Pdt. Aristarchus Sukarto: Sang Good Leader

Pdt. Aristarchus Sukarto: Sang Good Leader

 

Ketika kecil tidak pernah terbayang nantinya ia akan menjadi seorang pendeta. Memang ada harapan di hati Aristarchus suatu ketika ingin menjadi seorang tokoh masyarakat. Harapan ini tumbuh  karena banyak dari keluarga besarnya yang bergerak di bidang kemasyarakatan. Terlebih lagi, Bapak dari Aristarchus seorang guru, dan sekaligus tokoh masyarakat di desanya. 

Setelah lulus sekolah menengah, Aristarchus melanjutkan studi ke Fakultas Hukum, Universitas Satya Wacana(UKSW), Salatiga. Ia berharap suatu saat bisa menjadi hakim. Dalam dirinya muncul dorongan untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Dorongan tersebut tidak muncul begitu saja. Ada beberapa peristiwa di mana keluarganya mengalami perlakuan tidak adil di dalam hukum. Sementara aparat pada masa itu jarang yang bertindak benar dan adil.  

Ada semacam dendam di hati. Dirinya mau belajar ilmu hukum agar nantinya saya bisa membalas perlakukan tidak adil tersebut. Namun peristiwa politik 1965 mengguncang batin Aristarchus. Ia pun menimbang kembali pilihan menjadi hakim. 

“Karena aparat kehakiman pada masa itu pun ternyata tunduk di bawah kekuasaan militer,”kenangnya. 

Mencari jalan damai kehidupan

Pada saat yang sama, Aristachus bergumul tentang hakikat kemanusiaan dan mencari jalan damai kehidupan. Ia pun mulai belajar dari berbagai sumber ajaran kedamaian. Nilai-nilai luhur dari berbagai agama dan aliran kepercayaan mencoba ia renungkan dan pelajari. Termasuk Kitab Suci agama Kristen ia pelajari.

Di tengah masa kuliah dan pencarian jati diri tersebut, beberapa teman Kristen di UKSW mengajaknya terlibat pelayanan sosial. Kegiatannya adalah melawat dan mengunjungi janda-janda miskin di Salatiga. Para janda ini begitu kekurangan, sehingga setiap hari hanya makan jamur kuping. Kelompok mahasiswa ini juga mengadakan aksi bakti sosial untuk orang-orang miskin yang tidak mampu berobat dan berbagai kegiatan sosial yang lain. Kegiatan tersebut secara tidak sengaja membawa Aristarchus ke dalam lingkungan persekutuan kristiani. 

“Tadinya saya sering melecehkan teman-teman yang terlibat dalam persekutuan tersebut. Namun setelah melihat aksi pelayanan sosial dan kepedulian mereka saya justru malah akhirnya tertarik untuk mengenal Yesus dan ikut dalam persekutuan Kristen,”kata Aristarchus.

Panggilan pelayanan kemanusiaan ini pula yang nantinya selalu menjiwai batin Aristarchus saat menjalani panggilan sebagai pendeta jemaat. 

“Saya senantiasa ingin hidup dekat dengan warga jemaat saya. Mengetahui dari dekat pergumulan-pergumulan mereka. Bahkan sekiranya memungkinkan ikut membantu mencarikan jalan keluar permasalahan-permasalahan hidup umat,”tegasnya.  




Mendaftar Sekolah Teologi sebelum dibaptis

Meski sudah mulai rajin ikut persekutuan dan ibadah, hingga studi sarjana mudanya selesai Aristarchus belum juga menerima baptisan. Bahkan, sampai ia mendaftarkan diri kuliah di Sekolah Tinggi Teologi Duta Wacana. Padahal baptisan menjadi syarat utama bagi calon mahasiswa teologi. Maka setelah mengikuti pendaftaran dan tes masuk, Aristarchus mengajukan diri untuk dibaptis di Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI). 

Saat hasil tes diumumkan, Aris sempat ciut. Namanya tidak tertera nama dalam daftar mahasiswa fakultas teologi yang diterima. Ternyata ia lulus tes. Namanya ditulis legkap dengan nama baptis. Sementara karena baptisan itu belum lama terjadi, ia belum terlalu familiar dengan nama baptisnya tersebut. 

Tentang nama baptisnya yaitu Aristarchus, ternyata bukan merupakan pilihannya sendiri. Yang memilihkan nama Aristarchus itu adalah pendetanya. 

“Padahal pendeta saya ketika memilihkan nama baptis tersebut juga belum tahu artinya. Setelah saya mulai mendalami teologi dan belajar bahasa Yunani, saya baru tahu arti sesungguhnya dari nama Aristarchus tersebut adalah: good leader!” jelas Aristarchus sambil tersenyum. 

Dari kecilnya Aristarchus terlatih mandiri. Terlebih ketika ia menetapkan jalan hidup untuk belajar teologi. Ia harus mencukupi semua kebutuhan hidupnya sendiri. Ia tidak mungkin berharap bantuan dan dukungan dari keluarganya. 

“Selama studi teologi saya berjuang dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan studi saya sendiri. Kadang jadi sopir, membantu mengajar, bahkan pekerjaan memotong rumput pernah saya lakukan. Sering juga saya mengantar turis ke tempat-tempat wisata,”katanya.  Meski banyak tantangan yang mesti dihadapi, kuliahnya berjalan lancar.

Selesai studi sarjana teologi, dirinya ingin segera dipanggil dan diangkat menjadi pendeta. Sebuah keinginan yang wajar, mengingat sejak di Salatiga —sebelum dirinya dibaptis—, Aristarchus sudah terbiasa dan terlatih mendampingi  umat.

“Sejak di Salatiga, saya sudah sering diminta berkhotbah, bahkan memimpin katekisasi,”katanya.

Namun, harapan dan kenyataan tidak selalu sejalan. Latar belakang gerejanya —Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI)—, yang injili dan konservatif, sering menganggap lulusan UKDW pada masa itu beraliran liberal.

“Sebagai lulusan UKDW saya diklasifikasikan sebagai manusia beraliran liberal. Terlebih lagi semenjak menjadi mahasiswa fakultas hukum, telah terbentuk pola pikir kritis dalam diri saya. Saya tidak mudah untuk menerima begitu saja setiap pelajaran atau aturan,”terang Aristarchus. 

Di tengah kesulitan penerimaan dari gereja, seorang dosennya di UKDW, melihat semangat dan kemandiriannya yang tinggi. Sang dosen menyarankannya untuk mengambil studi lanjut terlebih dahulu. Pilihannya ada dua tempat: di Selandia Baru dan Chicago, Amerika Serikat. Namun, dosennya tersebut juga memberi masukan bahwa warga jemaat di Selandia Baru lebih ramah dan terbuka dibanding Chicago. 

“Saya ragu memilih Chicago, karena saya sempat melihat tayangan film bioskop “The Godfather”, film tentang kehidupan keluarga mafia di Amerika terutama Chicago. Tayangan itu membuat hati saya merasa kecut. Maka saya kemudian memilih melanjutkan studi ke Otago University, di Selandia Baru. Pandangan dosen saya ternyata benar, umat Tuhan di Selandia Baru lebih ramah dan terbuka. Sehingga saya di sana bisa menjalani studi sambil bekerja dan terlibat berbagai kegiatan jemaat di sana,”kenangnya.  

Sepulang dari Selandia Baru, Aristarchus ditahbiskan menjadi pendeta di GKMI dan kemudian melayani sebagai pendeta jemaat. Di sisi lain, ternyata melalui studi lanjut, Aristarchus dipersiapkan UKDW sebagai calon tenaga pengajar fakultas teologi. Hanya saja kesempatan membagikan ilmu sebagai pengajar tersebut sulit terjadi. Karena gerejanya, GKMI, bukanlah gereja pendukung UKDW. 

Namun Aristarchus tidak menyerah. Dalam sidang raya Sinode GKMI, Aristarchus memohon kesempatan untuk berbicara dan memberi penjelasan tentang manfaat dan keuntungan jika sinode GKMI mendukung pendidikan teologi, dalam hal ini UKDW.

Penjelasan Aristarchus mendapat dukungan salah satu senior Sinode GKMI, Pdt. Albert Wijaya, yang pada masa itu juga aktif dalam kepengurusan PGI. Akhirnya sidang memutuskan untuk memberi dukungan kepada UKDW. Pdt. Aristarchus Sukarto akhirnya menjadi utusan pertama GKMI yang menjadi tenaga pengajar di UKDW. 

Selalu mengandalkan Tuhan

Sebagai seorang hambat Tuhan, sejak lama Aristarchus belajar untuk mengandalkan Tuhan dalam kehidupannya. Sejak terlibat berbagai pelayanan dan persekutuan di Salatiga, ia dan kawan-kawannya, sering melihat kuasa Tuhan bekerja melalui beragam cara. Bukan dengan bermalas-malasan ataupun sekadar bertopang dagu. 

“Saya meyakini, kuasa Tuhan hadir ketika kita juga berjuang dan bekerja. Bukan ketika kita menaikkan doa kemudian langsung beroleh jawaban. Namun saat saya mulai tergerak dan berkarya, di situ keajaiban Tuhan seringkali tiba,” katanya.

Penyertaan Tuhan begitu sering ia saksikan. Melihat gereja yang tadinya hanya jemaat kecil tiba-tiba bertumbuh dengan pesat. Kesaksian orang-orang yang mengalami mujizat dan sebagainya. 

“Juga ketika saya menempuh studi teologi. Saya menjalaninya tanpa bekal dan dukungan, namun saya merasakan pimpinan dan penyertaan Tuhan tersebut,” kata Aristarchus. 

“Sembari menjalani kuliah teologi, saya terlibat perintisan dua gereja GKMI di Yogyakarta. Ada sesuatu yang saya yakini dan pegang, kuasa Tuhan bekerja ketika kita juga memiliki semangat dalam bekerja,”lanjutnya. 

Masih dalam kepercayaan akan pimpinan Tuhan, beberapa tahun kemudian, Aristarchus dipercaya untuk melanjutkan studi S3 di Lutheran School of Theology di  Amerika. Ia mengambil studi ilmu misiologi, bukan bidang keilmuan biblika yang sebelumnya telah ia tekuni. Diakuinya itu merupakan sebuah “kecelakaan”, namun tidak lepas dari kehendak Tuhan dan kebutuhan UKDW. 

Aristarchus berangkat dalam keadaan boleh dikatakan serba pas-pasan. Namun karena sudah terbiasa hidup sederhana dan mencukupkan diri dalam segala hal ia tetap menjalaninya dengan penuh sukacita. Jika dulu ketika berangkat ke Selandia Baru Aristarchus berangkat sendiri, saat menempuh studi doktoral ke Amerika ia membawa serta keluarganya.

Menjadi Rektor dalam situasi sulit

Sepulang dari Amerika, Aristarchus sebenarnya ingin mendalami ilmunya sebagai seorang teolog  dan mendarmabaktikan diri sebagai pengajar. Pada saat yang bersamaan UKDW sedang dalam kondisi defisit. Banyak mahasiswa yang keluar dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi lain. Situasinya sulit. Dalam keadaan baru pulang dari luar negeri, belum sempat beradaptasi, menata rumah tangga dan sebagainya, Aristarchus diminta menjadi rektor UKDW. 

“Saya sempat merasa keder (ragu-ragu) juga. Tetapi kemudian setelah saya mengambil waktu berpikir, saya menyatakan diri bersedia menerima tantangan tersebut,”katanya. Aristarchus prihatin melihat rekan-rekan sekerjanya di UKDW pada masa itu kesejahteraannya kurang memadai. 

“Baik pengajar maupun pegawai-pegawai UKDW, pakaiannya yang dikenakannya tampak kurang bagus. Mereka datang ke kantor juga dengan suasana batin yang tidak happy,”lanjutnya.

Maka Aris pun merancang berbagai upaya awal untuk memperbaiki kondisi UKDW tersebut. Sedari menyatakan diri bersedia menjabat rektor, Aristarchus sudah mencanangkan dalam diri semangat untuk berdikari(berdiri di atas kaki sendiri). Ia mengajak jajaran civitas akademikanya menjauhkan diri dari semangat lama untuk selalu minta-minta kepada gereja donor di Barat. 

“Kesannya kalau kita berdoa, “ Bapa kami yang ada di Den Haag…” Harusnya gereja-gereja pendukung UKDW memiliki semangat memberi, menopang UKDW dengan sepenuh hati,”tegasnya. 

Selain mengajak gereja-gereja lokal pendukung UKDW mengambil peran lebih, Aris juga mengajarkan seluruh civitas akademika untuk meningkatkan kerja keras. Ini didasarkan oleh pemahamannya sedari awal mengikut Kristus. Tuhan pasti akan menolong umatnya yang mau berjuang dan bekerja keras. Pelan namun pasti keadaan UKDW membaik. Aristarchus menjabat rektor UKDW selama dua periode (1994-1998 dan 1998-2002). Kini UKDW menjadi salah satu perguruan tinggi yang terus berkembang dan mulai diperhitungkan dalam kualitas keilmuannya. 

Selepas menjadi rektor UKDW, Aristarchus dipercaya menjadi Ketua Sinode GKMI (2004-2009), dan di tengah perannya sebagai Ketua Sinode dan dosen UKDW, Aristarchus juga dipercaya menjadi pengajar tidak tetap Paska Sarjana, Universitas Gajah Mada (2004-2007). 

Setelah dari UKDW, Universitas Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta mempercayainya untuk menjadi rektor selama dua periode(2007-2011 dan 2011-2016). Permasalahan awalnya hampir-hampir mirip, di mana perguruan tinggi tersebut dalam kesulitan keuangan ketika beliau masuk. Berbagai langkah efisiensi dan pembaruan pun dilakukannya. Termasuk meminta komitmen dan dukungan lebih dari para penopang Yayasan. Pelan tapi pasti kondisi Ukrida membaik. 

Pada awal tahun 2018, Lembaga Alkitab Indonesia(LAI) menawari Aristarchus Sukarto untuk bergabung sebagai salah satu Ketua Pengurus dari yayasan tersebut. Agaknya pengalaman panjangnya sebagai seorang “reparator” yang selalu optimis menjadi salah satu alasan. Terlebih LAI juga di tengah masa-masa perubahan antara era cetak dan era digital. Banyak penerbitan di Indonesia gulung tikar ketika tidak bisa bersiap menghadapi era digital yang serba cepat dan gratisan. 

“Waktu saya diminta oleh LAI untuk bergabung dalam kepengurusan, sebenarnya masih banyak hal yang saya tangani. Dari dunia pendidikan, keperawatan, juga pelayanan gereja. Namun, akhirnya saya bersedia untuk ikut melibatkan diri,”katanya. 

Sebagai orang yang lama bergelut dengan ilmu biblika, awalnya Aristarchus hanya mengenal LAI sebagai lembaga yang menerjemahkan dan menerbitkan Alkitab. Ia dengan jujur mengakui, dulunya merasa jauh dengan LAI. Kemudian setelah Aristarchus mulai melibatkan diri, dirinya mulai berpikir. Jika ia yang mendalami biblika saja merasa jauh dengan LAI, bagaimana dengan orang yang benar-benar awam? 

Berdasarkan pengalamannya sebagai pendeta maupun pengajar, gereja-gereja dan lembaga-lembaga kristiani di Indonesia sering tergantung pada topangan luar negeri. Akibatnya, gereja dan lembaga kristiani justru menjadi lemah karena terbiasa disokong atau ditopang donor luar. Tidak sadar potensinya sendiri. Aristarchus melihat LAI situasinya mirip.

“Yang utama adalah merubah paradigma pelayanan dan organisasi. Saya yakin jika LAI menyadari potensinya LAI akan mampu survive dan bahkan berkembang,”tegasnya. 

Aristarchus juga memandang Alkitab yang diterbitkan oleh LAI sebagai identitas bersama umat Kristen Indonesia. Aristarchus menggambarkan seperti dirinya sebagai orang Jawa. Sebagai orang Jawa tentu harus memiliki pemahaman, pengetahuan, perilaku yang sesuai budaya Jawa. 

“Sebagian besar nilai-nilai Jawa saya warisi dari orang tua saya, sebagian lagi saya peroleh melalui lingkungan maupun buku-buku yang saya baca,” terangnya. 

“Sebagai orang Kristen, darimana kita mendapatkan penuntun dan sumber nilai-nilai hidup kita? Identitas dan nilai-nilai hidup kekristenan, tentu kita peroleh dari Alkitab sebagai sumbernya,” katanya.

“Meskipun saya orang Jawa, namun karena saya sekaligus seorang Kristiani, maka Alkitab merupakan sumber identitas hidup saya. Sumber ini harus dapat kita jadikan pegangan dan penuntun bersama, lanjutnya. 

Karena itu Aristarchus memandang Alkitab tidak boleh diterjemahkan dan dicetak sembarangan. Karena bisa menimbulkan kekacauan dan suasana yang tidak teratur. LAI memiliki fungsi terbesar dan terberat pada titik tersebut. LAI harus menegaskan perannya sebagai penjaga gawang kualitas terjemahan Alkitab yang menjadi sumber nilai-nilai hidup umat Kristiani. 

Saat ditanyakan kembali, apa sebenarnya impian utama atau misi hidupnya terkait pelayanan, Aristarchus menjawab panjang. 

“Setelah banyak hal saya jalani, saya  semakin terpanggil untuk mendukung dan membantu tiap orang, atau lembaga menyadari dan mau membuka potensinya,”terangnya. 

“Alkitab sendiri menjadi saksi akan semua hal tersebut. Sedari kisah penciptaan, sedari awal kisah-kisah Kitab Suci Allah kita senantiasa adalah Allah yang mencipta, yang berkarya dan terus berprakarsa.Sedari awal juga harus disadari, Allah menciptakan manusia secara khusus, dicipta segambar dan serupa dengan Allah. Itu merupakan potensi dasar manusia yang sungguh luar biasa. Selanjutnya dalam Kejadian pasal dua, ada hal luar biasa yang dinyatakan. Allah menciptakan manusia, kemudian Allah mempercayakan kepada manusia untuk memberi nama makhluk-makhluk ciptaan-Nya,” lanjut Aristarchus.  

Pak Aris menyimpulkan, kita diangkat sebagai partner Allah dalam rangka mengembangkan potensi sepanjang hidup kita. Pak Aris melihat banyak orang memiliki mental priyayi, mental pegawai yang pola pikirnya senantiasa ingin menerima, ditentukan, diatur dan hidupnya tergantung. Orang-orang seperti itu tidak pernah bisa mandiri.  

Aristarchus dalam usianya yang sudah mulai lanjut tetap memiliki kesibukan yang tinggi. Pelayanannya tersebar di berbagai lembaga dan organisasi. Tentang bagaimana caranya mengatur waktu di tengah kesibukannya yang tinggi tersebut, Aristarchus meyakini kuncinya hanyalah kepasrahan kepada Tuhan. 

“Saya memiliki prinsip hidup untuk senantiasa berserah kepada Tuhan. Selain dari itu, saya termasuk orang mono tasking, misalkan saya sedang berkarya di LAI maka saya akan fokus berpikir dan melayani untuk LAI. Demikian juga ketika saya di Ukrida, saya hanya fokus dengan pekerjaan-pekerjaan saya di Ukrida,”jawabnya. 

Ia pun menjelaskan prinsip hidupnya demikian,”Setiap malam, setibanya saya di rumah, saya tinggalkan semua pikiran tentang pekerjaan. Semua karya pelayanan kembali saya serahkan kepada Tuhan. Agar saya dapat beristirahat dengan tenang dan esok harinya saya memperoleh kesegaran baru untuk dapat memikirkan kembali berbagai karya pelayanan.”

Pak Aristarchus meyakini pagi hari merupakan saat yang tepat untuk merencanakan berbagai hal yang akan kita lakukan sepanjang hari. Baginya hidup ini bukan sekadar membagi waktu, namun juga perjuangan menjaga kesehatan dan menata ketenangan batin dan pikiran. 

Memang disadarinya pula, karena kesibukan pelayanannya yang tinggi waktunya di rumah bersama keluarga menjadi berkurang. Sambil merenung ia pun mengakui keterbatasannya tersebut.

“Ini boleh dikatakan kelemahan atau kekurangan saya. Anak-anak saya menyatakan hal itu tidak menjadi masalah. Tapi saya tahu mereka kurang perhatian dari saya. Namun kekurangan saya tersebut banyak ditutupi oleh istri saya,” katanya pelan. 

“Namun, saya juga mengajarkan pola berpikir baru kepada mereka bagaimana ada saat-saat mereka perlu saya dampingi, ada juga waktu di mana mereka harus mandiri secara penuh. Saya boleh dikatakan memiliki waktu mendampingi anak-anak saya secara penuh saat saya melanjutkan studi di Chicago, di mana keluarga saya ikut serta. Pada saat itu anak-anak menempuh pendidikan dasar di sana,” lanjutnya.

Pernah anak-anak Pak Aris mengeluh. Mereka protes kepada ayahnya. Banyak orang lain dibantu Pak Aris mendapatkan bea siswa. Mengapa anak sendiri tidak dibantu? 

“Maka saya memberi penjelasan, bagaimana kita harus memiliki dorongan dan semangat untuk berbagi, menolong orang yang lebih membutuhkan,”katanya

“Mereka bisa memahami. Saya bersyukur, sekarang semua sudah selesai dengan pendidikan mereka, dan sudah berkeluarga. Satu orang tinggal di Singapura, bekerja di Rumah Sakit General Hospital, yang satu lagi Rumah Sakit Mitra, lulusan dari Universitas Maranatha,”lanjutnya. 

Kebiasaannya untuk menolong orang mendapatkan beasiswa didukung jaringan yang tersebar di seluruh tanah air. Pak Aristarchus menyatakan jaringannya ini sebenarnya adalah jaringan persahabatan yang saling menopang. 

“Ada masa-masa saya memperhatikan, menolong dan menopang sahabat-sahabat saya. Demikian juga sebaliknya,” terangnya.  

Pak Aris menyatakan di manapun kita berkarya kita harus merasa bahagia, happy, berserah kepada Tuhan. Perasaan happy tersebut tercermin melalui wajah yang penuh suka cita dan cerah. Perasaan bahagia juga terlihat dalam komunikasi yang ramah dan menyenangkan. Pak Aris memandang, hal itu perlu kita perjuangkan bersama.  Pak Aris memiliki keyakinan bahwa sekiranya kita bekerja keras, Tuhan pasti pelihara kehidupan kita. 

Namanya Aristarchus artinya adalah: good leader. Nama yang tepat. Karena ia memang seorang pekerja yang tekun dan hidupnya senantiasa berserah kepada Tuhan. (keb)