Kitab Ayub merupakan salah satu karya teologis dan karya sastra klasik kaliber dunia, yang diminati oleh banyak orang, termasuk di luar komunitas Yahudi dan Kristen. Ia mengangkat problem klasik yang terus relevan hingga kini: mengapa orang benar menderita? Pertanyaan ini berada dalam jantung perdebatan antara dua arus pemikiran teologis: teodise—yang berusaha membenarkan keadilan Allah dalam realitas penderitaan, dan anti-teodise—yang menentang upaya teodisi, seringkali dengan menyatakan bahwa kejahatan adalah masalah yang tidak dapat dibenarkan dan bahwa Tuhan bertanggung jawab atasnya.
Kedua arus ini tidak hanya hidup dalam diskursus teologi sistematika, melainkan hadir secara organik dalam struktur naratif Kitab Ayub. Sayangnya, dalam tradisi gereja dan tafsir populer, anti-teodise kerap terabaikan, padahal justru ia menjadi suara profetis yang membela kemanusiaan dan memperjuangkan keadilan, terutama bagi mereka yang menderita tanpa salah.
Kitab Ayub: Struktur dan Ketegangan Teologis
Kitab Ayub dimulai dengan dua pasal prosa yang menghadirkan Ayub sebagai seorang yang saleh dan tak bercela, namun secara misterius diizinkan Allah untuk mengalami penderitaan yang dahsyat. Dalam dua sidang surgawi, הַשָּׂטָ֖ן —‘ha-satan’ (sang penantang) mempertanyakan integritas iman Ayub, dan Allah mengizinkan serangkaian malapetaka menimpanya. Respon awal Ayub adalah ketabahan yang menakjubkan (Ayub 1:21; 2:10), tapi segera setelah itu, di bagian puisi (Ayub 3–41), kisah berkembang menjadi perdebatan teologis antara Ayub dan para sahabatnya: Elifas, Bildad, dan Zofar.
Sahabat-sahabat Ayub mewakili teologi teodise konvensional: penderitaan adalah akibat dosa; Tuhan adil, maka orang berdosa harus menderita. Namun, Ayub menolak teologi ini. Ia bersikeras pada ketidakbersalahannya dan menuntut Tuhan untuk menjawab. Dalam hal ini, Ayub menjadi representasi suara anti-teodise, yang menolak untuk menerima bahwa penderitaan selalu berarti hukuman ilahi. Elihu, tokoh baru yang muncul dalam pasal 32–37, mencoba menjadi mediator dengan pendekatan yang tampak lebih seimbang: Allah adalah adil dan sengsara manusia adalah sarana didaktik untuk mendidik dan memperbaiki. Namun, esensinya tetap dalam koridor teodise: Allah tidak dapat digugat.
Titik balik terjadi dalam pasal 38–41 ketika Allah sendiri menampakkan diri dari angin ribut. Allah tidak menjawab pertanyaan Ayub secara langsung, melainkan menyampaikan retorika tentang misteri penciptaan dan keterbatasan manusia. Ia menunjukkan bahwa ada dimensi realitas yang melampaui pemahaman rasional.
Ayub 42: 6 menjadi kunci penafsiran klimaks narasi ini:
“Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” Namun, ayat ini membuka berbagai kemungkinan makna, antara lain:
- Aku membenci diriku dan menyesal...
- Aku mencabut perkataanku dan menyesal...
- Aku menolak debu dan abu...
- Aku mencabut perkataanku dan mengubah pandanganku berkenaan dengan debu dan abu...
- Aku aku mencabut perkataanku, dan aku dihiburkan sehubungan dengan debu dan abu...
Pakar PL James Crenshaw lebih memilih interpretasi ke-3: Ayub menolak duduk dalam abu dan debu—simbol duka dan pengakuan bersalah—karena ia bukan orang berdosa. Setelah bertemu langsung dengan Allah (Ayub 42:5), Ayub menyadari bahwa penderitaannya bukanlah akibat dosa, dan Allah justru memvalidasi pembelaannya.
Teodise, Anti-Teodise, dan Refleksi Etis
Menurut Robert Davidson, pakar Perjanjian Lama dari Scotland, Kitab Ayub menyingkap kegagalan rumus Deuteronomistis (benar = berkat; fasik = kutuk). Dalam kenyataan, orang benar bisa menderita, dan orang jahat bisa makmur. Maka, tanggapan teologis yang tepat bukanlah rasionalisasi penderitaan, melainkan pengakuan akan “the silence of God”—misteri Ilahi yang tidak terjangkau akal manusia.
Donald Capps, dalam perspektif pastoral, menawarkan pendekatan reframing—memaknai ulang penderitaan dari sudut pandang yang baru, yang sama sekali terbalik. Namun, Crenshaw, dalam keteguhan naratif Ayub, justru menegaskan bahwa ‘protes Ayub dibenarkan’ oleh Allah. Allah tidak murka kepada Ayub, melainkan kepada para sahabatnya yang mengatasnamakan keadilan Ilahi secara keliru (Ayub 42:7).
Kitab Ayub mengajarkan bahwa dalam menghadapi penderitaan orang benar, gereja dan komunitas iman tidak boleh bersandar pada narasi teodise yang membungkam suara korban. Sebaliknya, diperlukan keberanian untuk mendengarkan dan mengakui realitas ketidakadilan dalam terang iman.
Kutipan:
Konselor juga perlu terbuka bahwa konseli bisa menderita tetapi tidak bersalah. Kalau konselinya terkena kanker ganas, jangan diajak mengaku dosa, tetapi dikuatkan dan dihibur, dimintakan penyertaan Kristus, Dia yang tidak bersalah itu. Kalau konselinya istri yang dihajar babak belur oleh suaminya yang mabuk-mabukan, jangan istri yang disalahkan tidak tahu melayani suami, tetapi dikuatkan untuk mengadukan suami ke polisi sebagai melanggar UU KDRT. Kalau ada orang yang dihukum karena politik yang berbeda dari penguasa, konselornya jangan membela penguasanya, tetapi membela orang yang dihukum ini. Kitab Ayub mengajar kita, bahwa Tuhan Maha kuasa, kita adalah ciptaan, tetapi justru karena itu jangan menyalahkan korban (do not blame the victim, blame the perpetrator). Banyak pembaca kitab Ayub yang bersimpati kepada ketiga sahabat Ayub dan Elihu, karena argumen-argumen mereka familiar. Tetapi hati-hati, bisa saja mereka juga terkena semprotan Ayub di atas, yaitu telah menjadi “penghibur-penghibur sialan” (Pdt. Prof. E. Gerrit Singgih, Ph. D.)
Yuk saksikan selengkapnya di tautan ini