Bincang Alkitab | Lady Mandalika
Ungkapan “Mari makan” dalam budaya Indonesia lazim dimaknai sebagai bentuk keramahan dan ajakan sosial untuk berbagi. Dua kata sederhana itu sarat dengan makna hospitalitas, solidaritas, dan penghormatan terhadap sesama. Namun, ketika ungkapan ini dibaca dalam terang Alkitab, khususnya dalam narasi Kejadian 37–50, maknanya berkembang jauh melampaui sekadar pemenuhan kebutuhan jasmani. Melalui refleksi teologis yang disampaikan oleh Lady Mandalika dalam Bincang Alkitab LAI, kisah Yusuf memperlihatkan bahwa makanan tidak hanya berbicara tentang kenyang dan lapar, tetapi juga tentang kuasa, ketimpangan, dan rekonsiliasi yang membentuk relasi manusia dengan sesamanya dan dengan Allah.
Kisah Yusuf dan saudara-saudaranya memperlihatkan dimensi ini dengan jelas. Dalam Kejadian 37:23–25, setelah mereka melemparkan Yusuf ke dalam sumur, teks mencatat bahwa mereka kemudian duduk untuk makan. Adegan ini sangat ironis, sementara Yusuf berada dalam penderitaan, para saudaranya menikmati hidangan di dekat sumur. Tindakan makan di sini tidak lagi menjadi simbol kebersamaan, melainkan penegasan kekuasaan dan dominasi. Makanan berubah fungsi menjadi tanda siapa yang berkuasa dan siapa yang tak berdaya. Perjamuan itu seolah menjadi pernyataan bagi saudaranya, bahwa mimpi Yusuf tentang berkas gandum yang berdiri tegak dan disembah oleh berkas-berkas saudaranya, tidak akan terjadi. Dengan demikian, makanan dalam peristiwa ini menjadi alat simbolik untuk menegaskan hierarki dan mengukuhkan ketimpangan relasi.
Tema yang sama berulang dalam kisah Yusuf di rumah Potifar. Dalam Kejadian 39:6 disebutkan bahwa Potifar mempercayakan seluruh urusannya kepada Yusuf, “kecuali makanannya sendiri.” Sekilas kalimat ini tampak sederhana, namun menyimpan lapisan makna yang mendalam. Dalam tradisi kuno, “apa yang dimakan” sering kali menjadi simbol status dan batas kekuasaan. Potifar berdaulat penuh atas makanan, sesuatu yang menunjukkan bahwa kendali tertinggi tetap ada padanya, bukan pada Yusuf. Dengan demikian, walaupun Yusuf tampak berkuasa, ia masih berada di bawah sistem sosial yang mengekang. Bahkan ketika Yusuf dijebloskan ke penjara karena tuduhan istri Potifar, pola “jatuh ke dalam sumur” terulang kembali. Dalam seluruh peristiwa itu, makanan hadir bersamaan dengan kuasa dan kerentanan, menandakan siklus ketimpangan yang terus berulang.
Namun, cerita Yusuf tidak berhenti di situ. Ketika kelaparan melanda tanah Kanaan, Yusuf yang kini berkuasa di Mesir, menggunakan kekayaan dan kelimpahan bahan pangan bukan untuk menindas, tetapi untuk menolong. Dalam Kejadian 45:23, ia mengirim kepada ayahnya sepuluh keledai yang dimuati “apa yang terbaik di Mesir”, termasuk gandum dan roti. Di sinilah terjadi pembalikan teologis yang penting: makanan yang dulu menjadi simbol penindasan kini menjadi tanda rekonsiliasi. Yusuf yang dahulu dilempar ke sumur dan ditinggalkan dalam kelaparan kini membagikan makanan sebagai ungkapan kasih dan pengampunan. Tindakan berbagi makanan menjadi liturgi perdamaian, tempat luka disembuhkan dan hubungan yang retak dipulihkan.
Dinamika ini dekat dengan situasi kontemporer di Indonesia. Program-program pemenuhan pangan seperti “makan bergizi gratis” adalah inisiatif yang baik, tetapi tetap perlu dikritisi secara etis dan teologis. Ketika masih banyak orang mengalami kelaparan bukan karena malas, tetapi karena sistem sosial-ekonomi membuat mereka tak berdaya mengakses sumber pangan, maka realitas ketimpangan dalam kisah Yusuf sesungguhnya masih berulang. Makanan di sini bukan sekadar persoalan perut, melainkan persoalan keadilan, kesejahteraan, dan martabat manusia. Maka, memberi makan tidak boleh dilakukan dari posisi kuasa yang menundukkan, melainkan dari semangat kasih yang sejajar. Melihat sesama bukan sebagai objek belas kasihan, melainkan mitra dalam kehidupan yang setara.
Lebih jauh, meja makan dalam tradisi Alkitab sering kali menjadi ruang perjumpaan dan pemulihan. Dari jamuan Abraham hingga Perjamuan Kudus, tindakan makan bersama melambangkan penerimaan dan kesatuan. Demikian pula dalam kisah Yusuf, perjamuan di istana Mesir menjadi simbol pembalikan kuasa menuju kasih. Yang dahulu lapar kini memberi makan, yang dahulu dikhianati kini mengampuni. Lady Mandalika mengajak pembaca untuk menafsir ulang makna “Mari makan” bukan hanya sebagai ajakan sosial, tetapi sebagai panggilan etis untuk membangun relasi yang adil, aman, dan penuh kasih. Dalam dunia yang penuh ketimpangan, “mari makan” menjadi undangan untuk berbagi hidup tanpa menindas, untuk memulihkan hubungan yang rusak melalui perjamuan kasih yang sejati.
Dengan demikian, narasi Kejadian 37–50 memperlihatkan bahwa makanan tidak pernah netral. Ia bisa menjadi sarana penindasan sekaligus alat rekonsiliasi. Dari sumur kering hingga meja kerajaan, dari rasa lapar menuju kenyang, dari kuasa menuju kasih, seluruh kisah Yusuf mengajak kita menyadari bahwa di balik setiap roti yang dibagi tersimpan pergumulan iman, keadilan, dan kasih. Maka, “Mari makan” bukan sekadar ajakan sopan dalam budaya, tetapi panggilan teologis untuk menghadirkan meja yang sejajar, tempat setiap orang dihormati, setiap tubuh diberi makan, dan setiap relasi dipulihkan oleh kasih yang mengenyangkan jiwa.
























