Sejak terbit tahun 1611, King James Version (KJV) menjadi salah satu karya penerjemahan Alkitab yang populer dalam sejarah Kekristenan. Bukan hanya karena ketepatan atau keindahan bahasanya, tetapi juga karena pengaruhnya yang mendalam terhadap perkembangan bahasa Inggris, budaya, dan teologi Kristen di dunia Barat. Menurut Pdt. Anwar Tjen, Ph.D., Kepala Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, KJV adalah “satu-satunya terjemahan yang telah dicetak lebih dari satu miliar eksemplar,” sekaligus menjadi model klasik yang melampaui zamannya. Namun demikian, di balik reputasi gemilangnya, KJV adalah produk dari konteks sejarah, politik, dan teologi yang kompleks.
Sejarah dan Dinamika Penerjemahan Alkitab Bahasa Inggris
Dari Interlinear Latin hingga Wycliffe Bible
Upaya menghadirkan Alkitab dalam bahasa Inggris bermula sejak abad ke-7 melalui manuskrip interlinear Latin-Anglo-Saxon. Terobosan besar terjadi pada abad ke-14 melalui John Wycliffe, guru besar Oxford, yang meyakini bahwa “Alkitab harus tersedia bagi umat dalam bahasa yang mereka pahami.” Wycliffe menerjemahkan langsung dari Vulgata Latin, menghasilkan versi Inggris pertama yang lengkap.
Meski secara linguistik masih kaku karena mengikuti struktur Latin, terjemahan ini merupakan tonggak kesadaran bahwa Firman Allah perlu hadir dalam bahasa rakyat. Reaksi keras Gereja terhadap Wycliffe—hingga jasadnya digali dan abunya dibuang ke sungai—menunjukkan ketegangan antara otoritas gerejawi dan semangat reformasi.
William Tyndale: Pelopor Penerjemahan dari Bahasa Sumber
Tokoh berikutnya, William Tyndale, memperkenalkan standar baru dengan menerjemahkan langsung dari teks Yunani dan Ibrani. Tyndale adalah seorang poliglot yang menguasai lebih dari sepuluh bahasa. Semangatnya untuk “membuat anak gembala tahu Alkitab lebih daripada imam” menegaskan visi reformasi: akses langsung umat kepada Kitab Suci.
Terjemahan Tyndale memperkenalkan istilah-istilah yang kemudian menjadi bagian integral dari KJV, seperti repent (alih-alih do penance), congregation (alih-alih church), dan frasa seperti “Ask and it shall be given you.” Namun keberaniannya membuat ia dieksekusi pada 1536 di Belgia, dengan doa terakhir yang kelak menjadi nubuat: “Lord, open the King of England’s eyes.”
King James Version: Konteks Politik dan Gerejawi
Dari Geneva Bible ke Bishop’s Bible
Sebelum KJV, Inggris telah memiliki beberapa terjemahan penting, seperti Geneva Bible (1560) yang disusun kaum Reformasi pengikut Calvin di Jenewa. Geneva Bible adalah study Bible pertama, memuat catatan teologis yang sering kali kritis terhadap penguasa, sehingga populer di kalangan Puritan.
Sebagai tandingan, Gereja Anglikan menerbitkan Bishop’s Bible (1568) atas perintah Raja Henry VIII. Namun karena dinilai kurang populer, muncullah gagasan untuk membuat terjemahan baru yang “resmi”, yakni Authorized Version—yang kelak dikenal sebagai King James Version.
2. Konferensi Hampton Court dan Mandat Penerjemahan
Pada tahun 1604, Raja James I mengadakan Hampton Court Conference yang melibatkan para rohaniawan dan sarjana dari berbagai aliran. Gagasan penerjemahan baru diajukan oleh Dr. John Reynolds, seorang Puritan Oxford. Raja James mendukung ide ini bukan semata karena semangat religius, melainkan karena kepentingan politik: mengurangi pengaruh Geneva Bible yang dinilainya subversif terhadap monarki.
Proses Penerjemahan King James Version
Prinsip-Prinsip Penerjemahan
Terdapat 15 pedoman resmi yang mengatur proses penerjemahan KJV, beberapa diantaranya:
- Bishop’s Bible dijadikan teks dasar, dengan revisi seminimal mungkin.
- Istilah gerejawi seperti church tidak boleh diterjemahkan menjadi congregation.
- Tidak diperkenankan menambahkan catatan pinggir yang bersifat teologis atau polemis (berbeda dari Geneva Bible).
- Catatan marjinal hanya boleh digunakan untuk menjelaskan makna literal Ibrani atau Yunani.
Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara konservatisme teologis dan ketelitian filologis.
Tim Penerjemah dan Pembagian Tugas
Pekerjaan dilakukan oleh enam tim di tiga pusat akademik utama: Westminster, Oxford, dan Cambridge. Para penerjemah terdiri dari sarjana terbaik Inggris masa itu, diantaranya:
● Adrian Saravia – Seorang Calvinis; pernah menjabat Rector Magnificus Universitas Leiden (1585).
● Andrew Downes – Regius Professor bahasa Yunani di Cambridge.
● Dr. John Layfield – Ahli arsitektur dan bahasa Ibrani serta Yunani; berperan penting dalam penerjemahan bagian-bagian yang berkaitan dengan Kemah Suci dan Bait Allah.
● Dr. Richard Clerke – Ahli bahasa Ibrani; anggota Christ’s College, Cambridge; dikenal sebagai teolog anti-Calvinis.
● George Abbot – Rector di Oxford; kemudian menjadi Uskup Agung Canterbury; seorang Calvinis Injili.
● Geoffrey King – Regius Professor bahasa Ibrani di Cambridge.
● John Bois – Anggota St. John’s College, Cambridge; sejak usia lima tahun telah menamatkan pembacaan Alkitab, dan pada usia enam tahun mampu membaca teks Ibrani dan Yunani.
● John Duport – Rector di Cambridge; seorang Puritan; memimpin tim penerjemah bagian Apokrifa.
● John Harding – Pemimpin Magdalen College, Oxford; Regius Professor bahasa Ibrani.
● John Overall – Pimpinan Katedral St. Paul; Regius Professor of Divinity di Cambridge.
● John Perinne – Regius Professor bahasa Yunani di Oxford.
● John Raynolds – Pemimpin Corpus Christi College, Oxford; tokoh Puritan terkemuka.
● John Richardson – Rector di Cambridge; ahli Ibrani; penganut Arminian.
● Lancelot Andrewes – Pimpinan Westminster Abbey; menempuh studi di Pembroke College, Cambridge. Menguasai bahasa Latin, Yunani, Ibrani, Aram, Siria, Arab, dan sekitar 15 bahasa lainnya.
● Laurence Chaderton – Pemimpin Emmanuel College, Cambridge; ahli bahasa Ibrani; seorang Puritan.
● Miles Smith – Studi di Corpus Christi College, Oxford; ahli bahasa Ibrani klasik dan rabinik, Aram, Siria, dan Arab.
● Richard Brett – Anggota Lincoln College, Oxford; ahli bahasa Latin, Ibrani, Yunani, Aram, Arab, dan Etiopia.
● Sir Henry Savile – Pemimpin Merton College, Oxford; ahli patristik dan astronom terkemuka.
● Thomas Holland – Pemimpin Exeter College, Oxford; ahli bahasa Ibrani rabinik.
Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan ialah keberagaman latar denominasi dalam tim penerjemah, terdiri dari Puritan, Calvinis, dan Anglikan. Pdt. Anwar menilai bahwa keberagaman ini menjadikan King James Version sebagai proyek penerjemahan Alkitab yang interkonvensional dan mendahului zamannya.
Metodologi Kolektif
Setiap tim menerjemahkan bagian tertentu, lalu hasilnya dipertukarkan untuk ditinjau silang. Proses evaluasi kolektif ini mencerminkan semangat peer review akademik modern dan memperlihatkan tingkat keseriusan yang bahkan melampaui banyak proyek penerjemahan abad ke-21.
Karakteristik Teks dan Isu Tekstual
Sumber Teks Perjanjian Lama
KJV menggunakan Biblia Hebraica Bomberg (1525) yang disunting oleh Jakob ben Chayyim, dikenal sebagai Mikra’ot Gedolot Kedua. Secara tekstual, perbedaannya dengan edisi modern seperti Biblia Hebraica Stuttgartensia (BHS) sangat kecil—hanya sekitar delapan hingga sepuluh varian. Misalnya:
- Yesaya 27:2: כֶּרֶם חֶמֶר – kerem ḥemer (“kebun anggur dari anggur merah”) dalam KJV berbanding dengan כֶּרֶם חֶמֶד – kerem ḥemed (“kebun anggur yang menyenangkan”) dalam BHS.
- Amsal 8:16: Variasi antara אֶרֶץ – ’āreṣ (“bumi”) dan צֶדֶק – ṣedeq (“benar”) menunjukkan perbedaan kecil tanpa mengubah makna teologis.
Sumber Teks Perjanjian Baru
Untuk PB, KJV bergantung pada edisi Desiderius Erasmus (1516), Textus Receptus, yang hanya berdasarkan tujuh manuskrip abad ke-12–15 dari Basel. Dalam edisi ketiganya (1522), Erasmus menambahkan bagian Comma Johanneum (1 Yohanes 5:7-8) yang bernuansa trinitarian berdasarkan naskah tunggal Codex Montfortianus. Tambahan ini kemudian diwarisi oleh KJV, sehingga menjadi titik kontroversi tekstual dalam studi modern.
Apokrifa dalam KJV
KJV edisi 1611 memuat kitab-kitab Apokrifa tanpa pembeda status kanonis. Hal ini berbeda dari Luther yang secara eksplisit menyebutnya “tidak setara dengan Kitab Suci, tetapi berguna untuk dibaca.” Baru kemudian dalam edisi-edisi berikutnya (pasca 1885) bagian Apokrifa dihapus dari sebagian besar versi Protestan.
Evolusi dan Revisi Edisi
Meskipun sering dipandang “tetap,” teks KJV mengalami ratusan koreksi cetak dan redaksi:
- Edisi Cambridge (1762) oleh F.S. Parris
- Edisi Oxford (1769) oleh Benjamin Blayney (menyertakan ±24.000 perubahan kecil)
- The Cambridge Paragraph Bible of the Authorized English Version (Scrivener, 1873)
- New Cambridge Paragraph Bible with Apocrypha (2005)
Kesalahan cetak juga mewarnai sejarahnya, seperti:
- Wicked Bible (1631): “Thou (*not) shalt commit adultery” (hilang kata *not)
- Vinegar Bible (1717): “Parable of the Vinegar” alih-alih Vineyard
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahkan karya yang dianggap “suci” pun melewati proses manusiawi yang rentan terhadap kekeliruan.
Pengaruh Linguistik dan Budaya
KJV memberikan sumbangsih besar terhadap pembentukan bahasa dan sastra Inggris. Ungkapan seperti “God forbid”, “No peace for the wicked”, atau “The powers that be” berakar langsung dari versi ini. Secara estetis, gaya bahasanya memadukan ritme puitis dan kesederhanaan yang menjadi tolok ukur keindahan teks religius dalam bahasa Inggris.
Penutup
Warisan King James Version (KJV) tidak hanya dikenang karena keindahan bahasanya, tetapi juga karena kedalaman semangat intelektual dan iman yang melandasinya. Dalam konteks sejarah abad ke-17, KJV merupakan mahakarya yang luar biasa — sebuah karya yang menggabungkan kesalehan rohani dan kejernihan bahasa Inggris klasik. Namun, sebagaimana setiap produk sejarah, KJV tidak terlepas dari keterbatasan zamannya. Bahasa Inggris yang digunakan kini telah menjadi arkaik, dan sejumlah istilahnya tidak lagi bermakna sama bagi pembaca modern. Maka, sebaik-baiknya KJV, ia tetaplah terjemahan yang terbatas pada ruang dan waktu.
Empat abad telah berlalu, dan bahasa, seperti juga ilmu pengetahuan, terus berkembang. Kini kita memiliki naskah-naskah sumber yang jauh lebih lengkap dan akurat dibandingkan Textus Receptus yang hanya bersandar pada delapan naskah Yunani yang tersedia bagi Erasmus di Basel. Patut diakui, hasil kerja Erasmus pada masa itu luar biasa; namun kemajuan kritik teks modern telah melampaui keterbatasan data yang dimilikinya.
Selain itu, pengetahuan kita tentang bahasa-bahasa Kitab Suci (Ibrani, Aram, dan Yunani) telah mengalami perkembangan signifikan, sehingga memungkinkan interpretasi yang lebih tajam dan kontekstual. Ilmu penerjemahan sendiri kini telah menjadi disiplin tersendiri, dengan metodologi dan prinsip yang jauh lebih matang daripada yang tersedia pada masa penerjemahan KJV. Karena itu, menghormati KJV tidak berarti memutlakkan bentuk lamanya, melainkan meneladani semangatnya: keberanian untuk menghadirkan Firman Allah dengan setia dan relevan bagi zamannya. Dalam semangat itu, pembaruan bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan wujud kesetiaan pada Firman yang hidup — Firman yang terus berbicara melampaui batas bahasa, budaya, dan waktu.