Menabur Benih Cinta Lewat Hidroponik

Menabur Benih Cinta Lewat Hidroponik

 

Dalam bayangan banyak orang, menjadi petani pastilah kotor-kotoran bergelut dengan tanah dan tanaman yang dibudidayakan. Belum lagi repotnya membasmi serangan tumbuhan pengganggu atau gulma hingga bermacam hama yang mengancam tanaman. Namun menjadi petani "zaman now" ternyata tidak selalu harus kotor-kotoran dan panas-panasan. Salah satunya melalui pertanian hidroponik. Lahan sempit dan terbatas di halaman kita atau bahkan di atas atap rumah bisa dimanfaatkan lebih optimal. Terlebih di era pandemi, keluarga bisa memanfaatkan pertanian hidroponik sebagai alternatif untuk menyediakan kebutuhan keluarga akan sayuran dan buah-buahan. 

Di seputar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional pada 5 November, kami ingin mengenal lebih dekat tentang hidroponik yang menjadi tren pertanian modern saat ini. Kami belajar dari Ibu Catur Rini Cahyadiningsih, anggota Majelis Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jatiasih, sekaligus praktis dan pegiat hidroponik dari Omah Tani Hidroponik Bekasi. 

Tentang Hidroponik

Apa itu Hidroponik? “Hidroponik pada prinsipnya adalah bercocok tanama tanpa menggunakan media tanah,” terang Ibu Catur.  Lebih lanjut ia menjelaskan, sebagai pengganti tanah kita bisa menggunakan beberapa media yang tidak memiliki unsur hara. Median dasarnya bisa gabus yg dipotong kotak-kotak, kain flannel, ataupun rock bowl yang memiliki daya serap air tinggi. Nutrisi untuk tanaman berasal dari cairan dan air. “Jika memiliki anggaran lebih sebagai media tanam bisa juga memanfaatkan cocopeat dan sekam bakar,”terangnya. 

Ibu Catur mengaku tidak pernah memiliki cita-cita menjadi petani. Kedua orang tuanya juga bukan merupakan petani melainkan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Semasa kecil di Tuntang (Kabupaten Semarang), ia sempat bercita-cita menjadi guru. Seiring berjalannya waktu cita-cita menjadi guru terlupakan. Pilihan perguruan tinggi malahan mengantarkan langkahnya ke Kota Hujan Bogor. Tepatnya di Institut Pertanian Bogor (IPB). 

“Bukan karena ingin bekerja di bidang pertanian, melainkan karena saya melihat di IPB waktu itu sistem pendidikannya bisa memacu mahasiswa untuk cepat menyelesaikan kuliah. Tiga setengah tahun atau maksimal empat tahun sudah bisa selesai. Artinya bisa banyak menghemat biaya dan segera mencari pekerjaan,” terangnya. 

Meskipun lulusan IPB Ibu Catur awalnya tidak bekerja di bidang pertanian. Melainkan di sebuah perusahaan swasta. Awalnya ia bermimpi suatu ketika bekerja di luar Pulau Jawa, sebagai seorang Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). Namun, impian memang kadang tidak sesuai dengan kenyataan. 

Bertanam baginya merupakan hobi yang senantiasa ingin disalurkan. “Saya memang senang bercocok tanam. Perasaan rasanya nyaman setiap menjalaninya,”katanya. 

Dulu saya pernah punya cita-cita kalau punya rumah cukup kecil saja, tapi ada halaman yang luas untuk bercocok tanam. Namun tinggal di sebuah komplek perumahan Bekasi tidak memungkinkannya untuk memiliki lahan bertanam yang luas,”lanjutnya.

Ibu Catur mengisahkan setelah beberapa lama bekerja di swasta, dirinya sempat membuat usaha sendiri. Namun, suatu ketika ia jatuh sakit. Sehingga usahanya tidak mungkin ia teruskan. Ia dan keluarga berfokus penuh pada proses terapi dan penyembuhan. 

Setelah masa pengobatannya selesai, suatu ketika ia berjalan di dak atap rumahnya. “Saya kok merasa dak atap saya ini panas. Saya mencoba mencari solusi apa yang bisa dilakukan untuk membuatnya lebih sejuk,”katanya. Ide awalnya adalah mencoba menanaminya dengan tanaman yang bisa menempel atau merambat di dinding. Kendala penyiraman membuatnya mengalihkan pilihan untuk mencoba hidroponik. Jadi awalnya tidak pernah terlintas di benaknya untuk nantinya bertani ataupun menjadi seorang trainer dalam pertanian hidroponik. 

“Mula-mulanya saya belajar secara otodidak. Segala sesuatunya saya coba sendiri. Saya mulai belajar sekitar tahun 2014, dengan melihat-lihat berbagai panduan yang tersedia di Google, meskipun di masa itu akses internet belum semudah saat ini,”terangnya. 

Tidak langsung berhasil. “Percobaan saya yang pertama gagal semua,”katanya. Benih tidak dapat tumbuh dengan baik. Ia tidak menyerah. Ia pun masih bersemangat mencari informasi dan belajar secara mandiri dari internet. Sekitar awal 2015 Ibu Catur mencoba membuat instalasi hidroponik berbekal gambar dari internet. Ternyata hasilnya tetap kurang memuaskan. Instalasi yang dibuatnya secara desain tidak maksimal dan bocor. “Meskipun tidak maksimal saya masih berhasil panen dari instalasi yang tidak maksimal tersebut,”katanya. “Panenan pertama saya tersebut adalah flowering caisim.” 

Kegagalannya membuat instalasi mengantarnya mengikuti pelatihan hidroponik di Cibubur. Ia tetap memiliki keyakinan yang tinggi karena sampai tahapan menyemai benih hingga penanaman ia sudah cukup memahami. "Tujuan mengikuti pelatihan terutama adalah agar saya dapat membuat instalasi hidroponik yang lebih baik,” terangnya. Setelah mengikuti pelatihan tersebut ia pun mulai menuai keberhasilan bercocok tanam dengan sistem hidroponik. “Saya berpikir kegagalan-kegagalan yang saya alami malah membuat saya semakin gigih dan bersemangat,”katanya. “Saya melakukannya dasarnya karena cinta bukan karena terpaksa. Berbeda dengan orang yang mencoba karena terpaksa, atau sekadar ingin tahu, sekali gagal mungkin langsung menyerah.”

Setelah mulai menuai hasil panenan dari hidroponik, Ibu Catur mulai membagikan pengalamannya lewat media sosial. “Waktu itu saya belum sampai membawakan pelatihan atau sharing secara langsung.”

Hingga suatu ketika, seorang rekannya sesama alumni dari IPB menawarinya untuk berbagi pengalaman tentang hidroponik. Kebetulan rekan tersebut seorang perintis dan pembangun komunitas inovasi pertanian. “Itu adalah pengalaman pertama saya memberikan pelatihan secara sederhana,”kenangnya. 

Setelah pengalaman tersebut, Ibu Catur berpikir untuk berbagi pengalaman dengan lebih banyak lagi orang. Modul utamanya tentu berasal dari materi pelatihan yang pernah diikuti dan kemudian dikembangkannya. “Saya sebenarnya merasa bukan ahli, tapi saya punya impian untuk memperkenalkan hidroponik terutama untuk kalangan-kalangan rumah tangga,”terangnya. Harapan ke depannya menurut Ibu Catur adalah banyak rumah tangga nanti memiliki kemandirian dalam menghasilkan sayuran berkualitas untuk rumah tangganya. Dan kalau bisa, hasilnya juga bisa memperkuat perekonomian rumah tangga. Dalam benaknya banyak keluarga akan tertolong jika berhasil membudidayakan sayur dan buah di rumahnya lewat hidroponik. 

Sejak itulah sebulan sekali paling tidak Ibu Catur secara teratur mengadakan pelatihan hidroponik di kantornya, kawasan Jatibening Bekasi. Nama Omah Tani Hidroponik dipilihnya sendiri. Harapannya Omah Tani ini (baik tempat pelatihan maupun sosial media) bisa menjadi rumah bersama para petani hidroponik untuk saling berbagi. Berbagi ilmu, informasi dan pengalaman seputar hidroponik, sekaligus juga bisa saling menawarkan segala perlengkapan untuk pertanian hidroponik tersebut. 

“Saya berpikir ilmu itu tidak hanya disimpan untuk diri sendiri, melainkan akan lebih bermanfaat jika dibagikan. Dengan saling berbagi ilmu kita malah akan semakin berkembang,”katanya. 

“Komunitas Omah Tani Hidroponik sendiri ada yang tergabung dalam WA grup ataupun grup Facebook. Untuk yang di WA grup anggotanya adalah mereka yang pernah mengikuti pelatihan bersama saya. Sementara yang di grup Facebook terbuka untuk semua yang berminat,”terangnya. 

Banyak orang sudah pernah merasakan manfaat mengikuti pelatihan di Omah Tani. Bukan hanya umum, beberapa peserta bahkan dari kalangan gereja dan anak-anak sekolah. Ibu Catur bahkan pernah memberikan pelatihan hidroponik hingga di Lombok, Nusa Tenggara Barat.  Dalam perjalanan pembagian Alkitab melalui Program Satu Dalam Kasih di Kei, Maluku Tenggara, beliau juga sempat memberikan pelatihan hidroponik untuk warga gereja di sana.

Hidroponik Mahal?

Banyak orang yang takut mencoba pertanian hidroponik  karena menganggapnya mahal dan butuh modal besar. Karena harus mempersiapkan instalasi, nutrisi khusus untuk tanaman dan sebagainya. Tentang hal ini, Ibu Catur menjawab dengan bijak. 

“Memang hidroponik pada dasarnya adalah bercocok tanam dengan menyiasati lahan yang terbatas. Kalau bercocok tanam dengan media tanah, tanaman ditancapkan atau disebarkan di tanah begitu saja mungkin bisa tumbuh. Kadang tidak perlu memberikannya pupuk tambahan. Namun, kalau hidroponik tanpa pupuk atau nutrisi tambahan untuk tanaman tidak mungkin tanaman itu hidup,”terangnya. “Air yang digunakan untuk hidroponik juga belum tentu mengandung nutrisi yang benar-benar dibutuhkan oleh tanaman sehingga harus ada tambahan perlakuan,”lanjutnya. “Pupuk hidroponik (AB Mix) memungkinkan tanaman tumbuh dengan optimal, karena kandungan nutrisinya memang yang paling dibutuhkan tanaman. Waktu mulai tanam hingga panen pun bisa lebih cepat dari pertanian dengan media tanah.”

“Tentang peralatan instalasinya, juga tidak selalu mahal. Semua tergantung kebutuhan dan berapa anggaran yang tersedia pada kita,”jelasnya. “Mahal atau murah itu pilihan. Sebagai awal, kita bisa menggunakan bak plastik atau bahan daur ulang. Botol bekas minuman, paralon bekas atau talang bekas bisa kita gunakan,”lanjutnya. Untuk skala rumah tangga menurut Ibu Catur tidak harus menggunakan peralatan yang mahal. Tentu saja lain perkara jika membuat pertanian hidroponik skala besar dengan instalasi yang modern dan di dalam green house (rumah kaca). 

Merawat Tanaman dengan Cinta dan Kasih Sayang

Banyak orang memandang untuk dapat berhasil, tanaman harus dirawat dengan penuh perhatian, penuh cinta dan kasih sayang. Tentang hal ini Ibu Catur sangat setuju. 

Menurut saya apapun tanaman yang kita tanam, baik yang menggunakan media tanah, ditanamnya di pot, di sawah, di kebun ataupun menggunakan media hidroponik, organik semua membutuhkan perhatian dan kasih sayang kita,”jelasnya. “Kalau tidak kita perhatikan pasti hasilnya jauh berbeda dibanding yang diperhatikan dengan seksama dan penuh cinta.”

“Ambil contoh, tanaman hidroponik saya terletak di atap rumah. Kalau lama tidak saya tengok atau perhatikan, saya tidak tahu kalau ada hama atau masalah pada tanaman kita,”terangnya. 

Maka merawat tanaman bagaikan merawat seorang anak dari lahir, bayi, bertumbuh, dan menjadi dewasa. Perlakuan perawatan pun dilakukan dengan seksama mengikuti usia tanaman tersebut. Intinya setiap saat harus selalu diperhatikan, dirawat dengan penuh kasih sayang dan akan memberi hasil yang maksimal. “Perhatian yang baik akan menghindarkan tanaman dari hal-hal yang tidak kita inginkan,”katanya.  

Lebih lanjut Ibu Catur menjelaskan sekarang beragam sayuran, bunga, bahkan tanaman buah bisa dibudidayakan lewat hidroponik. Bahkan menurutnya tanaman pisang juga bisa ditanam menggunakan sistem hidroponik.  

Bertanam Tergantung Bakat?

Banyak orang memandang bercocok tanam adalah bakat atau tergantung tangan si penanam. Orang yang berhasil dalam bercocok tanam sering disebut bertangan dingin. Apa saja yang ditanamnya akan berhasil. Sementara yang kurang berbakat, cenderung terus mengalami kegagalan. Bagaimana pandangan Ibu Catur?

“Itu tidak benar, hal tersebut sering kali menjadi alasan orang-orang yang tidak tekun,”katanya sambil tertawa. Ia mengambil contoh, seorang adik kelasnya semula merasa tangannya panas, tidak mungkin berhasil bercocok tanam. Setelah mengikuti pelatihan di Omah Tani ternyata ia berhasil dan panen sayuran. 

Menurutnya banyak orang sekadar menanam, tanpa perhatian pada tanamannya. Akhirnya tanaman tidak tumbuh dengan baik dan pada akhirnya layu atau kerdil. “Untuk hidroponik menurut saya malah lebih mudah lagi, kita tinggal mengikuti panduannya dan tahap-tahapnya secara seksama.”

Gereja Sebagai Penggerak Revolusi Hijau

Banyak gereja di era modern ini masih berkutat pada hal-hal yang sederhana seperti persekutuan, pembinaan kerohanian warga ataupun pelayanan ke dalam. Kegiatan diakonia gereja sering berkutat pada: sembako murah, pemberian dana diakonia atau beasiswa dan sebagainya. Mungkinkah gereja menopang kehidupan ekonomi warganya dengan menyediakan kail lewat pertanian hidroponik? 

“Tentang gereja sebagai pelopor atau agen penggerak hidroponik tentu mungkin saja terjadi. Hanya saja banyak gereja masih lebih banyak berbicara soal konsep dan cara pandang teologi. Gereja secara institusi tidak masuk dalam ranah praktis pertanian,”terang Ibu Catur. “Lebih banyak individu warga gereja yang mencobanya sendiri dan kemudian mengembangkan pertanian hidroponik baik untuk skala rumah tangga maupun untuk usaha.”

“Kalau gereja yang secara khusus menyelenggarakan pelatihan, mempersiapkan lahan dan tempat pertanian kemudian membina warga untuk mengurusnya belum pernah ada,”lanjutnya. “Masih kurang greget dari gereja untuk mendorong pemberdayaan ekonomi warga.”

Berkaitan dengan pengembangan hidroponik, Ibu Catur berharap setiap rumah tangga nantinya punya kebun sendiri. Sehingga setiap rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan sayurannya sendiri secara mandiri. Selagi masih kuat ia akan terus berjuang menyebarluaskan hidroponik. 

Di luar kegiatan menyebarluaskan hidroponik, Ibu Catur sebagai seorang penatua di gerejanya, GKI Jatiasih, aktif terlibat dalam Badan Pekerja Majelis (BPM) Klasis, sebagai Sekretaris Klasis. Selain melakukan program-program yang telah ditetapkan dalam setahun, Majelis Klasis bertugas membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di gereja-gereja anggota klasis. Di luar itu Majelis Klasis mempersiapkan penahbisan dan emeritasi pendeta jemaat. 

Baik dalam pelatihan hidroponik, kegiatan gereja maupun berbagai kegiatan lainnya Bu Catur selalu berusaha melakukannya dengan penuh sukacita. Bagi beliau pelayanan adalah melakukan yang terbaik untuk Tuhan. Ketika seseorang diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah tugas, ia harus melakukannya dengan sungguh-sungguh bukan karena dilihat oleh si pemberi tugas. Melainkan untuk memuliakan nama Tuhan. “Dengan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tuhan, kita selalu berusaha melakukan segala tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya.”