-->

Jumat Agung 2023


Jumat Agung
7 April 2023

Kasih Agung Dalam Penolakan

Yesaya 52:13-53:12; Yohanes 19:16-37

Renungan

Kematian Yesus di kayu salib sering dimaknai sebagai sebuah wujud kasih tanpa batas yang begitu besar mengubah kehidupan. Tentu saja pemahaman ini tidaklah keliru, apalagi perlu dibantah. Namun, sebagai umat percaya, kita juga tidak boleh kehilangan nilai pemaknaan terhadap wujud kasih tersebut yang cenderung menikmatinya secara egois dan narsis. Justru, peristiwa salib semestinya menjadi sebuah momentum peristiwa yang menggedor setiap kekerasan hati seorang percaya untuk melepaskan segala keberdosaan dari dalamnya agar kemudian diisi oleh kasih Sang Kristus.

Nubuatan mengenai kematian Sang Juruselamat sudah dapat dilacak dari beberapa perkataan para nabi, misalnya yang disampaikan oleh nabi Yesaya. Berdasarkan Yesaya 52:13-53:12, kita dapat melihat dengan begitu eksplisit mengenai kondisi Sang Mesias yang dipandang sebagai Raja, namun harus mengalami kematian dengan perlakuan yang begitu penuh hina dari manusia yang justru sedang diperjuangkan oleh-Nya. Perkataan nabi Yesaya di dalam teks ini sesungguhnya menampilkan kenyataan yang begitu dramatis dalam peristiwa kematian Sang Mesias. Pasalnya banyak orang tidak menyadari bahwa Sosok yang mereka permalukan dan bunuh adalah Dia yang sedang berkarya untuk menghadirkan keselamatan bagi mereka sendiri. Nabi Yesaya berkata, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.”

Selaras dengan nilai pesan nubuatan nabi Yesaya tersebut, Athanasius dari Alexandria, salah seorang tokoh gereja abad-4 pernah memberikan pernyataan bahwa kematian yang dialami oleh Sang Firman sebagai manusia di atas kayu salib merupakan aksi cinta yang sangat murni bagi manusia sehingga segala kerusakan (keberdosaan) yang melekat pada diri manusia pun ikut hancur melalui kematian Yesus tersebut. 8Bagi sebagian orang yang masih terlalu berkeras hati untuk menolak Yesus, tentu peristiwa salib akan dianggap sebagai bukti kelemahan-Nya. Itulah mengapa, muncul penolakan dan sikap merendahkan terhadap karya penyelamatan yang Yesus Kristus lakukan. Namun, bagi setiap orang yang dengan sadar menerimanya sebagai karya penebusan penuh cinta, semestinya peristiwa salib direspons dalam kesediaan untuk berkomitmen menjalani bentuk hidup baru yang lepas dari ikatan keberdosaan. Pertanyaannya adalah ‘apakah setiap umat Tuhan sudah dengan sungguh-sungguh merespons peristiwa salib dalam kesadaran terhadap cinta Sang Firman dan sikap merendah di hadapan tubuh Sang Firman? Atau, jangan-jangan masih banyak umat Tuhan yang justru menjalani hari Jumat Agung tanpa adanya pemaknaan yang menyeluruh terhadap peristiwa salib tersebut?

Marilah kita maknai hari Jumat Agung ini dengan merenungkan secara mendalam bentuk kasih dari Sang Juruselamat yang rela direndahkan dan mati demi menghadirkan keselamatan bagi setiap orang yang justru telah menolak-Nya. Biarlah perkataan nabi Yesaya menjadi teguran sekaligus ajakan bagi kita untuk merendahkan hati di hadapan tubuh Sang Firman yang sedang menerima kematiaan di dalam Diri-Nya, yakni “...dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”

8Alister McGrath, Ed.. The Christian Theology Reader. 2017. West Sussex: Wiley Blackwell, 288.


Pertanyaan Refleksi

Penyesalan terbesar apa yang ingin anda sampaikan di hadapan salib Sang Kristus?