“The Diary of a Young Girl” adalah sebuah buku yang menjadi best seller pada dekade 1950-an dan masih dicari dan dicetak ulang hingga kini. Buku ini adalah sebuah kumpulan tulisan yang ditulis oleh Anne Frank, seorang gadis Yahudi-Jerman yang mengungsi ke Belanda (Amsterdam) menjelang Perang Dunia II. Pada tahun 1942 ketika ia berusia 13 tahun, ia terpaksa bersembunyi di sebuah apartemen yang disamarkan bersama beberapa sanak saudaranya. Untuk mengisi waktu dalam persembunyian tersebut ia menuliskan pengalaman-pengalamannya serta hubungan dengan anggota keluarga, sanak saudara, teman dan orang-orang yang dikenalnya.
Demikianlah ia menuliskan pengalaman dan refleksinya dalam masa persembunyian itu. Pada tanggal 4 Agustus 1944 tempat persembunyian tersebut diketahui dan digerebeg oleh polisi. Si gadis remaja Anne Frank kemudian dikirim ke kamp konsentrasi di Bergen-Belsen hingga meninggal karena sakit pada Februari 1945 pada usia 15 tahun.
Apa yang membuat gadis remaja tersebut giat menulis? Pada mulanya ia menulis untuk mengisi waktu, namun ketika ia mendengar siaran radio dari pemerintah Belanda dalam pengasingan di London bahwa pemerintah akan mengumpulkan tulisan-tulisan, catatan harian selama perang untuk menjadi bahan penulisan sejarah, Anne menjadi semakin antusias menulis, bahkan mulai mengedit catatan hariannya menjadi semacam novel. Harapan hanya akan bermakna jika disertai dengan keyakinan bahwa perubahan akan terjadi. Itulah sumber kekuatan bagi Anne untuk terus menulis dan menulis. Jika pada mulanya ia menulis tanpa tujuan, dengan adanya harapan mulailah ia menulis dengan sebuah tujuan. Anne menulis sebuah catatan tentang pengharapan. Ya, pengharapan – di tengah ketidakpastian – bahwa perang akan berakhir dan tulisannya akan menjadi sesuatu yang berguna.
Demikian juga Pesan Natal yang dibawa oleh malaikat kepada gembala-gembala di padang, “Jangan takut, sebab saya datang membawa kabar baik untuk kalian – kabar yang sangat menggembirakan semua orang.” [Lukas 2:10 – BIS]. Itulah inti Pesan Natal, “Jangan takut, ada sukacita bagi kalian”. Kita tidak pernah tahu pasti apa perasaan para gembala ketika bertemu malaikat, berjumpa dengan Keluarga Kudus, tetapi yang pasti Alkitab mencatat pada ayat 20, “Gembala-gembala itu kembali ke padang rumput sambil memuji dan memuliakan Allah, karena semua yang telah mereka dengar dan lihat, tepat seperti apa yang dikatakan oleh malaikat”.
Perasaan orang-orang Yahudi di Yudea pada waktu itu adalah sebagai orang yang terjajah oleh bangsa lain. Perasaan yang turun-temurun yang diwariskan dari orang tua ke anak dari generasi ke generasi sejak jaman pembuangan ke Babel dan kembali ke Tanah Terjanji. Berita kelahiran Mesias tidak hanya mengandung berita sukacita, pengharapan serta berita tentang akan perubahan atau pembaruan, namun, juga mengandung berita ancaman bagi kekuasaan absolut. Hal ini membuat setiap upaya perubahan selalu mendapat tentangan dari kekuatan-kekuatan yang sudah mapan atau dari mereka yang masih hidup dalam romantisme masa lalu.
Berita kelahiran Mesias barulah sebuah awal. Diperlukan lebih dari 30 tahun dari kelahiran hingga lahirnya gereja atau persekutuan orang-orang percaya. Dan itu adalah masa-masa penantian dan perjuangan.
Kini kita tiba pada perayaan Natal. Kita menerima berita sukacita. Kita menerima berita bahwa vaksinasi COVID-19 segera dilaksanakan. Gratis. Kita juga mensyukuri bahwa Lampung hingga Aceh sudah terkoneksi oleh jaringan jalan bebas hambatan. Kita juga mensyukuri adanya perubahan perpolitikan dunia yang lebih menjanjikan dunia yang lebih damai, persaingan perdagangan yang lebih sehat, dunia yang lebih siap untuk memperlambat dampak perubahan iklim, serta dunia yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Itu semua berita sukacita Natal kali ini. Pengharapan ini harus kita transformasikan menjadi kenyataan, dan itu adalah proses-proses yang mampu memberikan sukacita kepada kita lebih dari sekadar berita sukacita. Sukacita karena keberhasilan mewujudkan cita-cita. Keberhasilan akan kita peroleh jika kita sebagai ranting tetap berada pada pokok anggur yang benar.
Mengakhiri renungan ini marilah sejenak kita merenungkan pesan Anne Frank sebagai berikut:
“I finally realized that I must do my school work to keep from being ignorant, to get on in life, to become a journalist, because that’s what I want! I know I can write … but it remains to be seen whether I really have talent …
And if I don’t have the talent to write books or newspaper articles, I can always write for myself. But I want to achieve more than that. I can’t imagine living like Mother, Mrs. Van Daan and all women who go about their work and are then forgotten. I need to have something besides husband and children to devote myself, too!
I want to be useful or bring enjoyment to all people, even those I’ve never met. I want to go on living even after my death! And that’s why I’m so grateful to God for having given me this gift, which I can use to develop myself and to express all that’s inside me!
When I write I can shake off all my cares. My sorrow disappears, my spirits are revived! But, and that’s a big question, will I ever be able to write something great, will I ever become a jounalist or a writer?”
Demikianlah, ia terus menulis hingga 1 Agustus 1944.
Pdt. Sri Yuliana, M.Th.