Dr. F.X. Sudanto: Dokter “Seceng” Dari Abepura

Dr. F.X. Sudanto: Dokter “Seceng” Dari Abepura

 

Teolog besar John Stott pernah menulis, hampir setiap orang Kristen memimpikan sebuah dunia yang lebih baik, yang penuh dengan kedamaian dan cinta kasih. Tapi tidak semua yang bersedia membayar harganya. Menurut John Stott hal tersebut karena dalam benak orang-orang sekuler pikiran-pikirannya selalu dipenuhi kebendaan: sandang, pangan dan papan. Padahal ambisi tertinggi setiap pengikut Kristus menurut Stott adalah kemuliaan Allah, bukan kemuliaan manusia. Setiap orang dipanggil menghadirkan Kerajaan Allah dalam hidup setiap hari melalui karya dan talenta kita. Untuk hal tersebut kita dapat belajar dari dokter Fransiscus Xaverius Sudanto. 

Meninggalkan pilihan kemapanan di Jawa, puluhan tahun lamanya Sudanto melayani dengan penuh kasih masyarakat Papua di Asmat dan Abepura. Sudanto dikenal sebagai dokter yang memberikan pelayanan pengobatan sangat murah di Abepura. 

Ruang praktik dokternya selalu terlihat ramai disesaki para pasien yang ingin berobat. Banyak orang mengatakan, berobat ke dr. FX. Sudanto adalah pilihan tepat. Selain ongkos praktiknya yang sangat murah, obat yang diberikan juga cocok bagi para pasiennya. Baginya materi bukanlah hal utama yang ia kejar, tapi melayani kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab utamanya sebagai seorang dokter. 

Pengalaman masa kecilnya yang hidup penuh kesederhanaan dan pengalaman panjangnya melayani masyarakat Asmat membuatnya tidak sampai hati mematok tarif praktik mengikuti “pasaran” dokter-dokter di kota. Sudanto memasang tarifnya sendiri yang ia rasa sangat terjangkau bagi masyarakat Abepura. Pertama kali buka praktik, Sudanto hanya menerima bayaran 500 rupiah atas jasanya. Kemudian seiring berjalannya waktu tarif ia naikkan menjadi 1000 rupiah. Ketika praktik pengobatannya mulai terkenal, masyarakat Abepura menjulukinya Dokter Seceng, artinya dokter seribu rupiah. 

“Yang saya cari adalah berbuat baik bagi banyak orang, bisa memberi ketenangan bagi masyarakat, dan menemani mereka. Buat saya materi adalah cukup untuk membeli lauk pauk,” ungkapnya.  

Seiring berjalannya waktu tarif terpaksan ia naikkan. Sekarang 5.000 rupiah. Anak-anak dan mahasiswa hanya perlu membayar setengahnya. Bahkan kalau pasien benar-benar tidak memiliki uang Sudanto tidak menarik bayaran dan bahkan membantu dalam pembelian obat. Setiap hari Sudanto minimal menerima 100 orang pasien di ruang praktiknya.

Karena ketulusannya melayani masyarakat inilah akhirnya hampir semua masyarakat Abepura mengenal dirinya dan menghormatinya sebagai orang yang dituakan. Bahkan banyak diantaranya yang memandang dokter Sudanto lebih dari sekadar dokter, tapi sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.

Seorang pasiennya menyatakan,“Beliau ini adalah dokter “ahli jiwa”, karena beliau tidak cuma bisa mengobati sakit fisik tapi juga jiwa masyarakat sini. Kita orang sangat sayang padanya. Maka kita orang tidak pernah kasih dokter pulang lama-lama ke Jawa,” kata salah satu pasiennya.

 

Awalnya Memilih MIPA

Sudanto lahir di Karanganyar, Kebumen Jawa Tengah pada 5 Desember 1941. Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ayahnya Umar, seorang pekerja bangunan di zaman Belanda. Sementara ibunya, Mursila,  seorang perawat. Ketika perang berhenti ayahnya kemudian kembali menjadi petani. 

“Saya lahir saat zaman perang, zaman penjajahan Belanda,”katanya. “Masa-masa perang menyebabkan pendidikan saya juga sedikit terlambat. Normalnya pada masa sesudah perang saya mestinya sudah duduk di kelas 6 SD. Tapi pada awal 1950-an saya baru duduk di kelas 1 SD. Demikianlah banyak hambatan karena perang,”lanjutnya.  

Kehidupan masa kecil yang susah membuat Sudanto tidak pernah membayangkan suatu ketika akan menjadi dokter. Meski kehidupan keluarganya tergolong sederhana, Sudanto termasuk orang yang cukup cerdas dan gigih. Cita-citanya cukup tinggi, ingin menjadi ilmuwan atau pengajar. Awalnya ia yang menyukai ilmu pasti berharap dan berharap melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Pasti Alam (FIPIA, sekarang FMIPA) Universitas Gajah Mada (UGM). Namun ibunya yang adalah seorang perawat berharap Sudanto menjadi dokter. Sudanto pun menaati anjuran ibunya. Maka ia pun mulai menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran UGM. 

“Pada mulanya saya menganggap kuliah kedokteran menjemukan. Terlebih kuliah di kedokteran bukan pilihan saya pribadi. Pelan tapi pasti saya menjadi suka dan senang. Terutama setelah saya masuk tingkat doktotal.  Jadi di masa lalu tingkatan kuliah, berbeda dengan masa sekarang, dimulai dari propadus, kemudian lanjut ke kandidat 1, lanjut berikutya kandidat 2. Seusai jenjang kandidat, masuk doktoral 1 dan 2. Setelah itu kita dapat gelar doktorandus (Drs.) medis. Setelah memperoleh gelar drs, kemudian kami diwajibkan bekerja di rumah sakit selama dua tahun. baru setelahnya memperoleh gelar dokter, “tuturnya menjelaskan. 

Sudanto menjelaskan bahwa rata-rata mahasiswa kedokteran di zaman dahulu membutuhkan waktu 10-12 tahun untuk menjadi dokter penuh. Kuliah dipenuhi dengan berbagai praktikum dan ujian-ujian praktik yang padat. Sudanto lulus kuliah pada 1975. Kedua orang tuanya, yang begitu berharap Sudanto sukses menjadi dokter tidak ikut berbahagia dalam kelulusan tidak sempat mendampingi Sudanto diwisuda, karena mereka telah meninggal dunia. 

 

Berangkat Menuju Papua

Setelah lulus, Sudanto mendaftarkan diri ke Departemen Kesehatan mengikuti program Dokter Inpres. Sudanto ditempatkan pemerintah untuk melayani di Irian Jaya (sekarang Papua). “Waktu itu di Papua jumlah dokter masih terlalu sedikit. Ketika saya tiba di Asmat, wilayah yang begitu luas dengan 4 kecamatan, baru memiliki satu orang dokter,”katanya.  

Menurut Sudanto pada masa itu tidak banyak tenaga dokter yang mau melayani di Papua. Terlebih sarana prasarana kesehatan di Papua yang masih terbatas mungkin membuat hanya sedikit dokter yang mau datang. Sudanto berdasarkan SK yang diterimanya dari pemerintah mestinya hanya melayani di Kecamatan Agats dan sekitarnya, namun karena wilayah Asmat yang terdiri dari 4 kecamatan hanya ada satu dokter, maka ia harus melayani semua kecamatan tersebut tanpa kecuali. Di Agats Sudanto mengepalai Puskesmas yang gedungnya merupakan bekas Rumah Sakit Belanda. 

Tantangan lain yang mesti dihadapi Sudanto adalah sering terlambatnya pasokan obat-obatan maupun sarana kesehatan lainnya. “Kiriman obat dari pemerintah maupun lembaga misi selalu terlambat. Pasokan dalam negeri dari pemerintah saja terlambat datang, apalagi dari misi Katolik yang barangnya dikirim dari Amerika dan menempuh perjalanan yang jauh,”kenang Sudanto. 

Sebagai dokter yang melayani di pelosok, Sudanto memaklumi bahwa keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi di Asmat yang sebagian besar rawa-rawa basah menyulitkan pengiriman obat-obatan menuju Papua. Apakah Sudanto merasa kesal atau marah dengan situasi tersebut?

“Saya sebagai seorang dokter, tugas saya hanya fokus memeriksa orang sakit saja. Saya tidak berpikir apakah sarana-prasarana mencukupi atau tidak. Dengan berfokus pada pelayanan kita, segala hal bisa dijalani dengan lebih tenang dan mudah tanpa gangguan,”katanya. 

Beruntung lembaga misi Katolik selain memberikan bantuan obat-obatan, juga membantu dengan menghadirkan seorang dokter dari Jerman yang cukup menolong meringankan kesibukan Sudanto di Asmat. 

Sebagai dokter yang sering keluar masuk perkampungan, selama enam tahun pelayanannya di Agats Sudanto berhadapan dengan berbagai penyakit tropis dan penyakit masyarakat kecil, seperti: malaria, frambusia (kusta), polio, batuk, TBC, kurang gizi, busung lapar. “Di Asmat banyak masyarakat menderita kurang gizi, karena memang di sana sulit mendapatkan makanan dengan gizi yang baik. Pertanian juga pada masa itu juga belum berkembang,”katanya. Penduduk rata-rata masih hidup dari berburu atau menangkap ikan dan mencari sagu di hutan. 

Agats dan sekitarnya pada masa itu adalah daerah yang berawa-rawa, sarang nyamuk malaria, sungai-sungainya rawan dengan buaya. Rumah-rumah, termasuk rumah dinasnya berbentuk rumah panggung yang didirikan di atas rawa-rawa. Karena susahnya memperoleh beras, Sudanto pun menyesuaikan diri dengan makanan sehari-hari penduduk setempat yaitu sagu. 

“Di Asmat saya sangat jarang makan sayur, bagaimana mau menanam sayuran kalau di mana-mana yang terlihat hanyalah rawa. Sehari-hari saya hanya makan sagu,”kenangnya. Sekitar 1976 ketika Sudanto sudah diangkat menjadi pegawai negeri, gajinya sebagai dokter per bulan hanya 50 ribu rupiah. Karena sarana transportasi dari dan menuju Asmat sulit, gajinya baru dikirim tiap dua bulan sekali. 

Di tengah kesibukannya melayani kesehatan masyarakat Asmat, Sudanto bertemu dan berkenalan dengan Elisabeth Tangkere,  seorang gadis  keturunan Ambon-Manado. Orang tua Elisabeth adalah perantau yang sudah lama tinggal di Asmat. Dari perkenalan dan saling suka mereka akhirnya menikah pada 1979. Dari pernikahan tersebut Sudanto dikaruniai Tuhan 3 orang putra dan 2 orang putri. 

Di Asmat, Sudanto juga pernah berjumpa dengan dokter dan ilmuwan peraih Nobel, Daniel Carleton Gadjusek. Dokter Gadjusek adalah virology dan seorang dokter berkebangsaan Amerika. Pada waktu itu Gadjusek sedang menyelidiki penyakit-penyakit syaraf yang sering menyerang masyarakat di daerah tertinggal terkhusus di sekitar Papua dan Papua Nugini. Penyakit ini pada masa itu dikenal masyarakat setempat sebagai penyakit Kuru. Sudanto membantu Gadjusek mengambil sampel-sampel darah dari beberapa penduduk di sekitar Asmat. Sampel darah ini dikirim ke Amerika untuk diteliti lebih lanjut. 

Setelah sekitar tujuh tahun melayani di Asmat, pada 1983 Sudanto pindah tugas ke Abepura, Jayapura untuk bekerja di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura. Bagaimana seorang dokter umum kemudian pindah tugas ke RSJ? 

“Saya dipindahtugaskan ke RSJ Abepura karena memang jumlah dokter di Papua pada masa itu sangat kurang. Pada awalnya malah saya sempat sendirian sebagai dokter RSJ,”tuturnya. “Selama hampir dua puluh tahun saya melayani sendirian di RSJ. Karena kebanyakan dokter yang ada di Papua tidak bersedia melayani pasien sakit jiwa. Mereka lebih suka berkarya di rumah sakit-rumah sakit umum,”lanjutnya. 

Sudanto sedari mudanya memang suka belajar hal yang baru dan suka membaca. Ketika menerima tanggung jawab baru sebagai dokter RSJ, Sudanto juga segera memperlengkapi dirinya dengan membaca berbagai literatur seputar kesehatan jiwa. Dalam masa pelayanan yang panjang itu Sudanto semakin memahami tentang luka dan penyakit jiwa yang diderita banyak manusia. Ia menjadi saksi bagaimana orang-orang yang terganggu jiwanya ini sulit pulih karena rata-rata keluarganya menolak mereka. Masyarakat pun juga demikian, lebih suka menghindari mereka. Bahkan tenaga kesehatan yang semestinya terpanggil merawat dan memulihkan mereka. 

Sudanto orangnya pendiam, tidak terlalu suka ngobrol. Baginya terlalu banyak ngobrol tidak ada gunanya. Lebih baik waktu dipergunakan untuk bekerja dan melayani sesama. “Sekali-kali tentu saja saya ngobrol-ngobrol santai bersama keluarga maupun teman-teman, tapi jarang mengambil waktu lama dan tidak terlalu sering,”katanya.

Meski pendiam Sudanto senang mendengarkan musik, baik sembari bekerja maupun pada saat-saat istirahat. Seperti halnya menghapal rupa-rupa penyakit, Sudanto mengingat dengan baik ratusan lirik lagu yang jadi favoritnya. “Saya masih ingat lirik-lirik lagu dari masa saya bersekolah di bangku SD, karena memang saya suka menghapalkan lagu-lagu pop Indonesia maupun barat. Terakhir saya coba menghapal lagu-lagu yang dinyanyikan Jim Reeves,”katanya. 

 

Menjalani hidup dengan tanggung jawab

Saat ditanya motto hidupnya Sudanto hanya mengatakan yang penting menjadi orang baik. Menurut Sudanto, apa pun profesi yang kita miliki kita harus menjalaninya sebaik mungkin dan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab di mata Sudanto bukan hanya kepada atasan atau negara tetapi juga kepada Tuhan. Banyak orang tidak menjalankan tugasnya dengan baik karena tidak memiliki tanggung jawab. Karena itu Sudanto menegaskan bahwa ia akan terus melayani orang sakit hingga Tuhan memanggilnya pulang. 

"Saya selamanya akan mengabdi. Banyak orang yang kurang mampu di sini," jelasnya. "Kasihan, mereka yang kekurangan biasanya banyak yang menderita sakit," lanjutnya.

“Tidak setiap orang diberikan pangkat yang tinggi atau kekayaan yang besar. Namun, setiap orang diberikan Tuhan tanggung jawab pelayanan untuk dijalani dengan sebaik-baiknya,”lanjutnya. 

Membangun rasa tanggung jawab adalah hal yang sering dinasihatkan oleh Sudanto kepada anak-anaknya sejak kecil. Meski sarana dan prasarana pendidikan dan kehidupan baik di Asmat maupun di Abepura pada zaman dulu serba terbatas, Sudanto tidak ingin anak-anaknya patah semangat dan menyerah. 

“Mereka semua menjalani pendidikan di Papua. Menurut saya bersekolah di Jawa ataupun di sini sama saja. Semua tergantung dari anaknya. Intinya mereka harus punya kemauan belajar dan memiliki tanggung jawab,”terangnya. “Meskipun bersekolah jauh di Jawa, dengan fasilitas lengkap, kalau tidak mau belajar sama saja bohong. Belum lagi biaya pendidikan dan biaya hidup di Jawa demikian besar, saya tidak ada uang,”lanjutnya. 

Sudanto mengajarkan kepada anak-anaknya agar dari kecil memiliki semangat juang dan kemandirian. Bukan menjadi anak-anak manja yang hidupnya bergantung penuh kepada orang tua.

“Saya tak jarang memberikan kesempatan dan membiarkan anak-anak saya memikirkan sendiri permasalahan-permasalahan hidup mereka. Belajar mencari solusi sendiri. Karena, sewaktu saya menjalani sekolah dahulu saya selalu memikirkan segala sesuatunya juga sendirian. Dari mulai kelas 4 SD saya sudah tidak tinggal bersama orang tua. Saya menumpang tinggal pada orang lain. Hingga saya selesai sekolah kedokteran,”katanya. Dengan terlatih mencari solusi dan berjuang menyelesaikan permasalahannya sendiri, Sudanto berharap anak-anaknya menjadi insan yang mandiri. 

Di Abepura, Sudanto dan keluarganya menjadi anggota Gereja Katolik Gembala Baik. Jalan hidupnya menjadi pengikut Kristus berlangsung setapak demi setapak. Sudanto lahir dari keluarga muslim. Waktu kecil bahkan ia tekun belajar mengaji. Ketika remaja ia menempuh pendidikan SMP di kota. Pada waktu itu ia mulai bertanya-tanya berbagai hal seputar iman Kristen. Di masa itu tidak ada larangan seseorang untuk belajar agama lain. Di bangku SMA keyakinan Sudanto semakin kokoh. Ia memilih mengikuti pelajaran agama Katolik di sekolah. Ia juga mulai ikut teman-temannya yang beragama Katolik ke gereja, meskipun masih diam-diam. 

Titik balik kehidupannya terjadi ketika menjadi mahasiswa di UGM. Paska pemberontakan G30S/PKI pada 1965 pemerintah mewajibkan semua orang untuk memiliki agama. Di sekolah-sekolah maupun di tempat-tempat pekerjaan setiap or,ang harus punya agama yang jelas. 

“Ya, jadi saya memilih ikut agama Katolik karena pembimbing saya pastor Paul Chauvigny de Blot S.J. mengatakan demikian: Kalau sudah dewasa kamu sudah boleh memilih keyakinanmu sendiri, tidak harus  meminta izin orangtua untuk dibaptis,”katanya. 

Maka Sudanto pun kemudian mengajukan dirinya untuk menerima baptisan secara pribadi, karena sudah dewasa dan dianggap oleh gereja sudah bisa bertanggung jawab secara mandiri.  Orang tuanya sempat tidak setuju dengan pilihan orang tuanya. Tetapi Sudanto mencoba teguh dengan keyakinan barunya. Terlebih Sudanto menjalani kuliahnya dengan tekun sebagai bukti penghormatannya kepada orang tua.  Akhirnya orang tuanya mengizinkan Sudanto masuk Katolik. Pesan ayahnya,”Iya, kamu boleh masuk Katolik, asal kamu menjalani keyakinanmu dengan sungguh-sungguh.”

Usia Sudanto kini sudah senja. Ia mengaku sekarang dirinya sudah mudah lelah ketika melayani banyak pasien. Namun seperti janjinya kepada Tuhan dan orang tuanya dulu, Sudanto menjalani pelayanannya dengan setia dan penuh tanggung jawab. Karena ini adalah bukti ia menjalani tanggung jawab imannya dengan sungguh-sungguh. Ia hanya berharap di sisa usia Tuhan menganggap dirinya sebagai sahabat. 

“Menurut  pandangan saya, Tuhan pun bisa kita anggap sebagai sahabat kita yang terdekat. Benar bahwa Tuhan adalah Allah yang harus disembah, dihormati dan dijunjung tinggi. Namun, jangan sampai itu membuat kita berjarak dengan-Nya,”tuturnya. 

“Tuhan sesungguhnya adalah sahabat, tempat kita saling menyapa dan berbagi. Dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan perjuangan justru kita perlu dukungan dan topangan Sahabat Sejati yang terdekat. Dan sahabat yang terdekat itu adalah Allah sendiri,”lanjutnya. Sudanto mengatakan setiap hari, paling tidak  sebelum dan sesudah bekerja ia menyediakan diri untuk menyapa dan disapa Sahabat Sejatinya. Sahabat yang telah menguatkan dan menopang 42 tahun pelayanannya, mengabdi dengan penuh kasih di bumi Papua. Dan Sahabat Sejati itu adalah Kristus sendiri. 

Yesus menjungkirbalikkan norma yang umum dalam masyarakat yang selalu ingin mendekat kepada orang yang kaya dan berkuasa. Yesus memilih peduli dan melayani mereka yang dipinggirkan, yang sakit, yang papa, yang kesepian, yang terbuang dan terhina. Sudanto meneladani Sahabatnya. Lewat panggilannya sebagai dokter, melayani dengan penuh kasih mereka yang sakit, yang miskin dan terpinggirkan. Memuliakan Allah diwujudkan dengan mengangkat manusia yang menderita. Apakah Anda demikian juga?