PEREMPUAN SUMBER DOSA?

Artikel | 4 Des 2025

PEREMPUAN SUMBER DOSA?


Seminar Alkitab | Pdt. Ira. D. Mangililo, Ph. D.

 

Sepanjang sejarah penafsiran Alkitab, perempuan kerap diposisikan sebagai pihak yang membawa dosa ke dalam dunia. Pemahaman ini terutama dibangun di atas interpretasi tradisional terhadap Kejadian 2-3, yang secara populer digambarkan bahwa Hawa, sebagai perempuan pertama, adalah penyebab kejatuhan manusia. Konsekuensinya, perempuan dipandang lebih rendah daripada laki-laki, mendapat stigma negatif sebagai sumber godaan, dianggap tidak layak memimpin, dan berada di bawah otoritas laki-laki. Pandangan-pandangan ini tidak sekadar memengaruhi teologi, tetapi juga menopang struktur patriarki dalam masyarakat selama berabad-abad.

 

Penciptaan: Keseimbangan dan Relasionalitas

Dalam Kitab Kejadian terdapat dua versi penciptaan: Kejadian 1 dan Kejadian 2-3. Narasi pertama (Kejadian 1:1–2:4a), yang diyakini berasal dari tradisi Priestly (P), menggambarkan penciptaan dalam struktur teratur selama tujuh hari. Dalam narasi ini manusia diciptakan terakhir sebagai puncak karya Allah, “Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27).

 

Penekanan utama adalah keseimbangan dan kesetaraan ontologis. Tidak ada superioritas atau inferioritas gender; maskulinitas dan femininitas hadir bersama sebagai refleksi gambar Allah. Karena itu banyak teolog feminis menjadikan Kejadian 1:27 sebagai dasar teologis kesetaraan gender.

 

Namun narasi kedua (Kejadian 2-3), yang berasal dari tradisi Yahwist (Y), bersifat lebih antropologis dan etiologis, berfokus pada dinamika relasi manusia, asal mula kerja keras, penderitaan, dan konflik. Karl Mayer menyebutnya sebagai kisah yang menjelaskan asal-usul kehidupan manusia dan relasinya, bukan struktur hierarki gender.

 

Penciptaan Manusia dan Relasi Adam - Hawa

Phyllis Trible, seorang teolog feminis biblika, menantang anggapan bahwa perempuan dalam narasi kedua diciptakan sebagai makhluk subordinat atau sekunder. Ia menegaskan bahwa הָאָדָם (ha’adam) pada awalnya bukan laki-laki, tetapi berarti “manusia” atau “makhluk bumi”, without sexual distinction. Seksualitas baru muncul setelah Allah menciptakan perempuan sebagai עֵ֫זֶר (ezer: penolong/pendamping). Kata ezer tidak pernah memiliki konotasi subordinasi; dalam Perjanjian Lama kata ini lebih sering merujuk pada Allah sebagai penolong umat (misalnya Mazmur 33:20, 70:6). Dengan demikian ezer menunjukkan mitra setara, bukan pelayan domestik.

 

Proses penciptaan perempuan melalui tulang rusuk tidak menunjukkan inferioritas, sebab bahan penciptaan laki-laki (tanah liat) sama kasarnya dan sama rendahnya. Pembagian הָאָדָם (ha’adam) menjadi אִישׁ (ish: laki-laki) dan אִשָּׁה (ishah: perempuan) merupakan tindakan Allah yang menciptakan mutualitas relasional: saling melengkapi, bukan dominasi.

 

Seruan Adam “tulang dari tulangku, daging dari dagingku” merupakan ungkapan sukacita, bukan legitimasi kuasa. Penamaan bukan tindakan kontrol, melainkan pengakuan relasi.

 

Kejatuhan manusia dalam Kejadian 3: Keputusan Bersama, Bukan Tanggung Jawab Perempuan

Tradisi teologi Barat berabad-abad menempatkan Hawa sebagai penyebab dosa. Pandangan tokoh seperti:

Tertullian: “Hawa adalah pintu gerbang iblis.”

Thomas Aquinas: perempuan adalah “laki-laki yang gagal.”

Kitab Sirakh: “karena seorang perempuanlah dosa bermula.”

 

Pendapat-pendapat ini membangun dasar ideologis bahwa perempuan lebih emosional, lemah, dan mudah ditipu. Namun pembacaan tekstual kritis menunjukkan hal yang berbeda. Dalam Kejadian 3:6-7, Adam hadir bersama Hawa dan menyimak percakapan dengan ular. Hawa tidak menggoda Adam; ia hanya memberi buah dan Adam memilih memakannya tanpa tekanan. Kedua tokoh menunjukkan cara berpikir rasional, mempertimbangkan pilihan, dan sama-sama bebas dalam mengambil keputusan. Karena itu jatuhnya manusia bukan hasil manipulasi sepihak, tetapi akibat pelanggaran bersama yang menghancurkan relasi mutualitas.

 

Kesalahan fatal justru terjadi sesudah makan buah, ketika Adam dan Hawa saling menyalahkan, sehingga menyebabkan retaknya solidaritas dan kepercayaan.

 

Simbolisme Ular: Godaan Eksternal atau Rasionalitas Internal?

Sydney Dekker menafsirkan ular dalam Kejadian 3 bukan sebagai sosok iblis literal, melainkan sebagai simbol kesadaran dan rasionalitas manusia. Proses internal yang mendorong manusia bertanya, menimbang, dan memilih. Dengan demikian, konflik kejatuhan adalah bagian dari kedewasaan moral manusia, dan peristiwa makan buah bukan sekadar pemberontakan, tetapi latihan kemerdekaan kehendak.

 

Interpretasi ini menggeser fokus dari menyalahkan perempuan menjadi melihat pergumulan etis manusia secara universal.

 

Hukuman sebagai Konsekuensi Relasional, Bukan Kutukan Gender

Konsekuensi yang diterima Adam dan Hawa (Kejadian 3:16–19) mencerminkan realitas kehidupan manusia setelah relasi rusak, bukan struktur hierarki ilahi. Pernyataan “ia akan berkuasa atasmu” harus dibaca sebagai deskripsi realitas patriarki akibat dosa, bukan mandat normatif Allah.

 

Tubuh, Makanan, dan Keselamatan

Secara sosial, perempuan sering diasosiasikan dengan makan, nafsu, tubuh, dan seksualitas, yang akhirnya melahirkan stigma seperti tubuh ideal, seksualitas yang dikontrol, dan label emosional. Namun teolog feminis, Martha D. menunjukkan transformasi radikal melalui tindakan Yesus. Dalam Perjamuan Kudus, Yesus menyediakan roti dan anggur, memberi tubuh dan darah-Nya agar dimakan. Tindakan makan menjadi pintu keselamatan, bukan dosa. Yesus mencuci kaki murid-murid, mengambil posisi pelayan yang secara budaya dilekatkan kepada perempuan, dan melalui itu mengangkat martabat perempuan.

 

Hawa disalahkan karena makan, tetapi murid diperintahkan “makanlah”. Pada akhirnya makanan direstorasi menjadi sarana anugerah. Dengan demikian, tubuh perempuan bukan lagi sarana penghinaan, tetapi sarana keselamatan dan simbol pemulihan ciptaan.

 

Refleksi Teologis:

Melalui pembacaan yang jujur atas Kitab Suci dan sejarah penafsirannya, jelas bahwa tidak ada dasar teologis untuk menyatakan perempuan sebagai sumber dosa. Kejatuhan manusia adalah pilihan bersama Adam dan Hawa, dan dominasi gender muncul sebagai akibat dosa, bukan rancangan Allah. 

 

Dalam Kristus, martabat perempuan dipulihkan dan kesetaraan ditegakkan. Maka, gereja dipanggil untuk meninjau ulang teologi yang melukai, meninggalkan warisan penindasan yang meminggirkan perempuan, dan kembali kepada visi Allah yang memulihkan: relasi yang saling melengkapi, kesetaraan yang membebaskan, dan penghormatan terhadap setiap manusia sebagai gambar Allah. Tugas teologi bukan mempertahankan struktur ketidakadilan, melainkan menjadi kabar pembebasan. Menyembuhkan luka sejarah dan membangun komunitas yang mencerminkan kerajaan Allah.


Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia