-->

Sabtu Sunyi 2023


Sabtu Sunyi
8 April 2023

Kuasa Dalam Kematian Yesus

Ayub 14:1-14; Matius 27:57-66

Renungan

Keluh kesah Ayub menjadi sebuah tindakan eksistensialnya sebagai seorang manusia yang meraga dan hidup dengan rasa. Dia tidak kehilangan harapan atas masa depan di tengah kondisinya yang sedang penuh dengan pergumulan berat yang datang bertubi-tubi. Apabila kita melakukan pembacaan ke bagian-bagian awal kitab Ayub, maka dapat kita temukan narasi mengenai rentetan hadirnya masalah-masalah besar yang terjadi dalam keluarga Ayub. Dia tidak memiliki waktu untuk secara penuh menggumuli satu bentuk permasalahan yang muncul hingga hadir masalah-masalah baru yang juga tidak kalah rumit untuk dia maknai. Di tengah situasi hidup yang seperti itulah Ayub merasa kehidupan ibarat sebuah ruangan yang terlalu penuh dengan hiruk pikuk sehingga ia menganggap kematian adalah jauh lebih tenang untuk menjadi tempat tinggalnya.

Sebagai manusia yang tak mampu menanggung beban hidup yang begitu berat, nampaknya curahan hati Ayub adalah sesuatu yang sangat wajar untuk terjadi. Justru, kita melihat sebuah kondisi yang begitu memprihatinkan dari satu individu yang sangat ingin terasing dari kehidupan demi menghindari beragam kenyataan yang begitu mengganggunya. Kematian bagi seorang Ayub pada pasal 14 ini menjadi sebuah keadaan yang sangat didambakan. Namun, kondisi yang berbanding terbalik justru terjadi pada saat Yesus mengalami kematian.

Tidak ada satu orang pun yang jauh lebih berkuasa dari pada kuasa Yesus yang mampu menentukan masa hidup-Nya. Hal ini dapat kita temukan secara lebih eksplisit di dalam Yoh. 19:11 ketika Dia berbicara dengan Pilatus, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku…” dan pada Yoh. 10:17&18 Dia berkata, “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilkan kembali. Inilah tugas yang kuterima dari Bapa-Ku.” Inilah perbedaan antara kematian yang didambakan Ayub dengan kematian yang diberikan oleh Yesus. Ayub mengharapkan kematian demi menikmati kenyamanan secara personal, sedangkan kematian yang Yesus alami adalah bentuk kerelaan demi menghasilkan ketenangan dan damai bagi dunia.

Kematian Yesus ternyata menjadi gangguan hidup bagi manusia-manusia yang menolak-Nya dan setiap karya misi yang Dia lakukan. Alih-alih mendapatkan ketenangan dari kematian Yesus, para imam dan orang Farisi justru menjadi semakin gelisah di tengah kehidupannya. Bahkan, saking gelisahnya mereka masih harus melakukan serangkaian tindakan untuk membungkam dampak kehadiran Yesus Kristus dengan cara menempatkan prajurit untuk menjaga kubur Yesus dan memeterai kubur-Nya - hal yang lebih miris juga ditunjukkan ketika mereka harus menyebarkan dusta tentang kebangkitan Yesus kelak, seperti yang tertulis pada pasal 28:11-15-.

Respons yang berbeda terhadap kematian Yesus justru muncul dari Yusuf orang Arimatea. Inisiatifnya untuk mengambil jenazah Yesus dan menguburkannya dalam sebuah kubur khusus merupakan bentuk penghormatan sekaligus wujud ikatan kasihnya bagi sosok Yesus yang tidak luntur oleh sebuah kematian. Persoalannya jenazah orang yang mati disalibkan pada masa itu biasanya dikubur dalam kuburan massal. Artinya, jenazah Yesus berpotensi untuk dikubur bersama dengan jenazah para penjahat yang juga ikut disalibkan bersama-Nya. Berdasarkan sudut pandang kebudayaan masyarakat saat itu, hal ini adalah sebuah bentuk penghinaan kepada sosok Yesus yang dianggap sebagai Guru dan Pemimpin besar oleh para pengikut-Nya.9 Oleh sebab itu, tindakan Yusuf orang Arimatea di dalam perikop ini merupakan contoh respons seorang pengikut yang penuh cinta terhadap Yesus sekaligus menjadi indikator kualitas relasi yang intim dengan-Nya.

Pada hari Sabtu Sunyi ini, kita patut merenungkan secara mendalam tentang nilai pengorbanan Yesus Kristus atas kerelaan-Nya dalam memberikan nyawa-Nya dan menerima kematian di dalam Diri-Nya. Berdasarkan permenungan terhadap Ayub 14:1-14 dan Matius 27:57-66, kita pun sudah melihat bagaimana kematian terjadi pada Yesus Kristus bukanlah sebuah upaya pencarian jalan keluar yang narsis dari Yesus, melainkan sebuah tindakan penuh kasih murni untuk mendatangkan kedamaian hidup bagi dunia.

9Grant R. Osborne. Exegetical Commentary on the New Testament: Matthew. 2010. Grand Rapids: Zondervan, 1049.


Pertanyaan Refleksi

Bagaimana sikap hidup yang mampu anda lakukan dan anda anggap perlu diwujudkan sebagai bentuk penghayatan penuh hormat serta kasih terhadap kematian Yesus Kristus?