Menjadi Kaya atau Hidup Kaya?

Menjadi Kaya atau Hidup Kaya?

 

“LOWONGAN KERJA: Dibutuhkan orang dengan semangat seorang pialang saham, kesabaran seorang instruktur kursus menyetir mobil dan optimisme seorang pengamat cuaca …” – “Bah! Iklan lowongan pekerjaan apa tuh? Kayaknya gajinya gede!” seru seorang kawan asal Medan melihat layar komputer ketika saya sedang menulis artikel ini. “Wah, penempatan di luar negeri lagi” katanya lagi sembari membaca lanjutan iklan yang berbunyi, “Penempatan di luar negeri selama dua tahun, tinggal dan hidup dalam lingkungan budaya yang berbeda, belajar bahasa yang baru serta menguasai ketrampilan-ketrampilan baru”. Sebuah iklan lowongan kerja yang menarik dan menantang dengan kesempatan pengembangan diri yang luas, namun apakah mendapat gaji yang memadai? Sayangnya soal gaji tidak disebutkan.

Iklan di atas saya kutip dari iklan rekruitmen relawan Peace Corps tahun 1990 yang saya terjemahkan secara bebas. Peace Corps adalah lembaga relawan terbesar di Amerika Serikat yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961, dengan maksud “Memberikan kesempatan kepada anak muda Amerika mempraktikkan pendidikannya serta mengembangkan diri dalam kerangka misi perdamaian bersama anak-anak muda di negara lain”. Program ini merupakan program Pemerintah Amerika Serikat dalam kerangka memberikan pendampingan dan bantuan kepada negara-negara sedang berkembang pasca Perang Dunia II, dimana banyak negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, serta negara-negara sedang berkembang lain di Amerika Selatan.

Para Sahabat Alkitab, mari kita  sejenak mengenal organisasi Peace Corps ini. Antara tahun 1960-an hingga akhir 1990-an peran para relawan Peace Corps ini cukup signifikan bagi negara-negara sedang berkembang. Peran mereka bersama mitra Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat dalam membangun, mengembangkan serta memberdayakan kelompok masyarakat yang mereka dampingi cukup nyata, walaupun tetap saja ada kritik mengenai kiprah mereka. Di Amerika Serikat sendiri para alumi Peace Corps mendapat nilai lebih ketika mereka melamar pekerjaan sepulang mereka menjalankan tugas relawan selama dua tahun atau lebih. Pengalaman hidup dan berkarya di negara asing dengan bahasa dan budaya yang berbeda dengan fasilitas yang minim namun harus mampu mengatasi masalah adalah aset tambahan yang sangat berharga yang didambakan perusahaan sebagai pelengkap ilmu yang didapat dari sekolah. Aset lain yang sangat dihargai dari pengalaman sebagai relawan Peace Corps adalah berkembangannya kepemimpinan yang tumbuh secara alami selama yang bersangkutan berkarya sebagai relawan. Kemampuan yang tumbuh secara alami untuk membuat perencanaan, menyusun strategi, melaksanakan dan mengorganisasikan kelompok masyarakat yang mereka dampingi, menyelesaikan masalah dalam kondisi minim fasilitas serta mampu memanfaatkan sumber-sumber daya dan kearifan lokal. Keterampilan dan kapasitas yang berkembang yang tidak didapat dari ruang-ruang kelas di sekolah.  

Ketika membaca iklan tersebut di atas ada hal yang membuat saya merenung lebih lanjut ,lebih-lebih lagi saat ini kita sudah memasuki masa-masa Adven. Saya termenung mengingat  kalimat yang menantang dalam iklan di atas, “Tinggal dan hidup dalam lingkungan budaya yang berbeda, belajar bahasa yang baru”, lalu tentang membangun, mengembangkan dan memberdayakan masyarakat yang mereka dampingi. Saya jadi teringat Sang Guru Kita. Bukankah Kristus rela berinkarnasi menjadi manusia, blusukan dan hidup diantara manusia yang memiliki bahasa serta budaya yang berbeda, untuk memberi “petunjuk-petunjuk hidup baru” agar kita tumbuh, berkembang serta terberdayakan dalam sebuah misi perdamaian? Yesus sendiri berkata, seperti dicatat oleh Yohanes, “Aku datang supaya mereka hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” [Yohanes 10:10b]. Dalam ungkapan bahasa Inggris makna penggalan ayat ini dapat dirumuskan dalam sebuah  idiom singkat, “I want you not to get rich, but to live rich”. Tuhan ingin agar kita memiliki hidup yang kaya pengalaman dan menghayati nilai-nilai kehidupan, bukan hanya demi kaya harta.

Meneladani karya Yesus yang melintasi batas-batas budaya dan bahasa, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) juga mengemban misi serupa yang juga merupakan misi bangsa dan negara, yakni menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah. LAI juga melakukan upaya perbaikan kehidupan masyarakat melalui kursus literasi berbasis Alkitab melalui program Pembaca Baru Alkitab, yakni mengajarkan membaca, menulis, berhitung kepada mereka yang tinggal di pelosok dengan menggunakan Alkitab sebagai bahan ajar. Menyebarkan Alkitab dan bermisi hingga ke pelosok negeri. Dan kesemuanya itu dikerjakan oleh para relawan. Tentu saja dengan supervisi Tim Ahli dari LAI.

Ketika hendak mengakhiri tulisan ini, sayup-sayup terdengar suara seorang oma sedang asyik bersenandung, “Sinterklaas kapoentje. Gooi wat in mijn schoentje, leg wat in mijn laarsje. Dank u Sinterkbhlaasje!” (Sinterklaas yang kusayangi. Lemparkan sesuatu kedalam kaus kaki kecilku, berikan sesuatu dalam sepatu kecilku. Terima kasih Sinterklaas). Ternyata oma relawan yang fasih berbahasa Belanda itu sedang mengenang masa kecilnya saat memperingati Hari Sinterklaas (St. Nicholas, santo pelindung anak-anak) menurut tradisi Belanda. Menurut tradisi tersebut Sinterklaas yang adalah seorang uskup berjubah merah lengkap dengan topi keemasan dan tongkat jabatan serta berkuda putih memberikan hadiah kepada anak-anak setiap tanggal 5 Desember yang bertepatan dengan Hari Relawan Internasional. Gambaran keteladanan kerelawanan yang melayani ini tentu saja berbeda dengan gambaran seorang tua lucu yang berteriak “ho-ho-ho-ho” yang telah mengambil alih peran sentral Yesus dalam perayaan Natal masa kini. Peran perdamaian dan lintas budaya yang dilakukan Kristus serta kerelawanan Yesus yang tersalib telah diambil alih oleh figur fiksi rekacipta seniman periklanan di Madison Avenue, New York yang mewakili budaya pop bin konsumtif. Ho-ho-ho-ho… Ironik.


Pdt. Sri Yuliana