Hari kedua rangkaian Rapat Kerja dan Retret Organ Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada 10 Juni 2025 dimulai dengan ibadah Taizé yang khusyuk dan mendalam. Ibadah ini memberikan suasana kontemplatif yang memungkinkan setiap peserta menyelami kehadiran Allah dalam keheningan, nyanyian berulang, dan doa bersama. Pendekatan ibadah Taizé yang bersifat ekumenis ini menjadi lambang keterbukaan dan kesatuan spiritual, yang sangat relevan dengan tema besar kegiatan: "Bersama dalam Misi, Kuat dalam Sinergi berbasis Spiritualitas Alkitab (Amsal 8)".
Sesi Diskusi I: “Misi Kitab Suci dalam Konteks Kemajemukan Agama dan Budaya”
Sesi pertama dibuka dengan pembahasan mendalam bertema "Misi Kitab Suci dalam Konteks Kemajemukan Agama dan Budaya", yang dibawakan oleh Pdt. Paulus Wijono, S.Th., MM, Ketua PGIW Jawa Barat dan dalam Organ Yayasan LAI duduk sebagai Pengawas.
Dalam pemaparannya, Pdt. Paulus menekankan kenyataan bahwa meskipun Jawa Barat dikenal sebagai wilayah dengan dinamika keagamaan yang hidup, koordinasi dan kerja sama antarumat beragama belum berjalan optimal. Data dari lembaga resmi pemerintah dan lembaga survei menunjukkan bahwa toleransi beragama di Jawa Barat masih menghadapi tantangan signifikan, terutama dalam hal komunikasi lintas agama yang belum intens dan terstruktur.
Menurutnya, tugas untuk memajukan toleransi tidak bisa hanya dibebankan pada institusi agama, tetapi harus melibatkan tokoh masyarakat, birokrasi lokal, dan komunitas akar rumput. Kepemimpinan sosial yang kuat dibutuhkan sebagai jembatan antara perbedaan yang ada dan misi spiritual untuk membangun harmoni. Lebih jauh, Pdt. Paulus menyampaikan bahwa pemahaman Alkitab yang benar dan mendalam dari para jemaat berperan penting dalam menguatkan iman dan mendorong sikap hidup yang positif. Gereja, menurutnya, harus hadir bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai agen perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai kasih dan keadilan yang bersumber dari Kitab Suci.
Pdt. Bambang Widjaja, menambahkan sudut pandang mengenai pentingnya pendekatan Alkitab dalam konteks lokal. Ia menyebut bahwa Alkitab dalam bahasa Sunda dapat menjadi medium yang kuat untuk menjangkau jemaat di wilayah Jawa Barat, terutama dalam situasi di mana toleransi belum mengalami kemajuan signifikan. Namun, Pdt. Paulus menanggapi dengan realistis. Ia mengungkapkan bahwa banyak warga jemaat GKP (Gereja Kristen Pasundan) bukan merupakan orang Sunda asli, karena adanya pernikahan campur dan migrasi antardaerah. Imbasnya, penggunaan Alkitab bahasa Sunda menjadi terbatas.
“Di GKP Bandung, misalnya, ibadah dalam bahasa Sunda hanya diadakan satu kali dalam sebulan. Jemaat yang hadir pun umumnya sudah lanjut usia. Pendeta pun kini semakin sedikit yang mampu berkhotbah dalam bahasa Sunda,” jelasnya.
Situasi ini mencerminkan tantangan keberlanjutan penggunaan bahasa daerah, khususnya dalam pelayanan spiritual. Pdt. Paulus juga menyoroti bahwa beberapa lembaga misi menggunakan bahasa Sunda untuk kegiatan penginjilan awal, tetapi setelahnya tidak lagi mendampingi jemaat secara menyeluruh. Hal ini berakibat pada rasa ditinggalkan dari sisi rohani dan penghayatan terhadap Alkitab yang perlahan menjadi kehilangan makna sakralnya bagi sebagian jemaat.
Romo Subagyo turut membagikan pengalamannya tentang praktik lintas iman yang dilakukan secara kreatif dan berdampak. Ia menuturkan bahwa di beberapa gereja Katolik di Semarang, dilakukan kegiatan membaca Alkitab bersama umat agama lain, di mana tiap perwakilan membaca Alkitab dengan cara masing-masing.
“Yang penting bukan bentuk acaranya, tetapi semangat toleransi yang menjadi nafas dari kegiatan itu,” ujarnya.
Menurut Romo Subagyo, inisiatif seperti ini dapat menjadi model kolaboratif yang patut dicoba di wilayah-wilayah seperti Jawa Barat. Komunikasi menjadi kunci utama, agar perbedaan tidak menjadi tembok pemisah, tetapi justru menjadi jembatan pemersatu yang memperkaya spiritualitas bersama.
Dr. Irene Setiadi menutup sesi diskusi pertama dengan menyampaikan pentingnya pendekatan manusiawi dalam mewujudkan toleransi, seperti melalui kerja sama dalam penanganan bencana alam atau bantuan kemanusiaan.
“Pendekatan ini bisa menjadi jalan untuk merawat semangat oikumene dan toleransi tinggi,” jelasnya.
Ia juga menegaskan pentingnya untuk menghargai gereja lokal, memahami kebiasaan jemaat, dan hadir dengan memberikan yang benar-benar dibutuhkan. Menurutnya, gereja bukan hanya tempat berkumpul, tetapi pusat penguatan komunitas yang berdampak bagi kehidupan sosial secara luas.
Sesi Diskusi II: Tantangan dan Peluang Penerjemahan Alkitab Bahasa Daerah
Sesi kedua menyoroti tema yang lebih teknis namun sangat strategis: Tantangan dan Peluang Penerjemahan Alkitab Bahasa Daerah di Indonesia dan Asia, yang dipimpin oleh Pdt. Dr. Anwar Tjen, tokoh penting dalam bidang penerjemahan Alkitab.
Ia mengungkapkan data yang mencengangkan: dari 781 bahasa daerah yang ada di Indonesia, sebanyak 522 bahasa telah masuk kategori terancam punah, dan 15 bahasa bahkan sudah benar-benar punah.
“Bahasa daerah adalah kekayaan kita yang paling dekat dengan jati diri. Pendekatan Alkitab dalam bahasa ibu menyentuh hati secara personal dan eksistensial,” ujar Pdt. Anwar.
Ia menegaskan bahwa penerjemahan Firman Tuhan ke dalam bahasa daerah bukan hanya proyek linguistik, melainkan bentuk penghormatan terhadap keberagaman dan kearifan lokal. Alkitab dalam bahasa ibu membuat jemaat merasa disapa secara langsung oleh Tuhan.
Pdt. Bambang Widjaja kembali memberikan pandangannya, kali ini dengan kritik terhadap praktik penerjemahan oleh lembaga lain. Ia menyayangkan bahwa beberapa lembaga hanya menjadikan penerjemahan Alkitab sebagai proyek bisnis jangka pendek yang bergantung pada donasi pengusaha.
“Hasil akhirnya bukan untuk pelayanan, tapi demi keuntungan. Penerjemahan seperti ini cenderung cepat tapi tidak mendalam,” tegasnya.
Menurutnya, hal ini mengancam kualitas dan kesakralan teks. LAI, sebagai lembaga yang dipercaya oleh gereja-gereja di Indonesia, menolak pendekatan instan seperti itu. Ia menegaskan bahwa standar penerjemahan harus dijaga melalui kolaborasi dengan lembaga lokal yang memahami konteks budaya dan bahasa.
Pdt. Anwar Tjen mengiyakan pernyataan tersebut. Ia menambahkan bahwa godaan dana besar dari luar menjadi salah satu godaan terbesar dalam penerjemahan masa kini. Namun, LAI tetap menjaga integritas dan tradisi dalam penerjemahan, karena ini adalah Firman Tuhan, bukan sekadar teks biasa.
Pdt. Gomar Gultom, Ketua Umum PGI, turut menegaskan bahwa gereja-gereja di Indonesia menggunakan Alkitab yang diterbitkan oleh LAI, dan ini harus terus disosialisasikan agar tidak muncul kebingungan di kalangan jemaat.
Pdt. Yosafat Mesach juga memberikan usulan strategis agar LAI lebih aktif mendekati aras gereja lainnya, guna menjelaskan proses penerjemahan yang dilakukan. Hal ini penting untuk meningkatkan transparansi dan membangun kepercayaan bersama.
Diskusi ini ditutup oleh Pdt. Anwar Tjen dengan penegasan bahwa LAI tetap terbuka terhadap kebutuhan penerjemahan, namun kualitas dan integritas harus tetap dijaga. Ia menambahkan bahwa gereja bukanlah penentu akhir dari terjemahan, melainkan mitra yang diajak berdialog demi menghadirkan Alkitab yang benar, indah, dan bertanggung jawab.
Mengenal Budaya: Kunjungan ke Saung Angklung Udjo
Sebagai bagian dari retreat dan pengenalan konteks lokal, peserta diajak untuk mengunjungi Saung Angklung Udjo, sebuah pusat seni budaya Sunda yang terkenal di Bandung. Di tempat ini, peserta diajak untuk menyaksikan pertunjukan musik angklung yang sarat makna kebersamaan dan persatuan.
Pertunjukan tidak hanya menampilkan musik tradisional, tetapi juga menggambarkan filosofi hidup orang Sunda yang penuh keramahtamahan, gotong-royong, dan penghargaan terhadap keberagaman. Semua nilai ini sejalan dengan semangat LAI dalam menghadirkan Alkitab yang menyapa dalam konteks budaya lokal.
Kunjungan ke NuArt Sculpture Park
Setelah itu, peserta melanjutkan kegiatan dengan kunjungan ke NuArt Sculpture Park, sebuah taman seni kontemporer yang didirikan oleh seniman Nyoman Nuarta. Terletak di kawasan Setraduta, Bandung, taman ini menampilkan berbagai karya patung monumental yang berpadu dengan lingkungan alami.
NuArt bukan sekadar tempat pameran seni, tetapi juga ruang edukasi dan refleksi budaya. Di dalamnya terdapat galeri, amphiteater, dan studio kreatif yang menjadi ruang dialog antara seni, spiritualitas, dan keberagaman.
Peserta diajak melihat bagaimana seni dapat menjadi media untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan, yang sangat relevan dengan misi LAI dalam mengedepankan pendekatan kontekstual terhadap Firman Tuhan.
Seluruh rangkaian hari kedua ditutup dengan makan malam bersama, yang berlangsung hangat dan penuh keakraban. Suasana santai ini menjadi wadah bagi peserta dari berbagai latar belakang gereja, budaya, dan profesi untuk berinteraksi secara personal dan memperkuat jejaring sinergi.
Dalam suasana penuh sukacita ini, para peserta kembali ke Bumi Silih Asih, Keuskupan Bandung, dengan hati yang dikuatkan dan pemikiran yang diperluas. Refleksi hari itu memperlihatkan bahwa misi LAI tidak hanya soal teks, tetapi juga relasi, budaya, dan spiritualitas yang hidup di tengah masyarakat.
Hari kedua Rapat Kerja dan Retreat Organ Yayasan LAI menegaskan bahwa misi Kitab Suci harus dilaksanakan dengan kesadaran akan konteks budaya dan keberagaman agama di Indonesia. Pendekatan lintas iman, bahasa daerah, hingga strategi penerjemahan menjadi kunci dalam menjawab tantangan zaman. Kegiatan ini juga memperlihatkan bahwa pelayanan Alkitab bukanlah kerja eksklusif, melainkan panggilan kolaboratif yang membutuhkan partisipasi semua elemen gereja dan masyarakat.
Di tengah dunia yang terus berubah, LAI tetap teguh berdiri, menjaga kualitas penerjemahan, memperluas sinergi lintas lembaga, dan menghadirkan Firman Tuhan yang hidup. Bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam perbuatan kasih dan persaudaraan.