Entah, apa yang ada dalam benak, Gregorius Ronald Tannur (31) saat ia mendadak marah, mengamuk dan menganiaya kekasihnya sendiri, Dini Sera Afrianti (28) hingga tewas. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka asyik berkaraoke bersama di sebuah tempat karaoke di Surabaya. Menurut keterangan beberapa saksi yang dikutip Detik.com (4 Oktober 2023), setelah dari tempat karaoke Ronald terlihat cekcok dan kemudian menendang Dini hingga jatuh terduduk. Kemudia ia memukul kepala pacarnya dengan botol minuman keras, dan yang terakhir melindas Dini dengan mobil Innova, yang membuat pacarnya terseret mobil beberapa meter dan akhirnya meninggal. Setelahnya, ia masih sempat menaikkan tubuh pacarnya ke dalam bagasi mobil. Akibat peristiwa itu, Ronald yang anak anggota DPR tersebut, ditangkap polisi dan dikenakan pasal penganiayaan. Ayahnya ikut terseret peristiwa tersebut dan dinonaktifkan sebagai anggota DPR. Sampai tulisan ini dibuat, kita belum mendengar motif Ronald menganiaya pacarnya.
Beberapa bulan yang lalu, seorang muda,Mario Dandy Satriyo, menganiaya remaja bernama David Ozora hingga mengalami koma. Menurut polisi, amarah Mario hanya dipicu bisikan pacarnya, Agnes, yang mengaku diperlakukan kurang baik oleh David. Gara-gara emosi yang tidak terkontrol, Mario divonis 12 tahun penjara oleh pengadilan. Kasusnya ikut menyeret ayahnya, Rafael Alun, seorang pejabat di Kementerian Keuangan. Harta ayahnya diselediki dan sekarang didakwa kasus pencucian uang.
Pernah ada kasus di Amerika sana, seorang murid berusia sembilan tahun mengamuk, menuangkan cat air ke bangku-bangku, komputer-komputer dan printer-printer, serta merusak sebuah mobil di lapangan parkir sekolah. Alasannya: beberapa teman kelas tiga menyebutnya “bayi”, dan murid itu ingin teman-temannya terkesan.
Setiap membaca atau mendengar berita-berita seseorang yang menyakiti orang-orang terdekatnya, sahabatnya, temannya, kekasihnya, maka dalam pikiran kita muncul pertanyaan: bagaimana hal itu mungkin terjadi? Mendengar anak-anak di bawah umur melakukan tindakan anarki, di benak kita timbul pertanyaan: kok bisa?
Semakin maraknya kekerasan atau kejahatan yang berawal dari ketidakmampuan mengendalikan emosi atau emosi yang tidak sehat membuat beberapa orang ahli kesehatan mental mengingatkan pentingnya setiap orang peduli dengan kesehatan mentalnya. Setiap orang diajak jangan hanya berfokus pada pembangunan fisik atau raga, tapi juga pembangunan jiwa.
Maka kemudian muncullah Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day) yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Tujuan Hari Kesehatan Mental Sedunia diadakan untuk mendidik kesadaran setiap insan akan pentingnya kesadaran mental. Di dalam dunia ketika setiap manusia begitu giat bekerja dan berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan meningkatkan kesehatan fisik, orang sering abai dengan kesehatan mental. Tahun ini tema yang diusung dalam perayaan Hari Kesehatan Jiwa adalah “Mental Health is a Universal Human Right”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi,”Kesehatan Mental adalah Hak Asasi Manusia Universal.”
Setiap orang perlu menyadari pentingnya kesehatan mental, baik dalam individu ataupun dalam kelompok masyarakat. Orang dengan kesehatan mental yang sehat dapat merasakan kenyamanan dalam berpikir. Sebaliknya, mereka yang rendah kesehatan mentalnya menjadi tidak nyaman dalam berpikir. Kesehatan mental dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari ketika mereka menjalankan kehidupan. Anda bisa melihat contoh kasusnya lewat orang yang mengalami stress dan depresi.
Filsuf besar Aristoteles pernah menyatakan: siapa pun bisa marah, marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik-bukanlah hal mudah.
Marah namun dengan penguasaan diri yang baik, dan disampaikan dengan cara yang baik ternyata tidak semua orang bisa melakukannya. Maka terjadilah berbagai kejadian makian, penganiayaan, bahkan hingga pembunuhan yang awalnya hanya karena tidak bisa mengontrol emosi dengan baik.
Daniel Goleman, dalam bukunya yang terkenal Emotional Intelegence, mengutip sebuah laporan yang menyebut 57% pembunuh anak-anak berusia di bawah 12 tahun adalah orang tua atau orang tua tiri mereka. Pada hampir setengah kasus yang ada, para orang tua mengatakan mereka mulanya “sekadar berusaha mendisiplinkan anak”. Pemukulan-pemukulan oleh orang tua yang membawa maut dipicu oleh “pelanggaran-pelanggaran” yang dibuat anak, misalnya si anak menghalangi pandangan ke televisi, menangis atau anak yang mengompol. Bayangkan, apa yang awalnya ingin menunjukkan “didikan untuk mendisiplinkan” berubah menjadi “tindak kekerasan bahkan pembunuhan”.
Maka kita semakin meyakini kebenaran pernyataan Aristoteles, betapa sulitnya menyatakan kemarahan dengan cara yang tepat, dengan kadar yang tepat, dengan tujuan yang benar dan dengan cara yang baik. Bahkan orang-orang tua yang diberikan karunia dan tanggung jawab mendidik anak oleh Allah pun bisa meledak dalam kemarahan yang tidak terkendali.
Goleman masih dalam Emotional Intelegence lebih lanjut mencatat, beberapa dekade terakhir telah mencatat berbagai laporan maupun berita yang mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral dalam keluarga kita, masyarakat dan kehidupan kita bersama. Tahun-tahun belakangan banyak berita mengungkap berbagai tindak kekerasaan dan kenakalan yang ditimbulkan oleh anak-anak, yang muncul dari kesepian dan kekecewaan anak-anak yang ditinggal sendiri atau diasuh baby sitter, anak-anak yang dibiarkan sendirian dan hanya ditemani gadget dan televisi, anak-anak yang tertolak atau disingkirkan, disia-siakan atau diperlakukan dengan kejam. Anak-anak yang diperlakukan tidak manusiawi pada akhirnya meledak melalui ungkapan kemarahan yang tidak terkendali.
Merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia, seyogyanya setiap orang perlu menyadari pentingnya kesadaran arti kesehatan mental. Terutama kesehatan mental dirinya sendiri. Andar Ismail dalam buku Selamat Berkembang menulis demikian: setiap orang perlu belajar mengasah dan mengembangkan kecerdasan atau ketajaman emosinya. Andar menyebut ada empat tahapan pengembangan kecerdasaan emosional. Pertama, menolong orang untuk mampu mengenali emosi sendiri dan mencari tahu apa pemicunya. Kedua, menolong orang mengolah dan mengelola emosi itu. Ketiga, menolong orang menyalurkan emosi itu dalam bentuk yang produktif. Keempat, menolong orang juga mengenali dan memahami emosi orang lain.
Mengolah dan mengelola emosi menahan kita dari keinginan berbuat jahat. Seperti kata penulis Mazmur,”Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” (Mazmur 37:8). Contoh-contoh kejadian di atas telah menegaskan amarah yang tidak terkendali membuat seseorang jatuh dalam tindak kejahatan dan hanya bisa menyesal di kemudian hari. Penulis Surat Yakobus menyebut pentingnya mengendalikan diri dan mengelola emosi,”Saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: Setiap orang hendaklah cepat mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.” (Yakobus 1:19).
Seandainya saja Mario Dandy membaca surat Yakobus, mungkin nasibnya tidak akan seperti sekarang. Seandainya setiap orang lebih cepat mendengar, menahan diri dan lambat untuk marah, mungkin perang yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat dihindari. Tetapi dunia tidak pernah kata seandainya.
Sahabat Alkitab, sungguh penting mengelola dan mengembangkan kecerdasan emosi. Bukan hanya berguna untuk diri sendiri, namun untuk menghadirkan damai di hati dan damai di bumi. Selamat merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia.