Sikap yang ditunjukkan oleh Ananias, Imam Besar pada saat itu, beserta para pemimpin agama Yahudi lainnya telah menjadi bentuk kesbombongan iman. Segala pengetahuan dan praktik keagamaan yang mereka lakukan telah menjadi senjata untuk memberikan penghakiman bagi orang lain, yang dalam hal ini adalah Paulus. Kritik balik yang diberikan oleh Paulus pun telah dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap jabatan si Imam Besar. Mereka lebih memberikan fokus kepada jabatan dibanding pada esensi dari perkataan Paulus itu sendiri.
Sahabat Alkitab, perikop bacaan pada hari ini telah menghantarkan kita kepada sebuah bentuk menjalani hidup beriman yang berfokus pada status, jabatan, dan formalitas belaka dibanding pada esensi dari setiap kegiatan keagamaan yang dilakukan. Mereka memahami proses beriman sebagai strata atau tingkatan yang berisikan kuasa untuk merendahkan. Itulah mengapa, tidak mengherankan jika ada orang yang merasa memiliki kuasa untuk menghakimi orang lain yang dianggap tidak berada pada tingkatan yang setara dengan dirinya. Mereka yang merasa taat dalam menjalankan ritus peribadahan, rajin menjalankan pelatihan spiritualitas, merasa memiliki banyak pengetahuan tentang keagamaan, namun hanya menjalankan tanpa berfokus pada esensi utama dari setiap kegiatan tersebut, sangatlah rentan untuk melakukan penghakiman.
Salah satu bahaya yang perlu diwaspadai oleh seluruh umat TUHAN dalam menjalani hidup berimannya adalah merasa sempurna karena satu-dua hal praktik keagamaan yang ia lakukan. Dengan kata lain, seseorang yang merasa aktif dalam menjalankan ritus peribadahan maupun praktik keimanan lainnya perlu berhati-hati agar tidak justru bermuara pada sikap yang pongah terhadap sesama. Maklum saja, kondisi ‘merasa sempurna’ dan ‘berhak menghakimi’ masih menjadi ancaman bagi setiap orang beriman. Itulah sebabnya, setiap umat TUHAN perlu memiliki kepekaan sekaligus kerendahan hati dalam menjalani hidupnya keimanannya agar tidak mengubah pengalaman imannya sebagai alat untuk menghakimi sesamanya.