Dr. P. Toni Tantiono | Seminar Alkitab
Pengaruh Tak Tergantikan Paulus dalam Pembentukan Kekristenan
Tulisan-tulisan Rasul Paulus merupakan salah satu fondasi terpenting dalam sejarah dan teologi Kristen. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru, 13 diantaranya hampir setengahnya dikaitkan dengan Paulus. Fakta yang mencengangkan adalah bahwa surat-surat ini, terutama 1 Tesalonika ( tahun 49-50 M), merupakan teks tertua dalam Perjanjian Baru, bahkan ditulis jauh sebelum penulisan Injil. Ini menunjukkan bahwa teologi gereja perdana dibentuk terlebih dahulu oleh pemikiran Paulus, sebelum kisah hidup, pelayanan, dan kematian Yesus disusun dalam bentuk naratif. Lebih dari itu, karya-karya Paulus menjadi titik awal bagi studi teologi, sekaligus mempengaruhi memengaruhi struktur serta isi Injil dan surat-surat yang ditulis kemudian. Warisan intelektual dan rohaninya telah membentuk pemahaman esensial tentang Kristologi, keselamatan, dan eskatologi dalam tradisi Kristen.
Dari Penganiaya Menjadi Rasul: Transformasi di Jalan Damsyik
Sebelum dikenal sebagai Rasul Paulus, ia dikenal sebagai Saulus, seorang Yahudi dari suku Benyamin yang dibesarkan di Tarsus dan memperoleh pendidikan tinggi. Sebagai seorang Farisi, ia merupakan seorang murid yang bersemangat di bawah bimbingan Gamaliel, salah satu guru besar di Yerusalem. Saulus sangat bangga dengan ketaatannya pada hukum Taurat, sehingga ia menganggap ajaran Kristen sebagai ajaran sesat yang menghujat Allah, karena mewartakan Yesus yang disalib sebagai Mesias. Dengan keyakinannya fanatik itu, ia merasa berkewajiban untuk membasmi gerakan yang dianggap sesat. Ia bukan hanya menyetujui penganiayaan terhadap orang Kristen, seperti dalam kasus kematian Stefanus, tetapi juga secara aktif memimpin perburuan, penangkapan, dan pemenjaraan umat Kristen.
Namun, hidup Saulus berubah secara radikal melalui peristiwa dramatis di jalan menuju Damsyik. Pertobatan Saulus bukanlah hasil dari pencarian pribadi, melainkan inisiatif murni dari Allah. Paulus bahkan tidak menyebutnya sebagai “pertobatan” (metanoia), melainkan merasa dirinya “ditangkap” oleh Kristus. Pengalaman ini mengubah Saulus dari seorang yang menganggap diri besar dan berpengetahuan, menjadi Paulus, yang dalam bahasa Latin berarti “yang kecil,” sebuah simbol kerendahan hati dihadapan kasih karunia Ilahi.
Inti Teologi dan Ajaran Paulus
Seluruh teologi Paulus berpusat pada Kristologi, yakni ajaran tentang Kristus. Berbeda dengan Injil yang menyoroti mukjizat dan pengajaran Yesus, Paulus lebih menekankan pada makna kematian, kebangkitan, dan kerendahan hati Yesus. Baginya, Kristus yang disalib dan bangkit adalah inti dari iman. Pemahaman ini membentuk pandangannya tentang Allah sebagai Bapa Kristus, tentang iman, gereja, Roh Kudus, dan etika hidup Kristen.
Inti dari ajarannya adalah doktrin pembenaran melalui iman kepada Yesus Kristus, bukan melalui perbuatan sesuai hukum Taurat. Paulus berargumen bahwa hukum Taurat, yang dulunya berfungsi sebagai pedoman, telah kehilangan fungsi penyelamatannya setelah kedatangan Yesus, yang menjadi kegenapan dari hukum Taurat. Paulus tidak menolak hukum Taurat sepenuhnya; ia hanya menentang tradisi-tradisi buatan manusia yang dipaksakan sebagai syarat untuk keselamatan. Baginya iman yang sejati bukan sekadar pengakuan intelektual, tetapi iman yang terwujud nyata dalam hidup. Dengan demikian, perbuatan baik bukanlah syarat keselamatan, melainkan buah atau bukti dari iman yang telah dianugerahkan.
Ajaran Paulus
Meskipun ditulis ribuan tahun yang lalu, ajaran Paulus tetap relevan dan memiliki makna mendalam bagi kehidupan modern.
-
Kekudusan Tubuh: Paulus menegaskan bahwa tubuh adalah bait Roh Kudus, sebuah peringatan penting bagi masyarakat modern yang cenderung mengabaikan moralitas dan kesucian tubuh.
-
Hak Asasi Manusia: Perjuangan Paulus untuk kesetaraan antara Yahudi dan Yunani, laki-laki dan perempuan, orang merdeka dan budak, tetap relevan dengan isu-isu hak asasi manusia dan kesetaraan yang masih diperjuangkan hingga hari ini.
-
Kesatuan dalam Keanekaragaman: Ajarannya tentang karisma atau karunia yang berbeda-beda dalam satu tubuh Kristus (gereja) memberikan dasar teologis untuk menghadapi perpecahan dan mempromosikan persatuan di tengah perbedaan.
-
Kerendahan Hati: Pesan Paulus untuk meneladani kerendahan hati Kristus menjadi antitesis yang kuat terhadap arogansi dan egoisme yang sering terlihat dalam masyarakat yang serba maju.
-
Harapan: Ajarannya tentang iman, pengharapan, dan kasih menjadi keutamaan teologis yang penting. Paulus menawarkan kekuatan di tengah keputusasaan. Ia sendiri berani menanggung penderitaan karena ia beriman kepada Kristus dan memiliki pengharapan akan kebangkitan.
Pada masa Reformasi, tulisan Paulus, terutama Surat Roma dan Galatia, menjadi pusat diskusi teologis yang mengarah pada konsep sola fide (hanya oleh iman) dan sola gratia (hanya oleh kasih karunia). Meskipun perbedaan tafsir sempat menimbulkan ketegangan antara tradisi Protestan dan Katolik, dialog modern berhasil menjembatani jurang itu dan menghasilkan deklarasi bersama tentang Pembenaran. Hal ini membuktikan bahwa warisan Paulus terus hidup dan berpengaruh, membentuk teologi, etika, dan kehidupan rohani umat Kristen di seluruh dunia.
Pengaruh Paulus dalam Kanonisasi dan Tradisi Gereja
Paulus tidak hanya memberikan kontribusi melalui ajarannya, tetapi juga memengaruhi cara gereja awal mengumpulkan dan mengkanonisasi kitab-kitab suci. Koleksi surat-surat Paulus sudah muncul pada akhir abad pertama atau awal abad kedua, menunjukkan bahwa gereja perdana dengan cepat mengakui otoritas dan inspirasi dari tulisan-tulisannya. Meskipun tulisan-tulisannya kadang disalahgunakan oleh kelompok ajaran sesat, seperti Gnostisisme, surat-suratnya tidak pernah dikeluarkan dari daftar kanon Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan betapa tinggi pengakuan gereja awal terhadap status inspiratif dan wibawa rohani dari tulisan-tulisan tersebut.
Selain itu, pengaruh Paulus juga terlihat dalam perkembangan doktrin penting seperti Kristologi, Soteriologi (keselamatan), dan Eskatologi (akhir zaman). Paulus tidak hanya mewartakan Yesus sebagai Mesias, tetapi juga memberikan kerangka teologis yang mendalam tentang makna kematian dan kebangkitan-Nya bagi keselamatan manusia. Baginya, kematian Kristus di kayu salib adalah puncak dari kasih karunia Allah, yang memungkinkan manusia dibenarkan di hadapan-Nya melalui iman. Melalui ajaran ini, ia memperluas pemahaman tentang Kristus dari sekadar seorang nabi atau guru agung menjadi sosok Ilahi yang setara dengan Allah Bapa.
Paulus dan Hukum Taurat: Sebuah Relasi yang Kompleks
Salah satu aspek yang paling sering disalahpahami dari ajaran Paulus adalah pandangannya terhadap hukum Taurat. Banyak yang menafsirkan ajarannya sebagai penolakan total terhadap hukum Yahudi. Padahal, Paulus tidak menolak hukum itu sendiri, melainkan menentang anggapan bahwa ketaatan pada hukum adalah syarat keselamatan. Ia melihat hukum Taurat sebagai ‘wali’ yang menuntun manusia kepada Kristus. Setelah Kristus datang, hukum Taurat tidak lagi menjadi jalan keselamatan, tetapi tetap memiliki nilai moral yang penting bagi kehidupan orang percaya. Paulus menegaskan bahwa tujuan akhir dari hukum adalah kasih, yang merupakan kegenapan dari seluruh hukum. Dengan demikian, perbuatan baik bukanlah jalan untuk memperoleh keselamatan, melainkan buah yang lahir dari iman sejati.
Kesimpulan
Warisan Paulus dalam sejarah Kekristenan tidak ternilai. Ia mengalami transformasi radikal, dari seorang penganiaya menjadi rasul, dan kemudian merumuskan teologi yang mendalam dan relevan lintas zaman. Ajarannya tentang pembenaran melalui iman, kasih karunia, dan kerendahan hati Yesus terus membentuk dasar pemahaman iman Kristen di seluruh dunia. Meskipun ditulis ribuan tahun lalu, pesan Paulus tentang kesetaraan, kesatuan, dan harapan tetap relevan bagi tantangan moral dan sosial di masa kini. Melalui karya-karyanya, Paulus memastikan bahwa Injil Kristus bukan hanya tetap hidup, tetapi juga terus berkembang, relevan, dan memengaruhi kehidupan jutaan orang hingga hari ini.