1+1 = 10?

1+1 = 10?

 

Di sebuah pemilihan mahasiswa teladan, ada tiga orang mahasiswa menghadap penguji bidang matematika. Terjadilah tanya jawab sebagai berikut:

Penguji            : Berapa 1+1?

Mahasiswa Matematika    : “Pertanyaan Bapak tidak spesifik. Berapa basis bilangannya?”

Mahasiswa Teknik Komputer    : “10”

Mahasiswa Ilmu Politik    : “Maunya Bapak berapa? Atur saja lah.”

Mungkin dialog di atas hanyalah dialog imajiner, tetapi benar, bahwa dalam ilmu komputer 1+1=10, karena itu adalah perhitungan matematika dengan basis bilangan 2 atau biner. Dasar ilmu komputer adalah Matematika Biner dan Aljabar Boolean atau Matematika Logika.

Anda juga mungkin masih ingat ketika BBM (Blackberry Messenger) mencapai “hit” beberapa tahun yang lalu, sangat banyak terdengar percakapan, “Berapa PIN BBM kamu?”, percakapan yang bikin “ill-fill” mereka yang bukan pengguna BBM. Sepertinya pengguna BBM adalah kelompok masyarakat dengan kasta tertentu yang berbeda dengan orang kebanyakan. Tapi coba tanyakan kepada orang tersebut apa arti dibalik PIN BBM tersebut? Bisa dipastikan mereka tidak tahu. Hanya mahasiswa/pakar matematika dan komputer yang tahu. Misal PIN BBM 5B43D59E. Arti PIN BBM 5B43D59E adalah: 5-B-4-3-D-5-9-E = 0101-10011-0100-0011-1101-0101-1001-1110

Deretan 32 angka (bit) 010110110100 . . . dst, itulah kode yang dibaca perangkat mesin digital. Bayangkan jika Anda harus menghafalkan 32 deret angka kombinasi 0 dan 1 seperti di atas. Mabok lah!. Maka diciptakanlah angka berbasis bilangan 16 (hexadecimal atau hex) untuk menyingkat kode digital di atas. Bingung? Tidak usah bingung. Kita cuma pengguna teknologi digital, bukan pakar teknologi digital yang harus bergelut dengan hal-hal yang memusingkan tersebut. Tahu beres saja lah. 

Walaupun demikian, dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional pada 8 September 2021, kita diperhadapkan pada tema nasional, “Literasi Digital Untuk Pemulihan Indonesia” dan tema internasional, “Literacy for Human-Centered Recovery: Narrowing the Digital Divide”. Artinya, saat ini kita diperhadapkan pada isu “Kesenjangan Literasi Digital”. 

Kesenjangan Literasi Digital menyangkut beberapa aspek, diantaranya: Akses Internet. Ini merupakan isu infrastruktur yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan penyedia jasa internet. Kesenjangan akses internet di Jawa dan luar Jawa masih timpang. Pengguna Internet. Indonesia adalah  bangsa pengguna internet nomor 4 terbesar di dunia, dengan jumlah pengguna 202 juta orang atau 73% dari jumlah penduduk (2020). Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan penggunaan internet untuk memperoleh informasi, belajar, serta menyebarkan informasi yang berguna. Media sosial di negeri kita penuh dengan hoaks, selfie, gossip, status nyinyir, debat-debat tidak berguna antar kelompok yang berbeda pendapat dan unggahan-unggahan video kreatif-rekreatif yang sayangnya tidak edukatif. Sungguh sangat disayangkan.

Mengenai hal ini marilah kita berkaca pada Daniel, Hananya, Misael dan Azarya, 4 orang pemuda Yahudi yang dikenal karena kecerdasan dan kebijaksanaannya pada zaman Raja Nebukadnezar. Tertulis dalam Kitab Daniel 1: 19-20, “Raja bercakap-cakap dengan mereka; dan di antara mereka sekalian itu tidak didapati yang setara dengan Daniel, Hananya, Misael dan Azarya; maka bekerjalah mereka itu pada raja. Dalam tiap-tiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan , didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu  dan semua ahli jampi di seluruh kerajaannya.” Bak tiga mahasiswa yang sedang diuji, demikianlah Daniel dan kawan-kawannya di hadapan Raja Nebukadnezar. Tidakkah kita yang hidup pada zaman ini malu kepada empat pemuda tersebut? Sekitar 25 abad yang lalu pemuda-pemuda tersebut sudah sadar literasi sehingga menjadi sepuluh kali lebih cerdas daripada para penasehat raja lainnya? Sementara banyak dari kita dengan informasi melimpah ruah di internet pada abad ini justru tidak memanfaatkannya untuk kebaikan kita dan kelompok masyarakat yang terhubung dengan kita?

Pandemi COVID-19, telah mengubah banyak hal. Salah satunya adalah physical-social distancing, yang menyebabkan percepatan penggunaan teknologi digital di negeri ini, khususnya di bidang pendidikan dan bisnis. Penggunaan teknologi digital ini juga membawa dampak positif yakni mampu menjangkau khalayak yang lebih luas dengan biaya yang lebih ekonomis, namun di sisi lain semakin menjauhkan hubungan interpersonal. Inilah keprihatinan dunia internasional (UNESCO) dan Pemerintah RI pascapandemi untuk melakukan pemulihan yang berpusat pada hubungan interpersonal dan pada saat yang sama memanfaatkan teknologi digital. Gunakanlah teknologi digital untuk mengakses pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup kita bukan sebaliknya. Gunakanlah gawai digital untuk meningkatkan kualitas hubungan interpersonal dan bukan sebaliknya. Gunakan teknologi digital demi kesatuan dan persatuan bangsa dan bukan sebaliknya.

Untuk berperanserta mengurangi kesenjangan digital dalam rangka memperingati Hari Aksara Internasional kita tidak perlu belajar Matematika Biner, Bilangan Hex, Aljabar Boolean, dan segala macam programming dan coding. Biarlah itu menjadi urusan mereka yang bergelut dalam industri komputer. Kita adalah pengguna. Tugas kita adalah meningkatkan literasi kita agar kita mampu membawa orang-orang di sekitar ikut tercerahkan. Dengan demikian, pada saat yang sama, kita juga meningkatkan hubungan interpersonal kita dengan orang-orang yang kita kasihi dan orang-orang yang dipertemukan kepada kita. Dalam konteks inilah Lembaga Alkitab Indonesia meluncurkan program Alkitab Siniar atau Podcast yang meliputi: Doa Bagi Bangsa, Daily Scripture Reading, 40 Hari Membaca Injil, Gema Nafiri, serta Perjalanan Satu Dalam Kasih sebagai sumbangsih LAI kepada negeri tercinta untuk meningkatkan literasi masyarakat dengan berbasis Alkitab serta memulihkan persaudaraan yang tercerai-berai, khususnya yang disebabkan oleh COVID-19 dalam sebuah persaudaraan keluarga besar, umat TUHAN.



Pdt. Sri Yuliana