Bergen adalah kota terbesar kedua di Norwegia. Jaraknya sekitar 500 km dari Oslo, Ibukota Norwegia. Orang-orang Norwegia menjuluki Bergen: “Kota Hujan”. Kotanya sejuk karena berada di antara tujuh gunung. Dibanding kota-kota lain di Eropa, Bergen termasuk kota kecil, penduduknya hanya sekitar 243.000 jiwa. Masih lebih banyak penduduk Binjai di Sumatra Utara. Kota tua ini didirikan Raja Olav Kyrre pada 1070 M. Sekarang kota ini sudah berusia 952 tahun. Bukan usia yang pendek dan banyak peristiwa telah mengiringi kota ini selama ratusan tahun usianya. Pada 1916 kebakaran besar menyebabkan sebagian kota ini hancur terbakar. Selama Perang Dunia II, kota ini tidak luput dari pendudukan Jerman. Nils Fredrik Rifsgard SIlaban lahir di kota ini. Siapa Nils Silaban? Bagaimana mungkin seorang bermarga Silaban lahir di Norwegia?
Nils Rifsgard Silaban, adalah misionaris yang sudah beberapa tahun berkarya di Indonesia terutama di daerah Tapanuli. Seperti umumnya orang-orang Bergen, Nils lahir dari keluarga Kristen. Keluarganya tidak terlalu aktif dalam kegiatan gereja. Namun, sedari kecil Nils rajin bersekolah Minggu dan mengikuti setiap kegiatan gereja yang ada. Demikian juga di sekolahnya Nils antusias setiap mengikuti pelajaran Agama Kristen maupun kegiatan-kegiatan persekutuan di sekolah. Meski aktif dalam berbagai kegiatan persekutuan, tidak pernah terbayang ia akan memilih jalan hidup sebagai seorang pendeta atau bahkan misionaris.
Suatu ketika, saat Nils berusia 15 tahun, ia dan beberapa temannya mengikuti Perkemahan Remaja Kristen. Kebetulan waktunya bersamaan dengan libur Paskah. “Di acara perkemahan tersebut, kami semua diajak merenungkan karya dan penebusan Kristus bagi kami semua. Seperti ada yang menarik dan memanggil jiwa saya, pada perkemahan tersebut tumbuh pertama kalinya keinginan untuk menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu,”cerita Nils.
Meski sempat muncul panggilan menjadi misionaris, seiring berjalannya waktu keinginan itu meredup. “Selepas bangku SMA saya mengalami kebingungan. Muncul keinginan menjadi seorang insinyur atau ahli teknik. Dalam bayangan saya waktu itu kalau harus menjadi seorang pendeta, kehidupan saya akan sulit. Saya masih berharap di masa depan saya memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi,”tuturnya. “Mungkin terdengar begitu duniawi, namun seperti itulah saya pada waktu itu,”lanjutnya.
Setelah menimbang-nimbang dengan matang dan memohon petunjuk Tuhan, Nils memutuskan untuk mendalami ilmu teologi. Selanjutnya Nils menjalani studi di Fakultas Teologi dan Misi, di Fjellhaug International University, di Oslo, Norwegia. Waktu Nils duduk di tingkat 3 kuliah, ia menjalani praktik lapangan di tengah-tengah suku pedalaman di Peru, Amerika Selatan. Tinggal dan melayani kaum yang terpinggirkan dan terbelakang, menumbuhkan tekad Nils untuk menjadi utusan misi. “Meski ingin menjadi utusan misi, saya menyadari juga bahwa saya masih memiliki banyak kelemahan, saya merasa talenta saya biasa-biasa saja,”tutur Nils. Semakin lama tinggal dengan beberapa utusan misi, Nils makin sadar merekapun adalah orang-orang sederhana, orang-orang biasa. Meski demikian dalam kesederhanaan mereka Allah memakai para utusan secara luar biasa. Allah memampukan mereka untuk menjadi sahabat, bapak rohani, guru dan gembala bagi suku-suku pedalaman tersebut.
“Jika Allah memakai mereka untuk berkarya, pastilah Allah juga bisa memakai saya yang kecil dan sederhana ini,”katanya. Demikianlah Nils semakin yakin dengan panggilannya.
Setelah selesai menjalani studi teologi Nils pulang kampung ke Bargen untuk melayani di sebuah gereja kecil di kampungnya, yaitu Rumah Doa Desa Frekhaug, yang berjarak 29 km dari pusat kota Bargen. Desa ini hanya berpenduduk sekitar tiga ribu jiwa. Tergolong sunyi, namun Nils mencintai kampung halamannya ini. Nils akhirnya ditahbiskan menjadi pendeta pada 2008.
Sekitar 2005, Nils menikah dengan teman kuliahnya Anna Cecilia. Ternyata Anna, yang asal Swedia ini juga memiliki kerinduan untuk melayani di tempat-tempat yang jauh, di Asia atau Afrika. Setahun setelah mereka menikah, Nils dan Anna sepakat untuk berlibur ke berbagai tempat di Asia hingga Australia. Mereka sekaligus mencoba meneguhkan panggilan mereka sambil mengenal alam dan budaya di negara-negara yang mereka kunjungi.
“Ketika mengunjungi Indonesia, hati kami berdua merasakan suasana yang damai, penduduknya ramah dan bersahabat. Hati kami pun tertaut dengan Indonesia. Kami berharap nantinya kami diberi kesempatan melayani di tempat ini,”kata Nils.
Setelah beberapa tahun melayani di Frekhaug, akhirnya sekitar 2011 Nils dan Anna dikirim ke Indonesia. Waktu itu mereka sudah dikaruniai Tuhan sepasang putra dan putri. Maka, berangkatlah Nils, istri dan kedua anaknya ke tanah perjuangan. Karena mereka Nils dan istrinya belum fasih berbahasa Indonesia, mereka ditempatkan di pusat pelatihan dari lembaga misi yang mengutus mereka, Lembaga Obor Sahabat, di Cimbeleuit Atas, di Bandung. Selama empat bulan mereka belajar berbagai hal, namun yang terutama adalah bahasa Indonesia.
“Dibanding bahasa Cina ataupun Jepang, bahasa Indonesia tergolong lebih mudah dipelajari,”tuturnya. “Setelah 4-5 bulan belajar saya sudah berani berkhotbah di depan umat atau mahasiswa,”terangnya. “Saya setelah beberapa waktu di Bandung sudah mulai berani berkomunikasi dengan orang-orang setempat. Jauh lebih sulit yang dialami rekan saya di Cina. Mereka harus bersekolah secara khusus dahulu selama 2 tahun untuk belajar bahasa Cina. Setelah itu pun baru bisa menguasai sedikit-sedikit komunikasi dalam bahasa Cina,”lanjutnya.
Meskipun Bandung dan Bargen terpisah ribuan kilometer, namun Nils dan keluarganya tidak memiliki kendala berarti dalam beradaptasi. Bahkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. “Kami semua menikmati makanan-makanan khas Indonesia: nasi, sate, perkedel, tempe semua kami makan. Kecuali makanan yang terlalu pedas. Saya yang paling sensitif kalau makan makanan yang terlalu pedas, sering sakit perut.”
Setelah tinggal sekitar empat bulan di Bandung, Nils dan keluarganya kemudian berangkat ke Medan, Sumatra Utara. Di Medan, Nils ditugaskan sebgai Pembina rohani di STT Abdi Sabda, Medan. Setiap harinya Nils sebagai salah satu bapak asrama menjadi sahabat dan mendampingi para mahasiswa dalam ibadah-ibadah pagi maupun malam di asrama. Nils juga menjadi bapak rohani bagi mahasiswa-mahasiswa yang membutuhkan bimbingan pastoral.
STT Abdi Sabda sendiri berdiri pada 16 Agustus 1967. Kini ada tujuh gereja pendukung dan Pembina STT Abdi Sabda, yaitu: Gereja Kristen Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Krisen Indonesia Sumatra Utara (GKI Sumut), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), dan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI).
Selain sebagai pembina rohani di STT Abdi Sabda, Nils juga mengajar dalam Kursus Intensif Bahasa Inggris (KIBI) yang diselenggarakan di perguruan tinggi tersebut. Hubungan antara Nils dengan para mahasiswa begitu dekat, ia menikmati suasana melayani di STT Abdi Sabda. Namun, sebagai seorang misionaris yang merindukan pelayanan langsung di lapangan, ia berharap mendapat kesempatan melayani di gereja atau di ladang-ladang misi di Sumatra Utara. Maka, ia pun menghadap Ketua STT Abdi Sabda pada masa itu, Dr. Jontor Situmorang.”Bagaimana kalau saya ditugaskan lebih banyak ke lapangan, Pak?”demikian tanya Nils waktu itu.
Lembaga Obor Sahabat atau kini bernama Yayasan Lentera Kasih Agape, yang menaungi pelayanan Nils memiliki berbagai proyek kerja sama dengan berbagai gereja di Sumatra Utara, seperti dengan GKLI di Shabong-habong, GKPPD (Gereja Kristen Pak-pak Dairi), dengan Gereja Mentawai di Mentawai dan juga dengan beberapa gereja di Nias. Ketua STT Jontor Situmorang menyetujui keinginan Nils. Nils pun mulai terlibat dalam pelayanan di berbagai gereja di wilayah Medan. Sesuai latar belakang pendidikannya, dengan berbagai gereja di Medan dan sekitarnya tersebut Nils membuat berbagai seminar-seminar misi dan membantu mendampingi gereja-gereja dalam membangun kelompok-kelompok kecil. Pelayanan misi dan pendampingan gereja inilah yang dirindukan oleh Nils sejak pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia. Bisa bertemu langsung dengan warga-warga gereja dari berbagai kalangan menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.
Di luar kelas-kelas seminar misi Nils dan istrinya melakukan pendampingan-pendampingan untuk memberdayakan perekonomian jemaat. Juga ada kelas program khusus yang disebut Sharpening Your Interpersonal Skill (SYIS). Banyak konflik atau miskomunikasi dalam kehidupan berjemaat atau dalam pelayanan terjadi karena kurangnya kemampuan komunikasi antar personal. Jika setiap warga jemaat mengetahui dasar-dasar komunikasi antar personal diharapkan komunikasi berjalan lancar dan konflik-konflik karena miskomunikasi bisa dihindari.
Nils dan istrinya tidak hanya melayani dan terlibat dalam pendampingan-pendampingan di gereja kota. Mereka berkarya sampai ke pelosok-pelosok Tapanuli Selatan, Pak-pak Dairi, Mentawai, Nias dan sebagainya.
“Prinsip pelayanan lembaga kami memang melayani sampai ke pelosok. Ada keyakinan yang dipegang oleh setiap misionaris dari lembaga kami demikian: kami berangkat menuju lokasi pelayanan dengan mobil selama masih ada bensin dan mobil bisa berjalan, setelahnya kami akan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sampai kaki kami tidak mampu lagi melangkah kami baru berhenti dan mulai melayani di tempat tersebut,”tuturnya.
Di sebuah Gereja Kristen Lutheran Indonesia (GKLI) yang berjarak 8 jam dari Medan, orang bule seperti Pak Nils dan istrinya tidak terlalu membuat warga heran, karena sebelumnya pernah juga ada orang Norwegia melayani di sana. Di gereja lainnya, ada juga warga yang heran, melihat orang bule setinggi hampir dua meter datang ke kampung mereka. Namun, keheranan mereka segera berubah menjadi keramahan dan keakraban ketika Pak Nils mulai menyapa mereka dan mengajak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
“Mereka mulai nyaman dan akrab ketika saya menyapa mereka, hanya beberapa orang tua tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka hanya bisa berbahasa Batak,”tuturnya. Beberapa orang tua yang mungkin tidak pernah melihat orang bule bahkan sempat mengira Pak Nils dan istrinya sebagai orang Manado. Meskipun menganggap dirinya sebagai orang yang cukup ramah, Pak Nils masih sering belajar kepada istrinya Anna.
“Istri saya lebih luwes dalam pergaulan dibanding saya. Mungkin karena wanita lebih mudah dan pandai bergaul. Istri saya sedari muda adalah seorang social workers. Di luar kegiatan rutin kita di gereja-gereja, ia ikut dalam beberapa proyek lembaga misi di Medan dan sekitarnya terkait kesehatan mental, pendampingan dan penyembuhan trauma (trauma healing) dan sebagainya,”kata Nils.
“Saya senang saat melihat gereja-gereja yang saya layani senang belajar hal-hal baru, bertumbuh dan warganya mulai rajin membaca Alkitab,”katanya.
Meski menyenangi karakter umat Kristen di Indonesia yang ramah-ramah dan mudah akrab, Nils dan istrinya sempat terkejut ketika pertama kalinya mengunjungi gereja-gereja. “Yang paling membuat saya terkejut dan heran adalah kami biasa melihat orang merokok di dalam gedung gereja. Di Norwegia tidak ada yang demikian. Kalaupun orang ingin sekali merokok, mereka akan keluar dari gedung gereja dan merokok di luar ruangan,”katanya. “Saya tidak mau mengatakan hal tersebut dosa. Hanya sedikit heran, karena memang latar belakang budaya kami yang berbda,”lanjutnya.
Di sisi lain Nils senang karena rata-rata umat kristiani di Indonesia rajin ke gereja. “Di Indonesia paling tidak sebagian orang Kristen pada hari Minggu ke gereja. Gereja-gereja pada hari Minggu selalu penuh dengan jemaat-jemaat anak hingga dewasa,”katanya.
”Hal yang sebaliknya di Norwegia. Akhir-akhir ini di Norwegia gereja tidak terlalu penuh. Hanya 10 sampai 12 orang saja yang rajin ke gereja. Kebanyakan orang-orang tua. Di Indonesia jauh lebih baik,”lanjutnya.
Nils mengamati memang belakangan gereja-gereja di Eropa cenderung sepi pengunjung. Ia mengibaratkan mirip-mirip istilah Kristen KTP kalau di Indonesia. Di KTP-nya tertera Kristen namun kalau melihat hidupnya hampir tidak terlihat ciri khasnya sebagai pengikut Kristus. Hal ini menurut Nils karena materialisme yang sangat kuat. Angka kesejahteraan tinggi. Rata-rata setiap keluarga memiliki rumah, beberapa mobil bahkan punya vila-vila di pegunungan. Mereka tiap akhir minggu lebih suka menikmati liburan, bermain menikmati hidup. Ibadah bukan lagi merupakan kebutuhan yang utama dalam hidup mereka. Mereka hanya merayakan Natal ataupun perayaan kristiani sebatas merayakan tradisi atau budaya saja.
Salah satu gereja yang Nils memiliki hubungan cukup dekat adalah GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola). Kebenaran GKPA juga salah satu gereja pembina STT Abdi Sabda tempat Nils melayani. Suatu saat GKPA membuka gedung gereja yang baru di Jl. Wei Sampu, Medan. Nils dan istri ikut hadir di ibadah pembukaan tersebut. Ephorus GKPA, Pdt. Togar Simatupang, M.Th, mengatakan demikian: “Pak Nils sudah lama di Indonesia, tapi belum kita berikan marga Batak. Bagaimana kalau kita beri gelar adat?” Kebetulan pendeta GKPA di tempat tersebut adalah Pdt. Silaban. Maka dalam upacara adat sederhana, Nils diberikan marga Silaban dan diangkat menjadi anak Pdt. Silaban, istrinya diberikan boru Siregar Dongoran.
Beberapa tahun melayani di Medan Nils dan Anna Cecilia dikaruniai tambahan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Tuhan tetap menyertai dan melindungi keluarga mereka di tanah asing yang jauh. “Jika di Indonesia semboyannya: dua anak cukup, Tuhan memberi kami: dua pasang anak cukup,”tuturnya sambil tertawa. Selama di Indonesia anak-anaknya belajar empat bahasa dari orang tua mereka: Bahasa Indonesia, Bahasa Norwegia, bahasa Swedia dan tentu saja bahasa Inggris yang merupakan bahasa pengantar di sekolah mereka, sekolah untuk anak-anak ekspatriat di Medan.
Kehidupan misionaris yang sering melayani hingga ke pedalaman tidak selalu mudah. Pernah Nils mengalami demam berdarah cukup parah. “Mungkin saya terkena di Lombok, namun baru terasa demamnya ketika saya pulang ke Medan,”kenangnya. “Beberapa warga jemaat menyarankan untuk saya mengkonsumsi sup anjing. Rasanya bagi saya sedikit aneh. Yang penting pada akhirnya saya sembuh,”lanjutnya sambil tertawa.
Tantangan lainnya adalah soal penyakit perut. Seringkali karena persoalan makanan. Pernah ketika ia dan keluarga berlibur ke Norwegia setelah dua tahun melayani di Indonesia, ia menderita diare cukup lama. “Setelah satu bulan di Norwegia dan beberapa kali periksa, dokter sudah tahu obat apa yang sesuai untuk sakit saya. Sekarang saya tidak perlu terlalu khawatir lagi soal gangguan perut dan diare,”katanya.
Pernah juga ia mengalami gigitan hewan beracun. Awal di Medan, Pak Nils dan keluarga tinggal di Komplek Perumahan Taman Setia Budi Indah. Ini termasuk sebuah kompleks perumahan mewah di Medan, di Jalan Setia Budi. Pak Nils berpikir, kalau tinggal di kompleks mewah tidak akan bisa dekat jemaat-jemaat yang dilayani. Maka ia pun memutuskan pindah di pinggiran kota, di daerah Sri Gunting. Suatu hari ketika sedang berjalan di sekitar rumahnya dengan sandal, seekor kalajengking menggigit kakinya. Mulanya hanya seperti nyeri kecil saja. Ia segera masuk rumah untuk membersihkan luka. Tak beberapa lama seluruh badannya terasa demam dan ia merasa pening. Ia hanya bisa berdoa, membersihkan luka dan memberi obat tetes luka antiseptik. Untunglah Tuhan masih menyertainya. Pak Nils sembuh. Masih ada beberapa peristiwa yang menyertai selama pelayanan di Indonesia, namun Pak Nils bersyukur Tuhan selalu menjaga dirinya dan keluarganya.
Pada 2019, Nils dan keluarganya balik ke Norwegia. Kembali ke kampung halaman di Bargen. Beda dengan ibadah di Indonesia yang rata-rata setiap kali ibadah dihadiri ratusan warga jemaat, di Rumah Doa di Bargen hanya melayani sepuluh keluarga. Namun, meskipun hanya sepuluh keluarga, suasana persekutuannya sangat akrab dan ramai. Ada juga kelas Sekolah Minggu untuk anak-anak dan remaja. “Sedikit berbeda kalau kami ke Swedia mengunjungi mertua. Di sana gereja benar-benar sepi, dan hanya dikunjungi orang-orang tua. Tidak ada Sekolah Minggu sehingga anak-anak sedikit bosan di gereja,”tutur Nils. Di keluarga sendiri, Nils dan Anna membiasakan anak-anaknya untuk memiliki kehidupan doa dan rajin membaca Kitab Suci. Seiring berjalannya waktu anak-anak mereka juga mulai aktif terlibat dan membantu dalam berbagai kegiatan pelayanan gereja di Bargen.
Setelah beberapa tahun pulang kampung, Yayasan Lentera Kasih Agape memanggil Pak Nils dan istri untuk melayani kembali di Indonesia. Ada program baru yang akan dikembangkan dan disiapkan untuk gereja-gereja yaitu: Use Your Talent. Program ini dilatarbelakangi kebiasaan gereja-gereja di Indonesia yang senang jika mendapatkan bantuan dana dari luar negeri atau dari luar gereja. Semua gereja menurut Nils senang menerima bantuan jika ada kesempatan. Nils melihat dalam jangka panjang hal itu tidak selalu tepat. Gereja-gereja di Indonesia harus mulai berubah dan belajar untuk mandiri. Gereja harus mulai lebih meyakini dan mengenal semua asset dan sumber daya yang tersedia di gereja. Talenta-talenta yang dimiliki setiap warga jemaat harus diberdayakan, sehingga gereja bukan bergantung pada sokongan dana dari luar, melainkan bertumbuh dengan talenta dan sumber daya yang ada di gereja sendiri.
Program Use Your Talent ini sebenarnya sudah diujicoba di gereja-gereja di Madagaskar, dan cukup berhasil di sana. Semoga gereja-gereja di Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk mewujudkan gereja yang bertumbuh dan mandiri.
Bertahun-tahun melayani di Sumatra Utara membuat Nils dan keluarga demikian mencintai Indonesia, yang sering mereka sebut sebagai Tanah Air kedua. Anak-anaknya pun demikian senang, saat mereka mendengar orang tua mereka akan pulang ke Indonesia. Karena banyak juga teman-teman mereka di Indonesia.
Hampir 20 tahun Nils melayani Tuhan baik di Norwegia maupun di Indonesia. Nils dengan rendah hati menyatakan bahwa dirinya sangat bersyukur sebagai orang desa yang sederhana diberikan kesempatan Tuhan melayani hingga ke negeri yang jauh. “Saya berasal dari desa kecil di Norwegia. Hanya 5 keluarga yang tinggal di desa saya. Saya hanyalah orang desa sederhana yang diberikan kesempatan melayani oleh Tuhan,”katanya. “Berkat Tuhan sangat luar biasa sehingga saya beroleh kesempatan bepergian ke berbagai tempat.”
Nils hanya berharap nama Tuhan semakin dimuliakan melalui apa yang ia lakukan.”Saya ingin menjadi semakin kecil supaya Tuhan Yesus menjadi semakin besar. Terutama melalui pelayanan yang saya lakukan di Indonesia, negeri yang begitu dekat di hati saya.” Pernyataan ini sejalan dengan motto hidup Nils yang juga moto hidup lembaga yang menaunginya: Dunia Bagi Kristus.
Nils begitu bersukacita setiap melihat orang-orang baru yang menerima baptisan, yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus. Meskipun ia pun melihat, belakangan banyak orang yang menghilang dan meninggalkan Tuhan Yesus. “Saya yakin meskipun beberapa orang mundur dari iman mereka, suatu saat Tuhan Yesus akan menggerakkan mereka kembali. Pada akhirnya baik di Indonesia maupun di Norwegia, orang-orang diajak untuk mengambil keputusan terpenting dalam hidup mereka: menerima atau menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.”
Doa Nils dan keluarganya setiap hari hanya sederhana, agar Tuhan selalu memandunya untuk dapat melayani Dia dengan baik dan benar. Ia juga berharap semua anggota keluarganya setia menjadi pengikut Kristus dan melayani di mana saja sesuai talenta yang mereka miliki. Bukankah ini juga yang kita rindukan sebagai pengikut Kristus? Seperti pernyataan Rasul Paulus dalam suratnya: Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. (Filipi 1:21-22a).