GASING – Hidup Itu Gampang, Asyik dan Menyenangkan

GASING – Hidup Itu Gampang, Asyik dan Menyenangkan

 

Pernahkah saudara bermain gasing ketika masih kecil? Asyik bukan? Walaupun saya perempuan saya pernah juga ikut bermain adu gasing bersama teman-teman sebaya. Permainan yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Pada mulanya adik saya dibuatkan gasing oleh ayah saya supaya dia bisa bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun saya dibuatkan juga untuk menemani adik saya bermain, dan akhirnya kami jago bermain gasing. Dulu gasing dibuat dari bahan kayu yang keras supaya tidak gampang pecah saat diadu dengan gasing lawan. Sekarang sudah banyak permainan gasing yang terbuat dari bahan plastik dengan warna-warna menarik.

Sepintas gasing adalah permainan sederhana, tetapi tahukah saudara bahwa penerapan teknologi gasing ada pada satelit, peluru kendali, kapal selam, dan bahkan ada pada telepon seluler Anda, serta sepeda motor beroda tunggal. Gasing pada perangkat-perangkat tersebut, yang dalam bahasa teknik disebut giroskop adalah teknologi pengatur gerak, kestabilan dan penetapan posisi/kompas giroskopik. 

Namun kali ini kita akan membahas GASING yang digagas oleh Prof. Drs. Yohanes Surya, M.Sc, Ph.D. GASING yang dimaksud adalah akronim/singkatan dari Gampang, Asyik dan Menyenangkan. Menurut Prof. Surya, sosok yang memperkenalkan Olimpiade Fisika kepada siswa-siswa sekolah menengah di Indonesia. Mata pelajaran Fisika dan Matematika bisa menjadi pelajaran yang gampang, asyik dan menyenangkan, bukan lagi momok yang menakutkan. GASING adalah proyek Prof. Surya agar putera-puteri Indonesia tertarik dan menyukai Fisika dan Matematika.

Karena itu, Prof. Surya tidak hanya melatih siswa-siswa dari sekolah unggulan untuk bertanding di Olimpiade Fisika, tetapi juga siswa-siswa dari seluruh pelosok penjuru tanah air. Bahkan Prof. Surya sangat dicintai oleh orang-orang Papua. Suatu hari Prof. Surya berkunjung ke Papua. Di sana beliau menemukan bahwa di Tolikara, sebuah wilayah pegunungan yang merupakan wilayah dengan indeks pembangunan terendah di negeri ini, ada siswa setingkat SMA tidak mampu menjawab pertanyaan, “Berapa 8+7?”. Prof. Surya trenyuh. Beliau lalu berkata kepada bupati-bupati di Papua, “Beri saya anak-anak paling bodoh di Papua, saya akan jadikan mereka juara-juara di bidang fisika, matematika dan enjiniring”. Dikirimnyalah kepada Prof. Surya anak-anak tersebut, diantaranya Albertina yang sudah 4 tahun tidak naik kelas, ada pula anak yang belum bisa membaca dan menulis walau sudah tamat SD. Namun setelah dilatih selama dua tahun oleh Prof. Surya beserta tim, inilah hasilnya: 12 anak Papua berhasil mendapatkan 4 medali emas, 5 medali perak, 3 medali perunggu di Olimpiade Fisika tingkat Asia. Albertina yang dikirim berlomba di Olimpiade Robot tingkat nasional berhasil mendapat 1 medali perak dan 1 medali perunggu. Itu semua berkat metode GASING.

Itulah peran Prof. Surya bagi Indonesia. Sosok yang menyandang label minoritas ganda di negeri ini yang sering diragukan kesetiaan dan komitmennya bagi bangsa. Beliau yang sudah mendapatkan “green card” (status permanent resident) di Amerika Serikat, serta pekerjaan yang bergengsi di bidang riset fisika nuklir rela kembali ke tanah air demi pengembangan fisika bagi anak-anak muda, agar mereka tidak perlu galau jika harus berhadapan dengan pasangan Fisika-Matematika. Bahkan beliau pun rela berjerih lelah demi Tolikara. Semua itu dilakukan atas nama “Pro Patria” – demi tanah air, agar anak muda negeri ini “Bangun badannya, bangun jiwanya, untuk Indonesia Raya”.

Mengenai karya anak-anak bangsa, Nabi Yeremia pernah berkata, “Bekerjalah untuk kesejahteraan kota-kota tempat kamu Kubuang. Berdoalah kepada-Ku untuk kepentingan kota-kota itu, sebab kalau kota-kota itu makmur, kamu pun akan makmur.” [Yeremia 29:7 BIMK]. Sebuah situasi yang tidak mudah saat itu. Bangsa Israel diperhadapkan pada kenyataan menjadi bangsa yang jatuh dan tidak dapat memasuki Yerusalem hingga usia 70 tahun (batas akhir hidup seseorang). Namun, tidak diragukan bahwa mereka memiliki harapan untuk bangkit. Yeremia menyemangati bangsa itu untuk terus berjuang dan mereka berhasil.

Sebuah nasihat sekaligus harapan supaya anak-anak muda selalu mau berkarya dan mempersembahkan yang terbaik bagi masyarakat di mana Tuhan menempatkan kita. Tidak ada hal yang terlalu sukar dan rumit untuk dikerjakan, sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak berprestasi dan maju. Seperti saat berhadapan dengan Matematika dan Fisika di sekolah, selalu ada cara yang gampang, asyik dan menyenangkan dalam menghadapinya. Bahkan bagi anak-anak di wilayah dengan kondisi terburuk sekalipun. LAI sudah melakukannya melalui program pemberatasan buta aksara. Demikian juga Prof. Yohanes Surya, salah satu orang yang sudah melakukannya, di saat mata dunia dan bangsa pesimis dan skeptis melihat kondisi anak-anak di Papua. Beliau berhasil membawa mereka dan mengharumkan nama bangsa hingga ke tingkat internasional. Respek!

“By the rivers of Babylon, there we sat down. There we wept, when we remembered Zion. When the wicked carried us away in captivity required from us a song. Now how shall we sing the Lord's song in a strange land?” [Mazmur 137: 1-4]. Sayup-sayup terdengar lagu tersebut, ketika saya mengakhiri tulisan ini. Tidak perlu kita meratapi kesedihan ketika kita merasa terasing dan galau karena keterbatasan kita. Nabi Yeremia menasehati kita supaya bangkit dan bangun, serta berkarya bagi masyarakat di mana kita berada. “Bangun badannya, bangun jiwanya, untuk Indonesia Raya”.


Pdt. Sri Yuliana, M.Th.