MENYINGKAP “SANDI-SANDI” DARI ALLAH

MENYINGKAP “SANDI-SANDI” DARI ALLAH


 Dini hari, gelap, berkabut, petugas jaga sebuah sebuah kapal tanker raksasa (ULCC: Ultra Large Crude Carrier) melihat kilatan lampu di kejauhan dan melihat sebuah titik tidak bergerak di layar radar. Segera saja petugas tersebut meraih mikropon radio dan mengirim pesan, “Di sini MV Oceania, tanker terbesar di dunia, mohon kapal di depan berbelok ke kiri 15 derajat”. Sepi. Tak ada jawaban. Pesan itu tidak mendapat tanggapan. Pesan itupun diulangi hingga tiga kali. Barulah kemudian muncul jawaban, “MV Oceania, Anda harus berbelok ke kanan 15 derajat karena di sini adalah Mercusuar di Bishop Rock”. Kisah ini memang sebuah fiksi, namun ada pesan yang tersirat, “pahamilah pesan yang disampaikan”. Sebuah mercusuar menyampaikan pesan melalui isyarat cahaya, “nyala-padam-nyala-padam” dengan interval tertentu dan durasi tertentu, bahkan dengan warna berbeda-beda. Setiap mercusuar mempunyai kodenya sendiri dan setiap pelaut yang bertugas di anjungan harus memahami kode-kode ini.

Dalam teori komunikasi dijelaskan bahwa sebuah isyarat tidak mengadung pesan apa-apa, jika ia tetap dalam keadaannya. Ia baru mengandung pesan jika isyarat itu mengalami perubahan. Misalnya untuk isyarat cahaya dari gelap menjadi terang. Itu mengandung pesan. Sebaliknya jika cahaya itu terus terang dan terang terus, itu tidak mengandung pesan, kecuali menjadi tagline iklan lampu yang melegenda! Atau gelap terus-menerus, yang juga tidak bermakna apa-apa. Tetapi ketika cahaya itu berubah-ubah dari gelap menjadi terang dan berubah menjadi gelap dan seterusnya isyarat itu bisa mengandung pesan. Prinsip inilah yang kemudian oleh Samuel Morse menjadi dasar penciptaan “Sandi Morse”.

Untuk memahami Sandi Morse tidaklah mudah. Bagi sebagian orang itu sukar. Pada zaman dahulu Sandi Morse harus dipahami oleh petugas komunikasi di kapal, stasiun kereta api atau kantor telegram untuk diterjemahkan menjadi pesan atau bahasa yang dipahami oleh penerima pesan secara cepat dan jelas, dalam hal ini kapten kapal, kepala stasiun kereta api, penerima pesan telegram. Jadi prinsip kedua dalam komunikasi yang kita dapatkan  dari uraian ini adalah “Sampaikan pesan dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan”.

Mengenai hal ini, Para Bapa Iman kita sepertinya sudah sangat memahami prinsip-prinsip komunikasi. Terbukti pada Abad ke 3 SM, para Bapa Iman kita membentuk “Tim 70” yang terdiri dari ahli-ahli bahasa untuk menerjemahkan Alkitab Yahudi atau yang kita kenal sebagai Perjanjian Lama dari Bahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani Koine, bahasa yang menjadi “bahasa perdagangan/bahasa sehari-hari (lingua franca)” di sekitar Laut Tengah/Mediterania, agar isi kitab itu dipahami oleh orang banyak. Pada abad ke-4, Gereja juga memutuskan untuk menerjemahkan Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) ke dalam Bahasa Latin, lingua franca Imperium Roma-Bizantium. Demikian juga John Wycliffe dan kawan-kawan mencoba menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Inggris, serta John Huss mencoba menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Bohemia pada abad ke-14. Upaya Wycliffe dan Huss disebut sebagai upaya reformasi yang mendahului zamannya, sekitar seabad sebelum era Luther, Calvin dan Zwingly. Era Reformasi Gereja dan penemuan mesin cetak oleh Gutenberg membuat era baru di mana Alkitab mulai diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa, diterbitkan dan dapat dimiliki oleh orang awam, serta dipahami dalam bahasa yang mereka pahami dan mengerti artinya. Mereka berusaha menyikap “sandi-sandi” yang Allah kirimkan melalui firman-Nya.  

Tuhan Yesus berkata, seperti dicatat oleh Lukas dalam Injil Lukas 24: 47, “. . . berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem”. Untuk konteks Indonesia, itu berarti bahwa firman Tuhan harus disebarkan kepada semua suku bangsa. Namun menyebarkan Alkitab saja belum cukup. Alkitab harus diterjemahkan dalam bahasa yang dapat dimengerti masyarakat setempat. Artinya, selain dalam bahasa Indonesia, diperlukan juga Alkitab dalam bahasa daerah agar berita pertobatan dan pengampunan dosa benar-benar dipahami dan dihayati oleh para pembacanya.

Persoalannya, berdasarkan data Kemendikbud, pada tahun 2018, jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia berjumlah 668 bahasa daerah, dan hasil pemutakhiran pada 2019 tercatat ada 801 bahasa daerah. Begitu banyaknya bahasa daerah di negara kita ini. Sementara penerjemahan Alkitab lengkap ke dalam sebuah bahasa daerah memerlukan waktu yang tidak pendek, sekitar 15 hingga 20 tahun. Bayangkan, kapan selesainya penerjemahan Alkitab ke dalam seluruh bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Dari Jakarta, Sabang, Merauke, Miangas, hingga Rote, kesanalah panggilan kita untuk meyampaikan berita tentang pertobatan dan pengampuan dosa dalam bahasa yang dimengerti umat. “Sampaikan pesan dalam bahasa yang dipahami oleh penerima pesan” yang adalah prinsip dalam ilmu komunikasi menjadi landasan penting bagi lembaga-lembaga penerjemahan Alkitab. Alkitab itu laksana sekumpulan “sandi-sandi” dari Allah kepada umat-Nya. Untuk dapat menangkap pesan Allah kita harus menyingkap dan mengurainya hingga kita menemukan pesan dari Tuhan. Bagaimana caranya? Seperti sandi Morse hanya dapat dipahami oleh orang yang tahu sandi itu. Isyarat dari Tuhan hanya dapat bermanfaat bagi mereka yang mengerti pesan yang disampaikan melalui isyarat tsb. Oleh karena itu Alkitab harus diterjemahkan, sandi-sandi harus dipecahkan, supaya umat manusia dapat memahami dan menangkap jelas pesan yang disampaikan Tuhan melalui firman-Nya. --. --- -.. .-.. --- ...- .  -.-- --- ..- Jika Saudara dapat membaca sandi ini, Saudara akan mengatakan “Amin”.

Pdt. Sri Yuliana