RIBUAN PERBEDAAN SALINAN, PALSUKAH TEKS INJIL?

Berita | 20 Agu 2025

RIBUAN PERBEDAAN SALINAN, PALSUKAH TEKS INJIL?


Salah satu isu yang sering dilontarkan terhadap kekristenan adalah banyaknya perbedaan salinan dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Data tekstual memang menunjukkan bahwa terdapat ribuan varian dalam salinan yang kita miliki. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah hal ini berarti teks Injil tidak autentik, atau bahkan palsu?

 

Konteks Lisan dan Awal Penulisan

Pada abad pertama, masyarakat Yahudi dan dunia Mediterania hidup dalam tradisi lisan. Ajaran dan peristiwa hidup Yesus mula-mula tidak segera didokumentasikan dalam bentuk tulisan, melainkan diwariskan secara lisan oleh para murid. Tradisi lisan ini kemudian bertransformasi ke dalam tulisan, terutama melalui karya Paulus yang menyusun surat-surat bagi jemaat. Namun, proses penulisan pada masa itu sangat berbeda dengan dunia modern. Paulus kerap menggunakan juru tulis (amanuensis) untuk mencatat pesan-pesannya (bdk. Galatia 6:11), dan surat-surat tersebut dibacakan secara publik dalam pertemuan jemaat (1 Tesalonika 5:27). Dengan demikian, pembacaan bersama lebih diutamakan daripada kepemilikan pribadi.

 

Dalam tahap-tahap awal ini, teks sumber sering kali hanya tersedia dalam satu eksemplar untuk satu komunitas, misalnya surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Jika jemaat lain ingin memilikinya, mereka harus menyalin ulang dengan tangan secara teliti. Tanpa teknologi cetak, penyalinan teks dilakukan secara manual: huruf demi huruf, kata demi kata. Kesulitan teknis muncul karena naskah Yunani kuno ditulis tanpa spasi, tanda baca, maupun pemisahan kata. Proses manual ini tentu tidak lepas dari kesalahan, sebagaimana seseorang dapat keliru ketika mengetik ulang teks panjang. Kesalahan sederhana, seperti melewatkan baris karena ada kata yang sama di ujungnya, kerap terjadi. Namun berbeda dengan era modern yang mengenal mesin tik atau komputer, di mana kesalahan dapat segera diperbaiki, pada zaman kuno naskah yang keliru hampir mustahil diperbaiki tanpa menyalin ulang seluruh teks. Maka ketelitian sangat diperlukan, meski sulit dicapai. Oleh sebab itu, setelah proses penyalinan selesai, biasanya dilakukan pembacaan ulang atau koreksi. Hal ini menggambarkan kesederhanaan gereja perdana pada dua abad pertama, jauh sebelum lembaga gereja memiliki fasilitas yang memadai. Baru setelah abad ke-4, ketika Kekristenan diakui secara resmi oleh Konstantinus, muncul penyalin-penyalin terlatih dengan hasil yang lebih rapi.

 

Varian Naskah: Antara Kelemahan dan Kekayaan Data

Varian naskah adalah hasil yang tidak terelakkan dari proses penyalinan manual. Namun, justru karena varian-varian itu melimpah, para ahli teks memiliki bahan yang sangat kaya untuk membandingkan dan merekonstruksi teks asli.

 

Terdapat dua kelompok naskah utama sering dibicarakan. Pertama, teks Aleksandria yang biasanya lebih pendek, hemat, dan dianggap lebih dekat dengan naskah asli. Contohnya Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus. Kedua, teks Bizantin. Jumlahnya sangat banyak, disalin hingga abad pertengahan, cenderung lebih “halus” karena adanya upaya penyalin memperbaiki atau memperjelas teks.

 

Para pakar tekstual tidak menilai berdasarkan “jumlah terbanyak”, melainkan kualitas naskah: usia, persebaran geografis, dan kecenderungan penyalin.

 

Penemuan Papirus dan Kodeks Penting

Penemuan fragmen papirus abad ke-2, misalnya P52 yang memuat beberapa ayat dari Yohanes 18, memberi bukti penting mengenai kesinambungan tradisi teks Perjanjian Baru. Meskipun hanya berupa potongan kecil, fragmen ini memperlihatkan kesesuaian yang sangat tinggi dengan naskah-naskah kodeks besar abad ke-4, seperti Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus. Fakta ini menegaskan bahwa meskipun terdapat ribuan varian naskah dalam penyalinan, inti kesaksian injil tetap terjaga dan tidak berubah secara substansial.

 

Papirus awal tersebut menarik perhatian bukan hanya karena usianya yang relatif dekat dengan masa penulisan asli, melainkan juga karena bentuknya yang sudah menyerupai buku (codex), yakni dijahit di bagian pinggir dan ditulis pada kedua sisi halaman. Format ini tidak hanya efisien dalam penggunaan bahan, tetapi juga menandai perkembangan penting dalam tradisi penyalinan teks. Alexandria sebagai salah satu pusat intelektual dunia kuno, melahirkan komunitas penyalin yang dikenal teliti dan sistematis. Tidak mengherankan bila teks-teks Aleksandria menjadi acuan utama dalam rekonstruksi teks kritis Perjanjian Baru.

 

Jenis Varian dan Signifikansinya

Sebagian besar perbedaan dalam tradisi naskah Alkitab bersifat minor, misalnya dalam bentuk variasi ejaan, penghilangan atau pengulangan kata, serta perbedaan kecil lain yang pada dasarnya tidak memengaruhi makna teks. Dari kurang lebih 200.000 varian yang telah teridentifikasi, hanya sekitar 1-2% yang dapat dianggap signifikan, yakni yang berpotensi memengaruhi arti. Fakta ini menunjukkan betapa terpeliharanya teks Alkitab, sekalipun telah diwariskan selama hampir dua milenium.

 

Salah satu contoh dapat ditemukan dalam Lukas 2:33. Beberapa naskah menuliskan “bapa serta ibu-Nya” (merujuk pada Yusuf dan Maria), sementara naskah lain memilih ungkapan “Yusuf dan ibu-Nya.” Variasi ini muncul karena adanya kekhawatiran teologis terkait status Yusuf sebagai ayah Yesus. Dengan membandingkan berbagai naskah kuno, para ahli menilai teks “bapa serta ibu-Nya” lebih mendekati teks asli.

 

Dari Tradisi Kuno ke Terjemahan Modern

Selama berabad-abad, tradisi terjemahan Alkitab di Barat sangat dipengaruhi oleh Textus Receptus, yaitu edisi Yunani Perjanjian Baru yang disusun oleh Desiderius Erasmus pada tahun 1516. Edisi ini dibuat hanya berdasarkan dua naskah abad ke-12, sehingga secara tekstual memiliki banyak keterbatasan. Salah satu contoh nyata adalah King James Version(KJV) yang diterbitkan pada tahun 1611. Terjemahan monumental ini didasarkan pada Textus Receptus, sehingga secara tidak langsung mewarisi kelemahan sumbernya. Misalnya, enam ayat terakhir Kitab Wahyu yang tidak terdapat dalam naskah Yunani yang dipakai Erasmus akhirnya diterjemahkan kembali dari bahasa Latin ke bahasa Yunani, dan dari sanalah memengaruhi tradisi terjemahan di Eropa selama berabad-abad.

 

Namun, pada abad ke-19, para sarjana mulai menyadari perlunya meninjau ulang teks-teks yang telah beredar sekitar tiga abad lamanya sejak era Reformasi. Salah satu tokoh penting adalah Konstantin von Tischendorf, seorang cendekiawan Jerman yang pada usia muda berhasil menemukan Codex Sinaiticus di biara Santa Katarina, Sinai. Berdasarkan catatan historis, naskah kuno tersebut pada awalnya disimpan di dalam sebuah keranjang dan hampir dimusnahkan, sebelum akhirnya diselamatkan oleh Tischendorf. Penemuan ini membuka jalan bagi perkembangan kritik teks yang lebih serius. Di sisi lain, dua sarjana dari Cambridge, yakni Brooke Foss Westcott dan Fenton John Anthony Hort, mendedikasikan waktu sekitar tiga puluh tahun untuk menyusun kembali teks Yunani Perjanjian Baru dengan membandingkan berbagai naskah kuno, terutama Codex Sinaiticus dan Codex Vaticanus. Hasil kerja mereka, yang kemudian dikenal sebagai edisi Westcott-Hort, menjadi tonggak penting dalam perkembangan kritik naskah modern.

 

Hingga kini, edisi Yunani Perjanjian Baru yang beredar secara internasional, seperti Nestle-Aland atau UBS, hanya berbeda sedikit dari hasil rekonstruksi Westcott-Hort. Prinsip dasar yang mereka gunakan, yaitu memilah naskah berdasarkan kualitas, usia, persebaran geografis, dan kesesuaian gaya bahasa dengan penulis asli, menjadi standar kritik teks hingga sekarang. Meskipun masih terdapat perdebatan di ranah detail, konsensus akademik menyatakan bahwa teks Yunani modern yang kita miliki saat ini sangat dekat dengan bentuk asli Perjanjian Baru. Dengan demikian, proses panjang dari penemuan naskah kuno hingga penyusunan teks kritik modern menunjukkan bahwa tradisi terjemahan kini didasarkan pada fondasi yang lebih kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Implikasi Teologis

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, apakah ribuan perbedaan salinan berarti Injil palsu? Jawabannya jelas tidak. Perbedaan itu justru menunjukkan dinamika proses penyalinan, bukan pemalsuan. Kajian tekstual Perjanjian Baru menunjukkan bahwa meski terdapat ribuan varian salinan, teks Injil tidak dapat dianggap palsu. Justru melalui perbandingan naskah yang melimpah, para sarjana dapat merekonstruksi teks yang sangat dekat dengan aslinya.


Dengan demikian, umat Kristen tidak perlu takut menghadapi kenyataan historis dan tekstual ini. “Dari berbagai naskah yang kita miliki, hasil kajian yang dilakukan secara saksama menunjukkan bahwa kita memiliki teks yang terjamin keasliannya. Teks ini dapat menjadi rujukan yang tepercaya untuk mengenal ajaran-ajaran pokok serta gagasan-gagasan mendasar yang diajarkan Alkitab. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meragukan penggunaan terjemahan-terjemahan Alkitab yang telah dikerjakan dengan teliti berdasarkan sumber-sumber yang sahih.” (Pdt. Anwar Tjen, Ph.D).

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia