Indrawati: “Kalau Tuhan sudah memilih, saya tidak berani menolak”

Indrawati: “Kalau Tuhan sudah memilih, saya tidak berani menolak”

Kesaksian

Berbicara soal makna sukarelawan itu tidak bisa lepas dari sumbangan waktu dan ketrampilan orang-orang yang mengupayakan agar dunia yang ditempati ini bisa lebih baik dari hari ke hari. Dan untuk menghormati karya-karya sukarelawan ini Perserikatan Bangsa-bangsa ditahun 1985 mengajak untuk memperingati bersama-sama Hari Sukarelawan Dunia. 

Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai lembaga pelayanan tidak bisa bertahan dan tumbuh tanpa dukungan para relawan. Salah satu dari mereka adalah Indrawati yang sudah mengenal pelayanan LAI sejak tahun 1995. Indrawati lahir 27 September 1943 di Cilimus, sebuah desa di antara Kota Kuningan dan Kota Cirebon. Ia merupakan anak keenam dari delapan bersaudara.

Sekitar umur empat tahun, keluarganya pindah ke Cirebon. Ia melewatkan masa kecil hingga remajanya di tempat ini. Banyak teman sebayanya waktu kecil suka membagikan cita-cita mereka ketika besar nanti. Ada yang ingin menjadi guru, ada pula yang ingin menjadi hakim. Semua dengan bangga menjawab ketika ditanyakan cita-cita mereka saat kecil. Indrawati berbeda dari teman-teman sebayanya. Setiap ditanyakan mimpi atau cita-cita, Indrawati hanya menggeleng.  

“Sebetulnya saya itu tidak punya mimpi waktu kecil,”katanya. Dia malah mengapresiasi teman-temannya waktu itu. “Mereka hebat sekali berani bermimpi sejak kecil. Sementara saya kalau boleh jujur tidak tahu, saya tidak berani bermimpi.” 

Indrawati mungkin menyadari, orangtuanya hanyalah orang yang sederhana. Terlebih setelah kepergian papanya menghadap Tuhan, mamanya berjuang membesarkan anak-anaknya. “Saya bukan anak hebat. Hidup kami memang susah sejak kepergian papa, maka kami tidak terlalu berani bermimpi. Ya, hidup tinggal dijalani saja,”terangnya. Indra tak pernah berhenti mengucap syukur jika mengingat masa kecilnya dahulu. 

Kecintaannya dalam dunia pelayanan, baik di gereja maupun lintas gereja dimulai sejak tahun 1984, yaitu saat dirinya memutuskan mengaku percaya kepada Krisus dan kemudian mengikuti katekisasi (pengajaran iman Kristen oleh gereja). Indrawati dibaptis di usia 41 tahun. 

“Jadi saya lahir bukan dari keluarga Kristen,”katanya. “Papa saya sudah meninggal lebih dahulu. Mama saya sudah menjadi Kristen jauh sebelum saya mengaku percaya. Selanjutnya diikuti oleh adik, kakak, bahkan anak-anak saya lebih dulu mengaku percaya,”lanjutnya. 

Kecintaannya dengan pelayanan semakin tumbuh sekitar tahun 1989, saat Indrawati dipercaya pertama kalinya menjadi penatua di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Cibunut, Bandung. Saat awal dirinya terpanggil sebagai penatua, sempat muncul keraguan dalam hatinya. “Kok saya? Di GKI Taman Cibunut kan banyak orang pintar?”katanya ragu. Namun perwakilan gereja yang mengunjunginya waktu itu meyakinkannya demikian,”Betul, Bu. Memang banyak orang pintar. Dan gereja ini memang memiliki banyak anggota, tetapi Tuhan memilih Ibu,”kata perwakilan gereja tersebut.   

Indrawati tidak berani menolak lagi. Seketika itu juga dirinya bilang,“Ya, sudah, kalau begitu saya bersedia.” Indrawati juga teringat saat-saat percakapan gerejawi sebelum dirinya menjalani katekisasi dewasa. Ada salah seorang penatua yang menanyakan, “Apakah ibu percaya bahwa ibu telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus?” Kemudian penatua tadi kembali bertanya, “Nah, bersediakah ibu kalau suatu saat nanti ibu diminta untuk menjadi penatua?” Indrawati menghormati percakapan gerejawi sebagai sebuah percakapan yang sakral dan mengikat. Maka menurutnya tidak mungkin menjawab tidak, ketika ditanyakan kesanggupannya melayani Tuhan. Indrawati selalu menyatakan “ya” setiap dipercaya dalam menjalankan sebuah pelayanan. 

“Kalau Tuhan yang memilih, saya tidak berani menolak,” katanya mantap. Kesetiaan dan ketekunannya melayani, membuatnya terus dipercaya menjadi penatua selama beberapa periode. Kemudian ia dipercaya untuk berkarya di Badan Pekerja Majelis Klasis (BPMK) GKI. Bahkan sempat juga melayani di Sinode wilayah sebagai anggota departemen. 

Perkenalannya dengan Lembaga Alkitab Indonesia adalah saat dilangsungkan Retret Nasional LAI yang diselenggarakan di Salatiga pada 1995. Indrawati hadir sebagai utusan Komisi Wanita GKI Taman Cibunut Bandung. Di dalam retret tersebut untuk pertama kalinya ia berjumpa dengan tiga orang dari LAI, yaitu  Hilda Pelawi, Gracia Budi dan Johana Samura. Mereka adalah karyawan LAI dari Departemen Gereja dan Masyarakat LAI (Gema). Selepas acara di Salatiga tersebut, tumbuh keinginan di hati Indrawati untuk mengenal karya pelayanan LAI lebih dalam. Saat ditanyakan kepadanya, apa yang membuat Indrawati demikian menikmati retret tersebut dan mau bergabung menjadi sukarelawan di LAI. Indra menyebut hal itu karena keteladanan orang-orang LAI pada saat itu. Keteladanan mereka membuahkan kesaksian hidup yang menginspirasi para peserta retret. 

“Jadi yang membuat saya tertarik itu sebetulnya cara kerja Ibu Hilda Pelawi dan timnya,”katanya. Retret yang menghadirkan sekitar 100 Sahabat Alkitab dari berbagai kota dikoordinir dan diatur oleh tiga orang, Ibu Hilda, Ibu Gracia dan Ibu Johana. Menurutnya ini sesuatu yang luar biasa. 

“Mereka selalu bangun pukul dua  pagi, jauh lebih awal daripada peserta retret untuk mengurus segala hal tentang retret tersebut. Saya pikir apa yang membuat mereka demikian bersemangat? Pasti ada sesuatu yang memotivasi mereka,” lanjut Indrawati yang terlihat sehat dan segar di umurnya yang menginjak 78 tahun. 

Sepulang dari retret Indrawati kemudian menceritakan dalam pertemuan Komisi Wanita di gerejanya tentang apa yang ia peroleh selama mengikuti Retret Nasional ini. Ternyata program dan pelayanan LAI begitu luas. Persoalannya adalah etos kerja yang diperlukan dalam pekerjaan besar ini. Indrawati memperoleh banyak hal positif selama mengikuti acara retret di Salatiga tersebut. Maka akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjadi mitra LAI dalam Sahabat Alkitab dan Koordinator Program Satu Dalam Kasih (SDK) di gerejanya. Menjadi mitra yang membantu LAI menggalang dukungan. Sebagai seorang Sahabat Alkitab, sejak 1995 ia secara rutin setiap bulannya mendukung pelayanan LAI lewat donasi. 

Salah satu program pelayanan LAI yang memperoleh dukungan luas dari umat Tuhan adalah Program Satu Dalam Kasih (SDK), yaitu program yang menjembatani kebutuhan jemaat-jemaat di pelosok yang membutuhkan Alkitab dengan jemaat di kota besar yang ingin menolong mereka. Selama bertahun-tahun Indrawati menjadi koordinator Satu Dalam Kasih di gerejanya. 

“Awalnya kordinator program ini bukan saya, ada salah seorang ibu dari pengurus komisi wanita, tapi dia mengundurkan diri lalu saya masuk,” katanya. 

Setelah sekitar lima tahun melayani bersama LAI, muncul keinginan membentuk Kelompok Kerja di Wilayah Bandung. Pada tahun 2000, terbentuklah Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan (KKPD Bandung) LAI Mitra Bandung agar pekerjaan pelayanan LAI di Bandung bisa dikenal lebih luas di wilayah Bandung dan sekitarnya. 

Indrawati melihat kebersamaan rekan-rekan sepelayanan di KKPD Bandung sangat tinggi. Ia mengingat ada satu pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Suatu ketika tim KKPD Bandung mendapat sebuah kabar berita yang tidak menyenangkan. Pengurus KKPD perlu segera mengundang rapat untuk menyelesaikan permasalah. Yang hadir dalam pertemuan saat itu hanya seorang penasihat, ketua, sekretaris, bendahara dan wakil-wakilnya. Mereka itu tanpa tanya bertanpa langsung menyediakan diri untuk berkumpul. Saat permasalahan dijelaskan dan dibuka, semua yang hadir sehati sepikir. Semua satu pemahaman. Bahkan ada seorang yang tidak pernah bicara dan jarang berpendapat langsung menyodorkan selembar kertas hasil print out dari Whatsapp yang dia terima. “Kesehatian itu membuat saya sangat terharu. Dalam menghadapi tantangan ini mereka begitu kompak, langsung memahami pokok masalah dan yang terpenting merasa sepenanggungan,” katanya. 

Sebagai koordinator SDK, Indrawati sering terlibat dalam perjalanan-perjalanan ke pelosok untuk menyerahkan Alkitab dan bacaan-bacaan rohani hasil dukungan mitra LAI. Pengalaman lapangan pertama yang dialami adalah saat mengikuti perjalanan ke Desa Sigumbang, Kabupaten Buol Toli-toli, di Sulawasi Tengah.  Indrawati melihat langsung bagaimana sukacita luar biasa yang dialami umat Tuhan yang menerima Alkitab. 

“Sukacita mereka membuat saya juga merasa berbahagia dan bertahan melayani sampai sekarang,”ujarnya. Selain bertemu umat yang bersukacita menerima Alkitab, dirinya juga merasakan sukacita pelayanan dari hamba-hamba Tuhan yang datang ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil. 

“Maksudnya bukan sukacita saya atau tim dari LAI yang datang ke tempat yang jauh tersebut, melainkan ada pendeta atau ketua majelis yang minimal seminggu atau sebulan sekali baru bisa datang ke lokasi pelayanan yang terpencil tersebut, sambil menyeberangi sungai deras tanpa jembatan.”

Dalam berorganisasi dan menjalani pelayanan, mengalami sukacita maupun duka dipahami sebagai hal  yang biasa oleh Indrawati. Indrawati meyakini, dalam berorganisasi di manapun selalu ada hal-hal yang tidak menyenangkan. Ada dukacita yang seringkali hadir tak terduga, tetapi semua teratasi karena sukacita yang besar yang dilimpahkan oleh Tuhan. Kembali Indrawati mengucap syukur karena sejauh ini Tuhan telah memimpin KKPD Bandung sehingga mampu menjalankan pelayanan dengan sangat kompak.  

Kesetiaan Indrawati yang selalu menyatakan “ya” setiap ditawari panggilan pelayanan menjadikannya teladan bagi banyak orang. Bukan hanya di GKI Taman Cibunut maupun KKPD LAI Mitra Bandung. Termasuk teladan bagi staf-staf LAI sendiri. Johana Samura, Kepala Dep. Umum LAI, yang bertahun-tahun lamanya mengenal Indrawati dari dekat menjadikan Indrawati sebagai panutannya dalam pelayanan. “Ibu Indrawati adalah sosok yang tidak pernah mengeluh, selalu semangat, penuh inisiatif dan mudah diajak bekerja sama.”

Di luar KKPD LAI, Indra juga pernah menjadi Wakil Sekretaris di Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Jawab Barat. Tugasnya selain membuat risalah rapat juga mempersiapkan surat-surat dan materi dalam persidangan dalam rapat PGIW Jawa Barat. Risalah, surat-surat maupun materi yang dikerjakan selama ini ini memang didasari jugadari kecintaan Indrawati menulis dan membaca, sebuah kebiasaan yang sudah terasah sejak kecil. 

“Dari kecil tuh saya senang membaca dan senang menulis. Itu aja sih. Tidak tahu kenapa,” katanya. Di dalam setiap kesempatan baik dengan suasana senang ataupun sedih dia langsung menuangkan dalam sebuah tulisan. Tidak pernah ada yang mengarahkan semua terjadi begitu saja. Di masa pandemi inipun dia malah semakin produktif dalam menulis. Berawal permintaan dari Whatsap Grup di mana dirinya diminta untuk menuliskan doa untuk dibaca anggota didalamnya. 

“Tadinya saya pikir sekali dua kali saja, tapi permintaanya berlanjut terus menerus. Banyak yang bertanya: Mana doanya? Mana doanya?” terangnya. Tulisan kompilasi doa ini juga akhirnya dibukukan dan bukunya diberi judul “Segenggam Doa”. Sampai saat ini sudah terbit volume 1 sampai 5 dan rencana volume 6 akan segera terbit. 

Doa-doa Pesona Nusantara” dari Indrawati ini betul-betul mewakili doa kita semua anak manusia. Ada keintiman seorang anak yang mengadu kepada Bapanya tentang kekuatiran dan ketakutannya di masa Pandemi Covid 19,” terang Lilawati Tanimihardja, rekan sepelayanannya di KKPD Bandung. 

Anak-anak muda perlu belajar dari Indrawati akan arti ketekunan dan kesetiaan. Banyak anak muda seringkali terlalu berhitung untung rugi, bahkan saat dipercaya dan ditawari terlibat pelayanan. Tidak dipungkiri motivasinya pun sekarang sudah bergeser ke arah materil. Indrawati sebaliknya. Ia percaya penuh bila ini adalah pekerjaan Tuhan, maka Tuhan akan mencukupkan semua kebutuhan umat-Nya. 

Saat dirinya bergiat di klasis sebagai Anggota BPMK ia sempat mengalami keheranan. Saat hendak mengikuti rapat ke Jakarta pengurus yang berangkat mendapat uang transport. Pertama kali ia mendapat uang transport, dirinya pun merasa heran. Karena ia berpikir, orang yang melayani Tuhan jangan berharap atau menginginkan sesuatu, termasuk uang transport. Karena melayani baginya adalah ungkapan syukur atas kebaikan Tuhan. 

Indrawati menegaskan, “Yang penting apapun yang kamu keluarkan, kamu harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan, jadi jangan berlaku seenaknya. Kalau kita bisa mempertanggungjawabkan kepada Tuhan apa yang telah kita lakukan dan berapa dana yang telah kita keluarkan, jangan pernah khawatir.”

“Jangan berpikir kalau mau jadi sukarelawan itu tunggu menjadi kaya dulu. Jangan pernah juga berpikir kita baru bisa berbagi kalau dana atau kemampuan sudah berlebih,” lanjutnya. 

Ia bercerita pemeliharaan Tuhan terhadap dirinya dan keluarga yang terjadi sekitar tahun 1983. Waktu itu ia masih merintis mengajar senam, mesti pontang-panting dan jatuh bangun. Pada suatu hari mamanya datang mengunjunginya, di waktu yang sama datanglah seorang pengemis yang kemudian berdiri di pintu pagar. Pengemis itu hanya diam berdiri saja. Indrawati tahu dia datang untuk meminta-minta. Saat itu Indrawati hanya mempunyai beras satu kaleng susu, ia tidak punya uang. Sontak secara spontan dia bergerak membagi setengah berasnya. 

Mamanya yang berdiri di dekatnya spontan langsung berkomentar sambil tertawa, “Kamu tuh kaya ya?” “Kaya mah?” balas Indrawati.  “Iya, kamu tidak punya uang, cuma punya beras satu kaleng, tetapi kamu mau berbagi ke orang. Kamu nanti makan bagaimana?” Indrawati pun menjawab, “Yang setengah kaleng kita bikin bubur, ya cukuplah.” 

Padahal Indrawati saat itu juga harus memberi makan kedua anaknya. Jadi ada tiga oranglah semua yang harus makan di hari itu. Dan esoknya saat melatih senam dia hanya berharap ada yang membayar iuran. Dan ternyata benar saja, Tuhan memberikan yang terbaik. Begitu selesai melatih senam, ada yang membayar iuran dan dari uang itu bisa membeli beras bahkan bisa untuk transport juga. Hingga hari ini Tuhan terus menjaga Indrawati dan keluarga. Mereka tidak pernah kelaparan ataupun kekurangan. 

Selain melatih senam yoga, Indrawati selalu rutin berjalan kaki setiap hari sehingga membuat tubuhnya bugar dan ingatannya akan masa lalu tetap terpelihara baik. Dia menceritakan waktu SMP ada seorang teman sebayanya yang lahir di Ambon. Mereka selalu menceritakan keindahan lautan biru dengan kerang-kerang cantik sepanjang pantai ditambah pasir putih yang menambah decak kagum bagi yang berkunjung kesana. Indra yang dibesarkan di dekat Cirebon memang tinggal dekat laut, tetapi tidak ada pasir putih apalagi kerang cantik seperti yang diceritakan temannya ini. Di Cirebon hanya ada pelabuhan sehingga dia penasaran dengan apa yang digambarkan temannya ini. 

Indrawati memang tidak berani memimpikan sesuatu, tetapi muncul kerinduan di hatinya jika suatu hari nanti Tuhan memberikan kesempatan, ia ingin mengunjungi Ambon. Berjalannya waktupun dia sudah melupakan kerinduannya tersebut. Singkat cerita kerinduan yang pernah dia lupakan tersebut akhirnya terwujud dan membawanya untuk mengunjungi Ambon sampai empat kali bahkan ke daerah Banda Neira sudah dua kali. Pernah suatu kali ketika sedang berada di  Raja Ampat, dirinya diwawancarai oleh sebuah stasiun TV nasional dan benar muncul meski hanya dua kalimat pendek. “Mengapa oma mau ke Raja Ampat?”tanya reporter TV tersebut. “Lah, kata orang tempatnya bagus, saya kepengen dong, ” kata Indrawati. “Tapi oma berani bawa-bawa orang tua?” sekali lagi tanya reporternya. “Kan kita tidak datang ke sini berjalan kaki, semua ditempuh naik pesawat. Dan dari Sorong memakai kapal, semua sudah dipersiapkan dengan baik sehingga saya percaya diri ikut menyertakan oma-oma,” terang Indrawati. 

Indrawati  selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar, siapapun yang hadir berkunjung ke rumahnya tidak pernah melihat latar belakang tamunya dari mana dan keperluannya apa. Ketika kami berkunjung beliau menerima dengan sukacita. “Kalian datang ke rumah ini memang atas nama LAI, namun saya melihat kalian sebagai sesama ciptaan Tuhan, yang Tuhan kirim datang, yang harus saya sayangi dan hormati.” 

Pelayanan dan kehidupan yang dijalani Indrawati, senantiasa diinspirasi oleh nilai-nilai ajaran Kristus yang bersumber dari Alkitab. Salah satunya dari nasihat Rasul Paulus dalam suratnya ke Jemaat Kolose yang menasihatkan untuk “apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (Kolose 3:23). Soli Deo gloria. (pp)