Setelah semua pujian dan ungkapan hati yang disampaikan oleh mempelai pria, sekarang giliran mempelai perempuan yang memberikan respons. Ayat 16 merupakan seruan dari mempelai perempuan yang mengundang mempelai pria untuk masuk ke dalam ruang dirinya yang paling personal dan intim. Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa cinta keduanya tidaklah bertentangan atau bertepuk sebelah tangan. Ada keterhubungan di antara keduanya yang menghasilkan pertautan cinta yang saling menginginkan dan terbuka satu dengan lain. Pernyataan yang muncul pada ayat ini pun menjadi undangan sekaligus sebagai bentuk keterbukaan dari mempelai perempuan untuk mempelai pria.
Pada ayat 16 ini mempelai perempuan sedang mengumpamakan dirinya seperti kebun penuh pohon buah-buahan yang terpelihara dan siap untuk dipanen. Ia pun mempersilahkan mempelai pria untuk masuk ke dalam kebun itu dan menikmati segala buah-buahan yang sudah dipersiapkan olehnya. Sepintas ayat ini seolah menjadikan perempuan sebagai objek di hadapan laki-laki, entah perempuan sebagai komoditas seksual maupun harta kepunyaan yang berfungsi untuk memuaskan keinginan laki-laki. Padahal, ayat ini justru sedang menunjukkan komitmen dan keseriusan cinta yang diberikan oleh seseorang kepada kekasihnya dalam sebuah sikap keterbukaan yang total.
Keterbukaan yang diberikan oleh mempelai perempuan ini pun mendapatkan respons yang seirama dari kekasihnya. Mempelai pria dengan penuh antusias beranjak masuk dan mengumpulkan segala hasil panen yang sudah tersedia di dalam kebun. Inilah bentuk ungkapan puitis dari keseriusan cinta mempelai pria yang begitu penuh keinginan untuk hidup bersama sang mempelai perempuan.
Secara singkat, kita dapat memberikan penilaian bahwa hubungan cinta yang dibangun oleh pasangan Kidung Agung adalah model relasi yang saling menginginkan, saling menerima dan penuh keterbukaan. Berdasarkan dua ayat ini kita melihat sikap keterbukaan dari seseorang yang direspons dengan keinginan yang begitu antusias. Kedua sikap inilah yang dapat kita jadikan pembelajaran untuk menjalani hubungan yang seimbang. Keterbukaan sangatlah diperlukan demi membangun hubungan yang jujur dan tulus, sedangkan keinginan atas keberadaan pasangan akan sangat berdampak pada seberapa antusias kita dalam menerima kehadirannya. Bukankah percuma ketika seseorang begitu tulus membuka dirinya untuk menerima kehadiran orang lain, tapi orang tersebut tidak memiliki antusias bahkan tidak ingin sama sekali untuk masuk ke dalamnya? Konsep ini tidak hanya berlaku dalam hubungan antar sesama manusia, tetapi juga dapat kita refleksikan dalam hubungan dengan TUHAN. Bukankah sesuatu yang miris ketika TUHAN telah membuka Diri-Nya untuk menerima kita, tetapi kita justru menolak-Nya?