Pekabaran Injil di Pulau Jawa dilakukan bersamaan dengan terbitnya Alkitab Terjemahan Leijdecker yang merupakan Alkitab terjemahan ke dalam bahasa Melayu Tinggi pada tahun 1733. Sejak saat itu semakin banyak pendeta dan misionaris yang dikirim untuk membantu pekabaran Injil di Indonesia. Beberapa dari mereka ditempatkan pada kota-kota yang didiami orang-orang Eropa seperti Batavia, Semarang dan Surabaya. Berita Injil memang dibawa oleh misionaris Eropa dan Amerika, namun kesaksian orang-orang awam dari suku Jawa sendirilah yang membuat Injil cepat menyebar ke desa-desa di tanah Jawa. Selain karena memang Pemerintahan Belanda tidak banyak ikut campur juga karena memang arah pemerintahannya cenderung sekuler. Pekabaran Injil seperti menemui jalan buntu karena gap bahasa dan jurang budaya antara bangsa Eropa dengan orang Jawa. Dan itulah yang juga terjadi di tanah Jawa. Tapi di akhir Abad 18 muncul sang pembawa lentera iman yang bergelar Kiai bernama Sadrach Soerapranoto. Gaya penampilannya sederhana tidak ikut-ikutan memakai gaya busana kolonial dan kharismanya terlihat memancar saat memimpin Jemaat Kristen Jawa Merdeka yang pelayanannya dipusatkan di Pedukuhan Karangjoso, wilayah Kutoarjo, Jawa Tengah.
Sadrach lahir sekitar tahun 1835 di Jepara yang adalah bagian utara Pulau Jawa dan sekitar 215 km dari Karangjasa yang ada di selatan Pulau Jawa dan nantinya menjadi pusat pelayanannya. Nama yang diberikan orangtuanya adalah Radin. Orangtuanya bekerja sebagai petani dan keberlangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh hasil panen yang didapat. Radin harus melihat bagaimana orangtuanya harus banting tulang menghidupi anak-anaknya di tengah kegagalan panen dan wabah tikus dan penyakit kolera. Oleh karena kehidupan ekonominya yang tidak membaik Radin terpaksa melanglang buana mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa. Ditengah perjalanannya dia kemudian diangkat anak oleh seorang guru agama Islam dan kemudian disana diberikan pendidikan yang layak. Karena di rasa cukup umurnya kemudian orangtua angkatnya membawa Radin untuk mengikuti Pondok Pesantren di daerah Jombang, Jawa Timur. Lydia Herwanto dalam buku Pikiran dan Aksi Kyai Sadrach: Gerakan Jemaat Kristen Jawa Merdeka (2002), mengungkapkan Radin dikenal sebagai murid yang pandai, tekun dan selalu berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Disana ia belajar membaca dan menulis bahasa Arab serta menulis pegon. Kebiasaannya saat kecil yang suka mengembara membuat Radin saat memasuki masa liburan melakukan perjalanan dan pergi ke pesantren-pesantren untuk menyempurnakan ilmunya.
Berkenalan dengan Kristen.
Perjalanan Sadrach dalam berkelana membawanya ke daerah Mojowarno yang saat itu merupakan tempat tinggal Pdt. Jelle Eeltjes Jellesma seorang misionaris asal Belanda perintis kekristenan di Jawa. Radin ikut mendengarkan Pdt. J.E. Jellesma yang sedang memberikan pengajaran kepada sekelompok orang Kristen Jawa dan bahkan sempat berdialog juga. Dialog dengan Pdt. J. E. belum serta merta membuat Radin langsung memilih Kristen lalu percaya. Namun hatinya penasaran dan diam-diam saat waktu luang kembali ke Mojowarno untuk mendengar kembali pengajaran Pdt. J. E. Jellesma. Itulah perjumpaan pertamanya dengan kekristenan. Radin kemudian menyelesaikan pendidikannya di Jombang lalu kemudian menuntut ilmu kembali di Pondok Pesantren Ponorogo dan samapi akhirnya dia selesai dan pindah dan menetap di Semarang. Di kota ini dia tinggal di Kampung Kauman yang terkenal sebagai kampung santri dengan segala kenangan budaya yang khas didalamnya. Pergaulannya dengan orang-orang Arab yang ada di Kauman membawanya untuk menambah nama belakangnya dengan Abas agar lebih mencirikan keislamannya, sehingga namanya kemudian menjadi Radin Abas.
Di suatu hari saat bersiap untuk memperdalam pendidikan agamanya, Radin bertemu dengan bekas gurunya dulu, Pak Kurmen, yang ternyata sudah menjadi Kristen setelah berdebat melawan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. Kiai ini dikenal sebagai penyebar agama Kristen yang berasal dari Muria perintis jemaat yang kemudian menyebar di desa-desa utara Pulau Jawa yang sekarang menjadi Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Ini adalah perjumpaan kedua Radin Abas dengan kekristenan dan menjadi langkah awal dirinya untuk berproses beralih belajar untuk percaya kepada Kristus.
Menjadi Kristen Jowo
Radin Abas awalnya ikut dalam pengajaran yang disampaikan misionaris dari Belanda. Setiap minggu dia rutin mengikuti ibadah yang untuk mengikutinya dia rela berjalan kaki menempuh waktu selama selama lima jam untuk beribadah di hari minggu. Ini dilakukan karena tempat tinggalnya yang jauh. Sampai kemudian akhirnya bertemu dengan Pak Kurmen yang juga memperkenalkannya ke Kiai Ibrahim Tunggul Wulung. “Sadrach merasa lebih akrab dengan Kiai Jawa ini”, ungkap C. Guillot dalam bukunya Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi Jawa (2020). Perjalanan imannya membawanya kemudian bersama Kiai Tunggul Wulung untuk bertemu dengan Mr. Frederik Lodewijk Anthing seorang Wakil Ketua Mahkamah Agung di Batavia. Radin Abas kemudian diangkat jadi anak dan tinggal di kota ini selama tiga tahun. Disana dia belajar membaca dan menulis aksara Latin dan akhirnya dibaptis tepatnya tanggal 14 April 1867 oleh Pdt. Ader di Portugeesche Buitenkerk , gereja tua yang sekarang namanya menjadi Gereja Sion dan terletak di belakang Stasiun Kota. Namanya pun ikut diganti menjadi Sadrach karena tertarik dengan kisah di Kitab Daniel yang mengisahkan tentang penafsiran mimpi-mimpi yang sejalan dengan ngelmu Jawa.
Sadrach kemudian meninggalkan Batavia dengan berjalan kaki kembali menuju Semarang. Disana membuka hutan dan bertani palawija dan menamainya desa Bondo. Pengajaran akan Kristus dan iman barunya membawa semangat baru bagi Sadrach. Saat itupun Sadrach sudah banyak pengikut yang ambil bagian dalam membuka hutan juga. Sejak dahulu kala orang Jawa selalu mencari tahu Sangkan Paraning Dumadhi atau asal mula kehidupan. Sadrach mampu menjawab orang Jawa yang datang kepadanya saat itu bahwa melalui Kristuslah awal mula kehidupan itu yang akhirnya merekapun berbondong-bondong percaya dan ikut dengan Sadrach. Sadrach dalam mengembangkan ajarannya selalu menekankan agar para pengikutnya untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari berbagai perbuatan yang tercala.
Menjadi Guru yang merdeka
Dalam perjalanannya sebagai yang baru saja menjadi seorang percaya dan kemudian mempunyai jemaat dan pengikut ada terdapat cerita yang mengisahkan ada intrik maupun singgungan yang terjadi antara Sadrach dengan misionaris dari Belanda. Padahal tidak sama sekali, ini terlihar bagaimana ia menghormati Mr. Anthing yang dianggap sebagai gurunya, lalu ada keluarga Pdt. Philipps yang juga turut membantu memotivasi Sadrach agar lebih giat belajar tentang iman kristen. Samapi pada kesimpulan Sadrach mengakui kewibawaan keluarga pendeta ini dan menamainya kang angon gembala. Pengetahuan Sadrach jauh melebihi yang dimiliki oleh orang-orang Jawa masa itu. Dia menguasai bahasa Jawa, Melayu dan Arab dan mampu menulis dengan aksara Jawa, Arab, Pegon dan Latin. Dasar ini dirasa cukup oleh Sadrach untuk tidak bergantung kepada orang Belanda dan bersiap untuk menjadi guru untuk menyebarkan kasih Kristus dengan merdeka.
Sadrach lalu pindah dari Semarang ke daerah Purworejo. Pertama sekali disana dia belum mempunyai pengikut sama sekali. Langkah kakinya membawa Sadrach tiba di daerah Sruwoh. Disana dia berhasil mengajak seorang guru bernama Kiai Ibrahim untuk menjadi Kristen dengan teknik perdebatan antarguru. Kemudian mereka berdua melakukan pekabaran Injil ke orang-orang Jawa. Iman dan pengetahuan yang dimilikinya membawa keyakinan untuk terus melayani dan menginjili dan sampai akhirnya membawa Sadrach ke daerah Karangjasa. Jarak Sruwah ke Karangjoso adalah 15,6 km. Disana Sadrach bertemu dengan Kiai Kasanmentaram yang juga adalah seorang guru. Sebenarnya mereka adalah kawan lama karena pernah mondok bersama di pesantren Jawa Timur. Sadrach tergerak juga dan mengimani akan membawa teman lamanya ini percaya dengan Kristus. Debat antarguru ini akhirnya membawa Kiai Kasanmentaram akhirnya percaya dan bersedia dibaptis. Namanya kemudian berubah menjadi Paulus. Kekristenan kemudian mengakar dan tumbuh di Karangjasa dan di desa-desa sekitarnya.
Akhir Hayat Kiai Sadrach
Karangjasa pada akhirnya berdiri sendiri tidak terikat hirarki dengan Kristen yang dibawah orang-orang Belanda dan menjadi pusat jemaat Kristen Jawa. Secara sederhana juga mereka yang baru mengikuti Kristus ini membangun tempat ibadahnya dengan bahan-bahan yang sudah ada di desanya. Atap dari rumput dan daun kelapa, dindingnya dari bambu dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Tidak ada lonceng seperti yang ditemui di gereja, mereka menggunakan bedug sebagai panggilan kebaktian.
Kiai Sadrach meninggal 14 November 1924 di tempat tidurnya. Ribuan jemaat Sadrach tersebar di antaranya di tiga karesidenan yaitu Karesidenan Pekalongan, Karesidenan Banyumas serta Karesidenan Bagelen. Sadrach memuridkan ribuan orang. Namun, jemaat-jemaat hasil pekabaran Injil yang dilakukan Sadrach sudah tidak utuh lagi. Banyak dari mereka yang kemudian bergabung ke Gereja Kristen Jawa dan Gereja Kerasulan.