkoordinir proyek penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah.  

Menjadi seorang Pembina Penerjemahan (Translation Officer) di lembaga-lembaga Alkitab nasional di bawah payung United Bible Societies (UBS), tidak cukup bermodalkan latar belakang pendidikan teologi dengan spesialisasi ilmu biblika. UBS memberikan tambahan syarat lain, yaitu harus mempunya bekal pengetahuan (akademis) dalam bidang studi linguistik. Maka pada 2002, LAI mengirimkan Wenas untuk studi khusus ilmu linguistik di Australian National University (ANU) di Canberra, Australia. Sepulang dari Canberra Wenas dipercaya LAI untuk mengepalai sebuah unit baru yaitu: Pusat Pengkajian Biblika (2003-2005) dan sekaligus menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah Populer “Forum Biblika” (2003=2005). Dua tahun kemudian Pdt. Wenas Kalangit dipercaya menjadi Kepala Departemen Penerjemahan LAI yang nantinya akan dijalaninya hingga memasuki masa pensiun. 

Menjadi Pembina penerjemahan yang mendampingi para penerjemah Alkitab di lapangan tentu jauh berbeda dibanding ketika mengajar kuliah. Wenas menggambarkan kalau di ruang kuliah, mahasiswa yang diajar lebih seragam dalam usia dan tingkat intelektual. Sementara anggota tim penerjemahan rata-rata berasal dari latar belakang pendidikan dan usia yang bervariasi dengan pola pikir yang juga bervariasi. “Menempatkan diri di tengah anggota tim dengan variasi pendidikan dan latar belakang yang sangat beragam tidak selalu mudah,”ujarnya. 

Wenas melanjutkan, dalam setiap proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, sejak awal sudah disampaikan bahwa terjemahan Alkitab yang dihasilkan harus bisa mengakomodasi seluruh umat kristiani penutur bahasa daerah tersebut. Maka anggota tim penerjemah diusahakan mewakili seluruh denominasi gereja penutur bahasa daerah itu. Setiap anggota tim sejak awal menyadari Alkitab yang dihasilkan nantinya menjadi Alkitab untuk semua golongan, bukan hanya milik satu golongan. 

Menurut Wenas, bahasa daerah ada merupakan anugerah atau karunia dari Tuhan. Lewat bahasa Tuhan menyapa umat-Nya. “Kita tidak pernah tahu siapa yang menciptakan bahasa, kita generasi sekarang tinggal menggunakannya. Kalau kita sampai menelantarkan bahasa daerah dan membuatnya hilang, kita merupakan generasi yang tidak bertanggung jawab melestarikan bahasa Ibu,”tegasnya. “Bagi mereka yang masih memiliki kekayaan bahasa daerah, bertanggung jawablah melestarikannya, jangan sampai suatu saat menyesal saat bahasa tersebut menghilang,”lanjutnya. 

Sepanjang karya pelayanannya yang panjang di LAI, Pdt. Wenas Kalangit telah mendampingi 30-an proyek penerjemahan Alkitab dan bagian-bagiannya ke dalam bahasa daerah. Bukan jumlah yang sedikit dan tentu memerlukan intensitas ketekunan yang tinggi. 

Saat ditanya tentang suka duka melayani sebagai konsultan penerjemahan, Wenas menyebut beberapa hal. Pelayanan di LAI memberi kesempatan Wenas menjelajah ke berbagai daerah di Indonesia dari ujung barat hingga ujung timur. Dari Nias hingga Papua. Bahkan dalam kedudukannya sebagai konsultan penerjemahan, Pdt. Wenas telah berkesempatan untuk menginjakkan kaki di banyak negara, baik dalam rangka pelatihan, seminar dan berbagai pertemuan UBS lainnya. 

Wenas menceritakan cucu-cucunya senantiasa bangga dan menyebut opa mereka hebat, ketika Wenas menceritakan pengalamannya menginjakkan kaki di berbagai tempat baik di Indonesia maupun luar negeri. ”Saya senang setiap kali menceritakan kepada anak dan cucu bahwa saya memiliki banyak teman yang tersebar di berbagai penjuru tanah air,”ujarnya. 

Sementara dukanya, Wenas menyebut, karena proyek-proyek penerjemahan Alkitab yang diselenggarakan oleh LAI demikian banyak dan padat jadwalnya, ia harus rela sekian persen waktunya dalam setahun harus berada jauh dari keluarga, karena harus mendampingi para penerjemah Alkitab di daerah. “Tetapi itu sudah menjadi panggilan dari awal yang harus dijalani dengan setia,”katanya. 

Keteganggan lainnya seringkali menyangkut sarana transportasi menuju ke daerah. Pernah Wenas harus berangkat ke Nias dalam rangka proyek revisi Alkitab Nias. Tapi di saat yang sama penerbangan Medan menuju Gunung Sitoli di Nias tidak tersedia karena adanya penutupan bandara di Nias. Akhirnya Wenas harus melakukan perjalanan panjang untuk menuju Nias. 

Dari Jakarta menuju Medan Wenas naik pesawat. Setiba di Medan, Wenas diantar oleh Slamet Ginting, Kepala Perwakilan LAI di Medan untuk menuju Sibolga. “Perjalanan dari Medan ke Sibolga lumayan jauh. Tetapi waktunya menjadi lebih lama karena sambil mengantar saya, Pak Slamet mampir ke berbagai kantor sinode gereja di berbagai tempat untuk mengantarkan pesanan Alkitab,”kenangnya.“Bahkan kami harus menginap terlebih dahulu di Tarutung,”lanjutnya. Yang menegangkan adalah perjalanan dari Pelabuhan Sibolga menuju Nias. Perjalanannya ditempuh dalam satu malam dengan kapal kayu. Ombak Samudera Hindia cukup besar mengombang-ambingkan kapal, ditampah suara berderak dari kayu-kayu tersebut sepanjang perjalanan lumayan menciutkan hati Wenas. Ia terus berdoa semoga kapal selamat sampai tujuan. “Kalau sampai kayu-kayu kapal tersebut pecah di tengah perjalanan, berarti akhir perjalanan hidup saya tercatat di antara Sibolga dan Gunung Sitoli,”kenangnya sambil tertawa.

Kali lain Wenas terlibat dalam Proyek Penerjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Seko, di Sulawesi Selatan. Dari Jakarta, Wenas naik pesawat menuju ke Palu. Dari Palu ke Bandara Seko Padang ada penerbangan. Lama penerbangan 45 menit ditempuh dengan pesawat kecil Susi Air. Yang masih lekat dalam kenangan Wenas adalah penerbangan pulang dari Seko menuju ke Palu. Dalam pesawat Susi Air yang berkapasitas 9 orang hari itu tidak ada penumpang kecuali dirinya. Jadi dalam pesawat itu cuma ada tiga orang, Wenas dan dua kru pesawat. Pilotnya menurut Wenas orang Thailand. Untuk menjaga keseimbangan pesawat, Wenas didudukkan di kursi paling belakang, jadi jaraknya dengan kokpit cukup jauh. “Sebentar-sebentar dua orang kru tersebut menengok ke belakang untuk melihat saya. Mungkin ingin memastikan apakah saya dalam keadaan aman,”kata Wenas. Menjadi satu-satunya penumpang pesawat ternyata tidak selalu nyaman. 

Perjalanan panjang hidup Wenas yang seperti mengalir mengikuti garis kehidupan diyakini olehnya bukan suatu kebetulan. Batal masuk Unsrat dan kemudian “terpaksa” masuk teologi dan seterusnya seperti dirancang oleh Tuhan untuk menetapkan jalan panjang kesejahteraan baginya, bagi keluarga dan terlebih lagi bagi rencana besar Tuhan menghadirkan Kabar Baik ke berbagai penjuru negeri. “Kalau saya tidak terlambat mendaftar masuk Unsrat bisa jadi saya tidak pernah menjadi pendeta, tidak pernah bekerja di LAI, dan menjelajahi berbagai negara,”ujarnya sambil tertawa.

“Perjalanan hidup yang sebagian besar tidak saya rancang dan tidak saya dambakan, begitu saja mengalir dan justru mendatangkan kebaikan. Saya sungguh menikmati tuntunan dan penyertaan Tuhan sejauh ini,”katanya. Tidak pernah ada penyesalan, yang ada hanya kesadaran bahwa demikianlah cara Tuhan memelihara hidupnya dan keluarganya.