-->

Rabu Abu 2023


RABU ABU
22 Februari 2023

Ketulusan Di Hadapan Tuhan

Yoel 2:1-2, 12-17; Matius 6:1-6,16-21

Renungan

Hampir setiap orang beragama cukup terbiasa melakukan berbagai tradisi ritus keagamaan, baik yang sifatnya individual maupun komunal. Namun, persoalan yang cukup esensial dan perlu untuk digumuli oleh setiap orang yang melakukannya adalah ‘Apakah saya benar-benar memahami alasan dan tujuan dari melakukan hal tersebut?’ Artinya, sebuah tindakan hidup beriman tentu baik dan penting untuk dilakukan. Namun, hal tersebut akan menjadi minim dampak atau bahkan berubah sia-sia jika dijalankan sebagai sebuah rutinitas yang tanpa alasan dan tujuan dari si pelaku. Oleh sebab itu, memiliki landasan pemahaman, alasan dan tujuan yang jelas serta tepat adalah penting bagi setiap umat Tuhan untuk menjalani setiap bentuk pengabdiannya kepada Tuhan. Salah satu bentuk dari tindakan-tindakan tersebut yang akan kita renungkan secara lebih mendalam adalah perihal ‘pertobatan’.

Bertobat merupakan sebuah praktik yang tentu diketahui oleh setiap umat beragama. Namun, apakah setiap orang benar-benar mampu memahami dan memaknainya secara mendalam? Berdasarkan firman Tuhan yang tertulis pada kitab nabi Yoel terdapat sebuah kata yang juga menjadi landasan dari kata ‘bertobat’. Di dalam Yoel 2:12, melalui nabi Yoel, Tuhan menyerukan bangsa Israel untuk ‘berbalik’ (Ibr. שׁוּב, shub) kepada-Nya. Mereka telah berjalan menjauhi (membelakangi) Tuhan yang menandakan segala bentuk kehidupan yang mereka bangun adalah bertentangan dan menolak Tuhan. Itulah mengapa, nabi Yoel diutus untuk menyerukan pertobatan bagi seluruh umat untuk menghadapi hari penghakiman yang segera datang, seperti yang tergambar pada ayat 1 dan 2. Pertobatan yang dimaksud pun bukanlah sebatas ritus berisikan rangkaian kata-kata puitis yang terkesan pilu seperti yang nabi Yoel katakan, “koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu…”

Sebuah pertobatan yang sejati merupakan tindakan yang berasal dari kesungguhan hati yang menyadari dan menyesali segala keberdosaan yang dilakukan kepada Tuhan. Seseorang yang melakukan pertobatan berarti ia mengambil keputusan untuk mengubah arah hidupnya, yang semula bertentangan dan melawan Tuhan, menjadi sikap hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan serta menyenangkan-Nya. Inilah mengapa di dalam pesan kenabiannya, nabi Yoel berkata bahwa sebuah pertobatan bukanlah sesuatu yang sifatnya ‘keindahan’ di luar, melainkan kualitas dari dalam. Pertobatan bukanlah sebuah tampilan tanpa nilai, melainkan wujud keseriusan seorang umat yang berkomitmen untuk menjalani hidup selaras dengan nilai kebenaran firman Tuhan. Sebuah pertobatan yang sejati juga tidak akan mungkin dilakukan dalam kepalsuan atau kepura-puraan. Setiap orang yang bertobat akan dengan sungguh-sungguh melakukannya dalam komitmen, ketulusan dan kejujuran di hadapan Tuhan yang kemudian akan disertai adanya perubahan sikap hidup selaras dengan nilai firman Tuhan.

Nilai kemurnian dan ketulusan ini pula yang muncul dalam Matius 6, tepatnya sebagai pengajaran yang Tuhan Yesus berikan kepada para orang banyak yang mengikuti-Nya. Paling tidak ada tiga hal yang dirujuk oleh Tuhan Yesus dalam pengajaran-Nya pada bacaan ini, yaitu perihal bersedekah, berdoa dan berpuasa. Ketiganya merupakan praktik keagamaan yang lazim dilakukan pada masa itu, terkhusus oleh orang-orang Yahudi. Lantas, nilai apa yang berbeda di dalam pengajaran dari Yesus tersebut? Hal ini terletak pada kemurnian alasan dan ketulusan tujuan pada tiap kali melakukan hal tersebut. Tuhan Yesus sangat menegaskan agar orang-orang yang mendengarkan-Nya pada saat itu tidak terjebak pada rutinitas minim makna; agar mereka tidak melakukan semua kebiasaan itu dengan kepalsuan atau hanya untuk dilihat orang (pencitraan yang buruk); dan, agar mereka memahami bahwa setiap kegiatan yang mereka lakukan itu semestinya menjadi praktik iman yang semakin meningkatkan kualitas relasi antara mereka, sebagai umat, dengan Tuhan. Inilah alasan dan tujuan paling utama yang tidak boleh tergantikan oleh apa pun selain dari Tuhan itu sendiri.

Pengajaran yang diberikan oleh Tuhan Yesus itu pun tidak hanya menjadi relevan untuk kehidupan para umat pada ribuan tahun yang lalu, melainkan juga sangat penting untuk kita renungkan pada masa sekarang. Tidak dapat dipungkiri, entah sadar maupun tidak, entah mau diakui maupun ditampik, sebagai manusia kita selalu memiliki kecenderungan untuk memenuhi ego maupun menjalani hidup sesuai dengan pertimbangan yang kita anggap baik dan benar. Padahal, belum tentu semuanya sesuai dengan kehendak Tuhan. Alhasil, kita menjalani hidup dengan berpusat pada diri sendiri, bukan berpusat pada Tuhan. Hal ini juga dapat terjadi ketika kita menjalani berbagai praktik iman, termasuk beragam ritus yang sifatnya personal maupun komunal, entah pada saat kita memberikan persembahan, melakukan ibadah Minggu, berbagi kepada sesama, bahkan pada saat mengaku dosa di hadapan Tuhan.

Oleh sebab itu, seruan pertobatan seperti yang muncul pada kitab nabi Yoel adalah sebuah ajakan untuk kita lakukan pada hari Rabu Abu ini untuk terus kita lanjutkan, terkhusus selama menjalani masa pra-Paskah. Kita perlu menjalani seluruh rangkaian hari pada masa pra-Paskah ini sebagai kesediaan untuk mengarahkan hati dan pikiran sepenuhnya kepada Tuhan. Kita perlu benar-benar mempersiapkan diri untuk mengalami hidup dan keselamatan yang Tuhan kerjakan. Penderitaan Kristus yang harus Ia alami demi menggantikan manusia dari segala konsekuensi dosa semestinya menyadarkan kita untuk tertunduk malu dan tidak lagi berusaha untuk memanipulasi kasih-Nya yang abadi dan tanpa syarat.


Pertanyaan Refleksi

Apakah anda siap menjalani masa Pra-paskah untuk menghayati dengan sungguh segala penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus, sang Juruselamat, demi menghadirkan penebusan bagi dunia?