Demikianlah sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan oleh salah satu grup band di tanah air pada tahun 2009. Bagi sebagian orang lagu ini dengan lirik, “Jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah menyatakan cinta, mau dibawa ke mana hubungan kita?” hanyalah hiburan dan tidak berarti apa-apa selain melodi lagu yang menghibur. Tetapi bagi sebagian orang, lagu ini bisa membuat seseorang menangis karena sedih menunggu kepastian yang tak kunjung tiba, tetapi bisa juga menyengat karena merasa di “fait accompli” harus membuat keputusan segera “Yes” atau “No” dan tidak bisa dijawab dengan jawaban a la Agus Ringgo dalam sebuah iklan di tv, “Maybe yes, maybe no”. Demikianlah situasi di persimpangan jalan yang kita semua pernah mengalaminya, khususnya di kalangan remaja atau anak muda.
Dalam versi yang lain, yang lebih serius, seringkali kita menjumpai kata yang digunakan dalam tulisan ilmiah atau semi ilmiah, yaitu kata “Quo vadis?” – Mau ke mana? Pertanyaan ini pula yang dijadikan sebagai refleksi internal pengurus, staf dan seluruh jajaran Lembaga Alkitab Indonesia [LAI] pada ulang tahunnya yang ke-67 [ 9 Februari 1954 – 9 Februari 2021]. Sebuah usia yang kaya pengalaman bagi seorang manusia. Begitu juga bagi LAI. Dalam sejarah perjalanannya, prioritas pertama bagi LAI adalah mewujudkan sebuah Alkitab standar dalam Bahasa Indonesia yang baik dan baku yang dapat digunakan oleh seluruh umat kristiani dari berbagai denominasi yang ada di Indonesia. Perlu waktu 20 tahun untuk mewujudkan cita-cita tersebut (1954-1974). Pertanyaan atau komentar awam yang seringkali terlontar adalah, “Mengapa begitu lama untuk menerjemahkan Alkitab?” “Bukankah untuk menerjemahkan sebuah novel Harry Potter yang tebalnya kurang lebih sama dengan Alkitab hanya memerlukan hitungan bulan/kurang dari setahun untuk sampai pada peluncuran penjualan perdana di toko-toko buku?” Memang perlu waktu lama untuk menerjemahkan Alkitab. Ada beberapa alasan: 1). Harus diterjemahkan dari bahasa asli, bukan terjemahan dari terjemahan. 2). Harus mempergunakan bahasa yang baik dan baku. 3). Untuk kasus di Indonesia dengan lebih dari 700 bahasa daerah, LAI harus memperhatikan pemilihan kata, agar tidak terjadi ambiguitas karena ada kata Bahasa Indonesia yang mempunyai persamaan bunyi dengan bahasa daerah yang mempunyai arti berbeda dan beberapa pertimbangan lain. Dan sebetulnya, untuk sampai pada Alkitab versi Terjemahan Baru, cetakan perdana pada tahun 1974, dihitung sejak selesainya penerjemahan perdana Alkitab Bahasa Melayu (Injil Matius) oleh Albert Cornelius Ruyl pada 1612 membutuhkan waktu 362 tahun.
Kini, sejak 2011, kita memasuki era Industri 4.0 atau Revolusi Industri Generasi ke-4, tantangannya adalah “Digitalisasi Alkitab” serta pembaruan Alkitab versi Terjemahan Baru. Mengapa Alkitab yang sudah baku dan diterima semua denominasi sejak 1974 perlu diperbarui? Karena bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, selalu berkembang. Ada kosa kata baru, ada kosa kata yang bergeser maknanya, ada pula kosa kata yang punah/tidak dipergunakan lagi. Disamping itu pertanyaan besarnya adalah, “Masih perlukah Alkitab dicetak?” Dalam keseharian kita saat ini kita melihat bahwa media cetak mulai bergeser ke media daring atau malah tutup. Tercatat, misalnya, Koran Sinar Harapan, Majalah Hai, Kawanku, Tabloid Bola, dan masih banyak media cetak lain kini hanya tinggal sejarah. Mau diapakan fasilitas percetakan LAI yang berkapasitas relatif besar itu? Mau dibawa ke mana? Quo vadis LAI?
Pada umumnya jawaban terhadap pertanyaan “Quo vadis?” dibiarkan mengambang dan dijawab dengan analisis panjang lebar tanpa jawaban pasti seperti pada lirik lagu “Mau Dibawa Ke Mana?”. Jika kita membaca kembali novel berjudul “Quo Vadis” (1896) karya Henryk Sienkierwicz yang merujuk pada dialog antara Petrus dan Tuhan Yesus di bagian akhir novel ini, dilukiskan bahwa Petrus sedang menuju ke luar kota Roma di mana umat kristiani mengalami persekusi oleh Kaisar Nero, berjumpa dengan Tuhan Yesus. Petrus menyapa Tuhan Yesus dengan perkataan “Quo vadis Domine?” – Mau ke mana Tuhan? Dan dijawab oleh Tuhan Yesus, “Romam eo iterum crucifigi” – Ke Roma untuk disalibkan lagi.
Jadi jawaban Tuhan Yesus tidaklah mengambang atau analisis panjang lebar tidak tegas, melainkan sangat tegas dan lugas. “Ke Roma untuk disalibkan lagi” Apa artinya? Artinya perkembangan umat kristiani yang sudah mulai banyak hingga sampai di Roma, ibu kota kekaisaran Roma perlu di-reset ke “factory default” ketika Tuhan Yesus disalibkan, dibangkitkan dan melahirkan kekristenan. Jawaban tegas Tuhan Yesus membuat Petrus kembali ke Roma, menyatukan, menguatkan umat kristen, sehingga 2000 tahun kemudian, di dunia yang berpenduduk lebih dari 7 milyar ada 2.4 milyar umat kristiani (31%). Dan tepatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus kepada Petrus, “Dan Aku pun berkata kepadamu; Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini (= Petra, Petrus) Aku akan mendirikan jemaat-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya” [Matius 16:18].
Sesuai dengan semangat Petrus, yang diinspirasi oleh jawaban Tuhan Yesus, dan janji Tuhan Yesus kepada Petrus sebelumnya [Matius 16:18], LAI juga menjawab tantangan zaman. Di usianya yang ke-67 LAI dengan tegas “Mantap Menatap Masa Depan”, jelas ini bukan jawaban mengambang/menunda-nunda seperti lirik lagu “Mau Dibawa Ke Mana Hubungan Kita?” atau jawaban tidak jelas a la Agus Ringgo, “Maybe yes, maybe no”. “Dan Aku berkata kepadamu, “melalui batu karang ini (LAI) akan Ku sediakan Alkitab bagi jemaat-Ku di Indonesia”, dan alam maut pun tidak berkuasa atasnya.” Dirgahayu Lembaga Alkitab Indonesia.
Pdt. Sri. Yuliana. M. Th