Masa Pra-Paskah, Praktik Berpuasa dan Pekan Doa Pentakosta

Masa Pra-Paskah, Praktik Berpuasa dan Pekan Doa Pentakosta

 

Saat ini, umat Kristen sudah mulai memasuki sebuah masa raya yang dikenal sebagai ‘Masa pra-Paskah’ hingga nanti memasuki hari Paskah. Terdapat tradisi yang dilakukan oleh sejumlah umat Kristen selama menjalani masa pra-Paskah, yakni dengan melakukan puasa. Namun, tidak semua umat melakukannya, tidak semua gereja (secara khusus Protestantisme) yang mengadopsi praktik puasa selama masa pra-Paskah atau mungkin, sedang berusaha mencari alasan dan tujuan secara liturgis tentang praktik puasa di dalam Kekristenan, secara khusus selama masa pra-Paskah. Beberapa pertanyaan yang mungkin muncul adalah: Apa arti dan pentingnya masa pra-Paskah? Bagaimana kita perlu memaknai pra-Paskah sebelum mengalami Paskah? Kemudian, mengapa berpuasa pada masa pra-Paskah? Melalui artikel ini, kita pun akan mencoba untuk menggumuli dan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai bagian dalam pembentukan spiritualitas sebelum mengalami Paskah. Kita juga akan menelusuri teologi pekan doa Pentakosta sebagai respons atau tindak lanjut terhadap kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke sorga. Artinya, melalui tulisan ini diharapkan umat mendapatkan informasi dan membangun pemahaman yang menyegarkan iman dalam menjalani rangakaian masa raya Paskahh.

Apa itu masa pra-Paskah?
Secara harfiah pra-Paskah berarti ‘sebelum Paskah’. Kata ‘Paskah’ sendiri merupakan terminologi serapan dari tradisi Yudaisme yang dikenal sebagai pesakh, פֶסַח dengan mengacu kepada peristiwa pembebasan yang dilakukan TUHAN kepada bangsa Israel dari tanah Mesir. Hal ini sangat lumrah mengingat komunitas Kristen yang pertama kali terbentuk adalah mereka yang sebelumnya menganut agama Yahudi, sehingga praktik spiritualitas dan liturgi masih kental dengan corak khas Yudaisme. Selain Paskah, beberapa bentuk perayaan yang juga diadopsi dari tradisi Yudaisme adalah perayaan Pentakosta, mengacu kepada hari raya syavout atau hari syukur karena panen (bdk. Im. 23:15-22) yang dilangsungkan pada hari kelima puluh setelah hari Raya Roti Tak Beragi. Oleh komunitas Kristen-Yahudi, hari syavout ini pun diadopsi dengan pelekatan makna baru berdasarkan peristiwa turunya Roh Kudus ke atas para rasul (lih. Kis. 2). Seperti hari Pentakosta, hari Paskah juga mendapatkan pemaknaan baru, yakni sebagai bentuk pembebasan manusia dari kuasa dosa yang dibuktikan melalui kebangkitan Yesus Kritus. Kemudian hari Paskah pun selalu dirayakan pada hari Minggu, mengacu kepada susunan waktu sejak penyesahan Yesus Kristus, kematian dan kebangkitan-Nya (sehari setelah Sabat). Itulah sebabnya, sejak abad 2 umat Kristen melakukan ibadah pada hari Minggu, bukan lagi pada hari Sabat.

Di dalam terjemahan Inggris kata ‘pra-Paskah’ disebut ‘lent’ yang merupakan perkembangan dari kata ‘lencten’ (bahasa Anglo-Saxon), artinya ‘musim semi’. Idealnya masa pra-Paskah merupakan sebuah sarana liturgis bagi umat Kristen untuk sungguh-sungguh mengalami hari-hari terakhir menjelang kematian Yesus Kristus. Namun, seringkali masa pra-Paskah terlewatkan begitu saja akibat kurangnya perhatian umat Kristen terhadapnya. Selama menjalani masa pra-Paskah, umat bukan sekadar mengingat peristiwa penyiksaan dan kematian Kristus, melainkan selama 40 hari melakukan evaluasi diri sebagai bentuk persiapan memasuki Pekan Suci. Jumlah 40 hari sebagai masa pra-Paskah selain dengan mengacu pada masa puasa Yesus di padang gurun, juga memiliki makna lain yang bersumber dari narasi Alkitab. Misalnya, Musa melakukan persiapan selama 40 hari di gunung Sinai sebelum ia menerima kesepuluh peritah TUHAN (lih. Kel. 34:28). Kemudian, Elia berjalan selama 40 hari ke gunung Horeb untuk bertemu dengan TUHAN (lih. 1 Raj. 19:8-9). Perhitungan masa 40 hari ini dimulai sejak hari Rabu Abu hingga Paskah. Pada tahun 2022 berdasarkan Tahun Liturgi C, hari Rabu Abu dilakukan pada tanggal 2 Maret dan Paskah dilkaukan pada tanggal 17 April. Apabila kita menghitung jumlah hari yang ada sejak 2 Maret hingga 17 April, maka akan ditemukan jumlah hari sebanyak 46. Lantas mengapa jumlah hari masa pra-Paskah disebut sebagai 40 hari? Hal ini disebabkan enam hari Minggu yang ada di dalam masa pra-Paskah tidak dimasukkan dalam perhitungan.

Persoalan yang muncul pada masa sekarang, tidak jarang gereja atau umat Kristen merayakan hari Paskah dengan melakukan rangkaian drama, pemutaran film atau narasi yang terkait dengan peristiwa Jumat Agung. Alih-alih sebagai cara untuk memaknai kebangkitan Kristus, kebiasaan semacam ini justru agaknya keliru dan mengurangi khidmat perayaan Paskah. Itulah sebabnya, di dalam susunan tahun liturgi terdapat sebuah masa yang dikenal sebagai masa pra-Paskah, yakni waktu khusus yang menjadi ruang persiapan bagi setiap umat Kristen untuk menggumuli, merefleksikan, dan mempersiapkan dirinya sebelum akhirnya memasuki Pekan Suci (Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi) dan mengalami Paskah (kebangkitan Kristus dari kematian).

Berpuasa Pada Masa pra-Paskah
Masa pra-Paskah dimulai sejak perayaan Rabu Abu hingga Sabtu Sunyi. Di dalam tradisi gerejawi yang mengacu pada kalender liturgi, Masa pra-Paskah pun biasanya diisi dengan praktik 40 hari berpuasa (Yun. νῆστις, nestis, artinya ‘tidak makan’). Tradisi ini mengimitasi kisah puasa yang dilakukan Yesus Kristus selama 40 hari di gurun atau disebut sebagai Quadragesima. Praktik berpuasa selama masa pra-Paskah dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara. Terdapat perbedaan di antara Gereja Timur dan Gereja Barat dalam menjalankan praktik puasa selama masa pra-Paskah. Di Gereja Barat, puasa tidak dilakukan pada hari minggu karena tetap dilangsungkannya perjamuan pada hari tersebut, sedangkan di Gereja Timur puasa tetap dilakukan meski pada hari minggu selama masa pra-Paskah. Kemudian, di dalam lingkungan Protestantisme, berpuasa bukanlah sebuah kewajiban melainkan menjadi sebuah pilihan dengan model berpuasa seperti menahan diri untuk tidak mengkonsumsi makanan, minuman, atau kegiatan favorit. Ada yang hanya makan satu kali dalam sehari, ada yang tidak mengkonsumsi makanan tertentu, ada pula yang menahan makan hingga pukul 3 sore. Berpuasa di dalam lingkungan Protestantisme juga dapat diwujudkan dengan berkomitmen untuk melakukan disiplin devosi atau terlibat sebagai sukarelawan untuk kegiatan tertentu.
Berpuasa di dalam Kekristenan memang tidak menjadi sebuah ketentuan yang bersifat mutlak. Meski demikian, bukan artinya umat dilarang untuk melakukan puasa atau menjadikan puasa sebagai hal yang tidak bermakna. Justru, praktik berpuasa memiliki makna yang mendalam dengan dampak penting bagi tumbuh-kembang spiritualitas umat Kristen. S. H. Mathews misalnya, menuliskan paling tidak terdapat 3 peran puasa bagi kehidupan seorang Kristen, yakni merendahkan diri di hadapan Allah (mengolah hati); sebuah perwujudan rasa sesal dan pertobatan kepada Allah; serta, tindakan devosi untuk mengembangkan spiritualitas dan pengendalian diri.

Terdapat banyak klasifikasi yang diberikan terhadap model berpuasa berdasarkan tokoh-tokoh di Alkitab yang melakukannya, misalnya: puasa Ezra (lih. Ez. 8:21-23); puasa Samuel (lih. 1 Sam. 7:1-8); puasa Elia (lih. 1 Raj. 19:2-18); puasa Ester (lih. Ester 4:15-17); puasa Daniel (lih. Daniel 10:1-5); puasa Paulus (lih. Kis. 9:9). Nama-nama tersebut hanya sebagian dari sekian banyak tokoh di Alkitab yang mempraktikan puasa. Alasan dan tujuan tiap puasa pun berbeda berdasarkan narasi dari masing-masing tokoh. Namun, dapat disimpulkan bahwa puasa merupakan salah satu bentuk atau cara manusia untuk berkomunikasi atau terhubung dengan sang Allah. Puasa bukan hanya sekadar ‘tidak’ makan dan minum, melainkan juga persoalan pelatihan, pengelolaan, dan pengendalian diri di hadapan Allah sehingga ada rasa keterikatan antara manusia dengan Allah yang menjadi subjek ‘persembahan’ dari puasa tersebut.
Selain alasan dan dampak teologis, berpuasa (makan dan minum) juga memiliki dampak secara psikologis. Misalnya, berpuasa dapat mereduksi tingkat stres, mengontrol emosi dan hormon Corticotropin-Releasing Factor (CFR). Kemudian, berpuasa (makan, minum, dan kegiatan tertentu) menolong orang untuk lebih fokus, mendapatkan pemaknaan, dan kedamaian di tengah rutinitas yang terkadang secara tanpa sadar membuat orang kehilangan kendali atasnya. Dengan kata lain, orang hanya sekadar melakukan rutinitas tanpa lagi memikirkan nilai, makna, alasan dan tujuan ‘mengapa’ ia melakukannya.

Berpuasa pada masa pra-Paskah dimaksudkan agar umat semakin mengarahkan perhatian dan memaknai 40 hari tersebut dengan hati yang terbuka bagi pesan Allah kepadanya. Selain itu, puasa selama masa pra-Paskah juga menjadi bentuk merendahkan hati di hadapan Allah atas segala dosa yang dilakukan hingga membuat Yesus Krstus mengorbankan nyawa-Nya demi menebus manusia dari kuasa maut. Oleh sebab itu, berpuasa pra-Paskah, entah makan-minum maupun hal lainnya, merupakan wujud komitmen spiritual dan pelatihan pengendalian diri sehingga kesengsaraan dan kematian Kristus tidak menjadi sesuatu yang sia-sia. Maksudnya, umat perlu menghargai dan menjaga nilai kudus dari kesengsaraan serta kematian Kristus dengan melakukan sebuah transformasi diri di dalam Kristus yang salah satunya diwujudkan melalui praktik puasa. Spiritualitas semacam ini juga tergambar dalam tulisan Paulus berdasarkan Roma 6:3, 6, 12:
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? … Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa… Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.” 

Apa Yang Dapat Kita Lakukan Selama Pra-Paskah?
Langkah konkret apa yang dapat kita persiapkan dan lakukan sebagai usaha memaknai masa pra-Paskah? Berikut ini adalah beberapa saran dari penulis:
1. Berikan perhatian bagi sistem kalender liturgi;
2. Jalani masa liturgi dengan tepat sehingga alur pemaknaan tiap waktu dapat terstruktur dan tidak tumpang tindih, misal: merayakan Natal di minggu-minggu Adven atau meresapi peristiwa Jumat Agung pada hari Paskah;
3. Buatlah komitmen transformasi diri selama masa pra-Paskah;
4. Tetapkan jenis puasa yang ingin dijalani, entah makan-minum atau kegiatan tertentu;
5. Mendaftar kesalahan atau dosa yang dilakukan selama masa pra-Paskah (sehingga semakin peka terhadap kondisi dan perilaku diri);
6. Mencari makna tiap minggu pra-Paskah dengan kaitannya terhadap penderitaan dan pengorbanan Kristus;
Keenam hal diatas hanyalah usulan yang kiranya dapat menolong setiap orang untuk memperisapkan diri selama masa pra-Paskah demi mengalami transformasi spiritual melalui peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus. Setiap orang tentu dapat mengembangkan strategi sesuai karakteristiknya masing-masing dengan tetap memperhatikan semangat dasar dari masa pra-Paskah. Selamat memasuki dan menjalani masa persiapan ini.

Pekan Doa Pentakosta
Selama 10 hari sejak kenaikan Yesus Kristus ke sorga, para murid bertekun dalam doa bersama-sama. Kegiatan ini terekam di dalam Kisah Para Rasul 1:14, “Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus.”. Tindakan tersebut merupakan respons para murid setelah mereka menyaksikan kenaikan Yesus yang terangkat ke sorga dan mendapatkan firman perihal turunnya Roh Kudus yang diturunkan bagi mereka. Yesus berkata, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusale dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis. 1:8). Kemudian dilanjutkan dengan perkataan malaikat, “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” (Kis. 1:11).

Selama sepuluh hari sejak hari Kenaikan Yesus ke sorga, umat diajak untuk menjalani peribadatan yang bersifat devosi personal yang juga dilakukan secara komunal, sama seperti yang dilakukan oleh para murid dalam Kis. 1:14. Pekan Doa Pentakosta yang berasal dari kata ‘Novena’, artinya ‘sembilan’ merujuk kepada sembilan malam menjelang Pentakosta. Rasid Rachman menuliskan, bahwa di kalangan Gereja-gereja Protestan pengadaan pekan doa Pentakosta ini dikenal dengan berbagai nama. Namun, tujuan dari pelaksanaan pekan doa Pentakosta adalah sebagai persiapan menjelang hari Pentakosta atau hari turunnya Roh Kudus mengacu kepada Kis. 2. Selama pekan ini pula umat melakukan persiapan dengan berdoa, melakukan perenungan yang secara khusus terkait dengan Roh Kudus, serta peran dan makna kehadiran gereja di dalam lingkungannya masing-masing.

Selama menjalani pekan doa Pentakosta umat memiliki kesempatan untuk semakin memperlengkapi dirinya dengan pengenalan dan pemaknaan yang utuh terhadap Roh Kudus yang diberikan Allah. umat juga perlu menyadari bahwa kenaikan Yesus ke sorga yang kemudian Ia janjikan (telah dipenuhi) untuk mengirimkan Roh Kudus merupakan bentuk inisiatif Allah yang melibatkan manusia ke dalam karya misi-Nya (Latin missio Dei). Sama seperti para murid yang diutus Yesus sebagai saksi-Nya hingga ke ujung dunia (bdk. Ayat 8, “… kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku…sampai ke ujung bumi.”


Usulan Bacaan Lanjut:
Rachman, Rasid. 2010. Pembimbing ke Dalam Sejarah Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Mathews, S. H. 2015. Christian Fasting: Biblical and Evangelical Perspectives. 
Senn, Frank C. 2012. Introduction to Christian Liturgy. Minneapolis: Fortress Press.
Steenbarger, Brett. The Unexpected Psychological Benefits of Short-Term Fasting. forbes.com
Rutledge, Thomas. The Psychology of Intermittent Fasting. psychologytoday.com