Fajar Terbitnya Terjemahan Baru (1)

Berita | 23 Januari 2023

Fajar Terbitnya Terjemahan Baru (1)


 

Setelah Bode wafat bersama tenggelamnya kapal “van Imhoff” di perairan Nias, pekerjaan penerjemahan sempat tertunda. Yang telah terbit baru Perjanjian Baru, dan di masa sebelum perang sudah dicetak ulang sampai tiga kali. Sementara konsep Perjanjian Lama belum selesai dikerjakan. Sebagian konsep terjemahan karya Bode pun hilang. 

Setelah Perang Dunia II usai, Lembaga Alkitab Belanda (NBG) menganggap pekerjaan penerjemahan harus segera diteruskan. Umat sudah menunggu hadirnya Alkitab lengkap dalam bahasa moderna Indonesia, bahasa yang dimengerti orang-orang di seluruh Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Lembaga Alkitab Belanda segera membentuk sebuah Komisi Penerjemahan, untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis oleh Bode. 

Siapa yang akan ditugaskan mengerjakan pekerjaan ini? Mula-mula komisi mempertimbangkan menyerahkan tugas ini kepada Nyonya Bode, yang dianggap menguasai pekerjaan almarhum suaminya. Tetapi, rencana ini terpaksa ditinggalkan, karena ternyata di Jakarta muncul keberatan terhadap bahasa Melayu yang dipergunakan tim Bode. Bahasa Melayu yang dipakai Bode adalah bahasa Melayu baku dari zaman sebelum perang. Sementara bahasa tersebut sudah mulai tidak dipakai di sebagian besar wilayah Nusantara. Bahasa Indonesia sudah berkembang demikian pesat dan meninggalkan akarnya bahasa Melayu. 

Maka keinginan komisi Luar Negeri NBG agar komisi penerjemahan yang baru nantinya bekerja dengan menggunakan bahasa Melayu baku dari zaman Bode, sesungguhnya tidak realistis dari sudut pandang ilmu bahasa, dan dari segi politik ekonomi juga tidak diinginkan. Akan tetapi, tidak mungkin pengurus NBG di Amsterdam menyadari bahwa rencananya memiliki berbagai permasalahan. Karena jarak geografis dan psikologis yang besar memisahkan mereka dari perkembangan yang sedang berlangsung di Indonesia di masa peralihan ini. 

NBG kemudian menunjuk Jan Lodewijk Swellengrebel untuk memimpin pekerjaan penerjemahan Alkitab di Jakarta. Swellengrebel ahli bahasa dan sastra. Ia secara khusus mendalami bahasa Jawa, Arab dan Sansekerta, di Leiden, lalu menjadi utusan Lembaga Alkitab Belanda (NBG) yang berkarya di Bali (1936-1950). Swellengrebel menjadi konsultan dalam beberapa proyek penerjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa di Nusantara. 

Pertengahan tahun 1950-an, Swellengrebel tiba di Jakarta. Di Jakarta ia menekuni bahasa Indonesia, dan tertarik oleh perkembangan yang cepat dan khas yang sedang dialami bahasa ini. Setelah berdiskusi dengan G.P. Khouw –agen NBG di Indonesia, dan nantinya menjadi Sekretaris Umum LAI yang pertama–, ia menyatakan lewat surat kepada NBG bahwa ia bersedia mengambil tanggung jawab sebagai penerjemah sekiranya tidak ditemukan calon lainnya. 

Pada permulaan tahun 1951, Swellengrebel mulai terlibat dalam pekerjaan tersebut. Pada tahun-tahun sebelumnya, Swellengrebel telah mendapat pengalaman dalam penerjemahan Alkitab di Bali. Pengalaman itu dapat menjadi referensi dalam pelaksanaan tugas menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia. Untuk mempercepat pekerjaan tersebut, Pengurus NBG di Belanda memutuskan untuk mengirimkan C.D. Grijns dengan segera ke Indonesia guna mendampingi Dr. Swellengrebel . Grinjs seorang sarjana sastra dalam bahasa-bahasa kuno. Ia memperoleh gelar sarjananya di Utrech dalam sastra Indo-Iran, lalu melanjutkan studi untuk mendalami sastra Indonesia. Pada saat diangkat sebagai utusan NBG, Grinjs sedang mempersiapkan tahapan doktoral dalam bidang ilmu bahasa dan sastra, mendalami bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, di bawah bimbingan Prof. Dr. J. Gonda. 

Pada 20 Mei 1952, Grijns tiba di Jakarta dalam status sebagai pengantin baru. Istrinya Ariane Spijkerboer, seorang Sarjana Muda Teologi. Begitu tiba, ia segera mencurahkan perhatiannya pada konferensi penerjemahan Alkitab, kemudian langsung menyibukkan diri bersama Swellengrebel dalam rangka persiapan pekerjaan penerjemahan Alkitab. Swellengrebel mengakui, Grisnjs seorang pekerja yang cermat dan sangat tekun. 

Pada waktu itu sesekali terjadi kerusuhan di Jakarta, namun secara umum keadaan relatif aman. Kendati suasana di Kantor LAI, Jalan Teuku Umar No. 17 penuh sesak, Grijns segera berhasil menemukan tempat kerja, yaitu sebuah kamar di atas ruang konsistori Gereja Imanuel (GPIB Imanuel Gambir Jakarta-red), yang tinggi, tenang dan berhawa agak sejuk. 

Selama kurun waktu 1952-1959, Swellengrebel dan Grinjs menjadi pasangan kerja yang baik. Watak mereka seperti dinyatakan Swellengrebel sendiri amat berbeda, namun justru karena itulah mereka sering dapat saling melengkapi. 

Di tengah kesibukannya, Swellengrebel terus mencari seorang penerjemah Indonesia yang cakap. Pada bulan September 1952 ia berjumpa dengan seorang guru bahasa Indonesia, Paian Sihar Naipospos. Selain sebagai guru, pada masa itu Naipospos sudah cukup dikenal sebagai penulis handal. Awal 1953, Naipospos mulai ikut serta dalam proyek penerjemahan. Untuk sementara ia bekerja paruh waktu. 

Era 1954-1959, Mendasarkan Pada Bahasa Asli Kitab Suci

Pertengahan tahun 1954, ketiga penerjemah menyelesaikan Kabar Baik sekaligus mulai menerjemahkan beberapa kitab Perjanjian Lama. Naipospos dan Swellengrebel menangani Kitab Kejadian; Naipospos dan Grijns mengerjakan Kitab Keluaran. Begitu mulai mengerjakan teks Perjanjian Lama, mereka segera menyadari bahwa sikap mereka Terjemahan Baru bahasa Belanda dan naskah sumber dalam bahasa Ibrani sedang berubah. Pengurus NBG sebagai pemberi tugas telah menyarankan agar pekerjaan berjalan lancar dan tidak memakan banyak waktu tim diharuskan berpedoman terutama pada Terjemahan Baru Belanda dan sesedikit mungkin menggunakan naskah bahasa asli. 

Namun, tim secara halus kepada NBG menyatakan,” pada prinsipnya kami tidak menyimpang dari pandangan yang tercermin dalam Terjemahan Baru bahasa Belanda…Namun ternyata kami semakin perlu menggunakan naskah bahasa asli (sebagai rujukan).”

Perubahan haluan dari tim ini dilakukan dengan tiga alasan. Pertama, bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Indonesia berbeda jauh dalam hal pola bahasa. Karena itu, pendekatan terhadap pelbagai masalah yang timbul dalam proses penerjemahan juga berbeda; belum tentu dalam bahasa Indonesia harus dicari jalan keluar yang sama seperti dalam bahasa Belanda. Kedua, terjemahan Indonesia sedapat mungkin mesti bersifat konkordan, tetapi konkordansi hanya dapat tercipta kalau penerjemah bertolak dari naskah bahasa asli. Ketiga, di masa mendatang gereja-gereja di Indonesia dan para penerjemah Indonesia niscaya menuntut terjemahan yang bertolak dari naskah bahasa asli. “Seandainya terjemahan kami ini hanya sedikit memperhatikan naskah bahasa sumber, maka…para pengganti kami terpaksa harus mulai dari awal lagi.”

Mula-mula alasan yang dikemukakan tim tidak begitu mengesankan pihak Amsterdam. NBG cenderung mendesak tim penerjemah untuk tetap berpegang pada aturan semula untuk kembali kepada metode kerja yang lama, yang memang kurang andal, namun lebih cepat. Tak lama, karena sakit, Grijns sempat mengambil cuti ke Negeri Belanda. Dengan demikian, ia sekaligus sempat menjelaskan sendiri pendirian tim penerjemah di hadapan pengurus NBG. Komisi luar negeri akhirnya menyetujui perubahan metode itu. Akhirnya proyek penerjemahan yang para penerjemah kerjakan telah menjadi proyek penerjemahan biasa, seperti yang diselenggarakan dengan metode dan menurut kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan lembaga-lembaga Alkitab di seluruh dunia, yaitu merujuk pada bahasa-bahasa asli Kitab Suci. 

Untuk meningkatkan pengawasan atas konkordansi terjemahan, sebelumnya para penerjemah sudah mengadakan sistem kartu-kartu kecil. Pada kartu-kartu itu dicatat kata-kata dan ungkapan-ungkapan bahasa Indonesia yang dalam terjemahan dipakai sebagai padanan kata dan ungkapan Ibrani tertentu yang penting dan yang sering muncul. Jika kata-kata tertentu itu ditemukan lagi, terjemahannya di tempat lain bisa dilacak berdasarkan kartu yang bersangkutan. 

Dalam kurun waktu kedua ini berlangsung perkembangan lain. Atas usul komisi pembantu dan komisi penerjemah, pada tahun 1954, Badan Pengurus LAI membentuk Komisi Pembaca. Pada tahun-tahun pertama komisi ini mengadakan pertemuan dengan para penerjemah satu atau dua kali seminggu. Dalam pertemuan itu, mereka secara bersama-sama membaca konsep terjemahan, sambil mengkaji gaya, kejelasan dan kelancarannya. Komisi Pembaca awalnya dipimpin R. Soegiarto Tjokrosoegondo, Kepala Redaksi Badan Penerbit Kristen, yang banyak melakukan pekerjaan penerjemahan. Anggota Komisi Pembaca sering berganti-ganti, kecuali satu orang, Julianus Pamilang Siboroetorop, seorang guru, ahli bahasa Melayu/Indonesia. Beliau pada saat itu menjadi tenaga ahli pada kantor Inspeksi Pengajaran. 

Dalam paruh pertama 1955, para penerjemah pindah ke Bogor, ke sebuah kompleks yang dibangun khusus oleh NBG bagi para pegawai LAI , dan yang mendapat nama “Kampung Alkitab”. Tempat tinggal yang lebih sejuk dan luas ini sangat menyenangkan, khususnya bagi keluarga para penerjemah, yang beberapa tahun lamanya menempati satu-dua kamar di Jakarta yang padat dan panas itu. 

Namun bagi beberapa penerjemah, perpindahan ke Bogor membawa kesulitan juga. Perjalanan dari Bogor ke Jakarta atau sebaliknya naik kendaraan umum memakan waktu lama.Padahal pada waktu itu Grijns harus mengajar bahasa Yunani di STT Jakarta, dan bersama Naipospos mengikuti kuliah sastra Indonesia. Grijns tetap meneruskan kuliahnya, tetapi Naipospos untuk sementara waktu menghentikan studinya. 

Pada 1956, Grijns dan Swellengrebel mengambil cuti, sehingga pekerjaan dihentikan untuk sementara waktu. Naipospos juga sempat mengadakan perjalanan selama beberapa minggu ke Tanah Batak. Selama kepergian Grijns dan Swellengrebel, Naipospos bekerja sama dengan ahli Perjanjian Lama dari STT Jakarta, Chr. F. Barth, dan dengan pendeta utusan B.J. Boland. Sementara menerjemahkan Kitab Mazmur, Naipospos begitu terkesan dengan kemampuan Barth. Bersama Boland, Naipospos menyusun terjemahan Kitab Daniel. Barth bahkan menyatakan bersedia melanjutkan kerja sama sekembalinya Grijns dan Swellengrebel. Hal ini sungguh menggemberikan bagi tim mendapatkan tambahan tenaga seorang pakar. Namun, dengan demikian beban kerja Naipospos menjadi semakin berat. Karena ia menjadi mitra Indonesia dalam tiga pasangan secara bersamaan. Jadi, sudah waktunya BP LAI mengangkat satu orang lagi untuk menjadi tenaga penerjemah yang bekerja purnawaktu. Akan tetapi mencari tenaga penerjemah yang menguasai bahasa Indonesia begitu rupa dan dapat menggunakannya secara kreatif untuk menghasilkan terjemahan yang bermutu tidak mudah. Setelah cukup lama mencari, pada tahun 1956 bergabunglah E.I. Soekarso Widyohatmodjo, guru Sekolah Menengah di Yogyakarta. Beliau punya pengalaman mengerjakan buku-buku terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Pada 1957, Soekarso dan keluarganya kemudian pindah ke Kampung Alkitab, di Bogor. 

Menjelang akhir tahun 1957, suasana politik di Tanah Air semakin memburuk akibat konflik Indonesia dengan Belanda mengenai Papua. Paska penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia, Kerajaan Belanda masih enggan menyerahkan Papua ke Indonesia. Keadaan orang-orang Belanda di Indonesia semakin sukar. Namun, sesungguhnya masalah politik ini tidak menghalangi pekerjaan Swellengrebel dan Grinjs secara langsung. Tetapi akibat tidak langsungnya berpengaruh kepada kehidupan keluarga mereka. Karena hampir semua orang Belanda meninggalkan Indonesia, sekolah-sekolah Belanda di Indonesia pun tutup. Hal ini menimbulkan masalah besar bagi anak Swellengrebel sehingga pada bulan Juli 1958 keluarganya terpaksa meninggalkan Indonesia. Pada April 1959, Swellengrebel menyusul keluarganya. Selama beberapa waktu ia masih menjadi salah satu anggota tim penerjemah dan masih terus berkorespondensi dengan rekan-rekannya di Indonesia. Tetapi, pada tahun 1960 ia secara khusus ditugaskan NBG untuk terlibat dalam persiapan buku-buku pegangan bagi penerjemah, yaitu seri “ Helps for Translators” yang diterbitkan oleh Persekutuan Lembaga-lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies-UBS).

Tentu keberangkatan Swellengrebel merugikan proyek penerjemahan Alkitab. Di pihak lain, dengan demikian berakhirlah keadaan yang tidak normal. Selama itu, sebagai lembaga Alkitab yang memiliki keanggotaan penuh dalam UBS, kegiatan penyebaran, administrasi, hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia sudah dilakukan penuh oleh LAI. Hanya proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia yang masih di bawah koordinasi dan pengawasan langsung oleh NBG. Kepulangan Swellengrebel ke Negeri Belanda, mendorong NBG untuk menyerahkan tanggung jawab proyek penerjemahan sepenuhnya kepada LAI. Sebuah tawaran yang akhirnya diterima oleh BP LAI. 

(Bersambung) 

 

 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia