Pdt. (Em.) Barend F. Drewes: Alkitab Dalam Kehidupan Saya

Pdt. (Em.) Barend F. Drewes: Alkitab Dalam Kehidupan Saya

Pdt. (Em.) Barend F. Drewes: Alkitab Dalam Kehidupan Saya

 

Alkitab mulai saya kenal melalui beberapa saluran. Waktu saya kecil, ada kebiasaan rutin dalam keluarga saya. Bapak saya akan membacakan sebagian dari isi Alkitab sesudah makan malam. Kadang-kadang ibu juga membacakan ceritera dari Alkitab untuk anak-anaknya. Inilah awal perkenalan saya dengan Kitab Suci. Kemudian saat duduk di Sekolah Dasar Kristen, saya memulai tiap hari dengan membaca dan kemudian menceritakan sebagian dari isi Alkitab. Inilah tahap berikutnya. Dengan demikian, saya mulai mengenal lebih dalam Adam dan Hawa, Nuh, Simson, Ayub dan tentu cerita-cerita mengenai Tuhan Yesus dan Rasul Paulus. Hal ini dikemukakan dengan tekanan historis. Apa yang dikemukakan dalam Alkitab dianggap seratus persen historis. Misalnya, saya menganggap bahwa Yunus memang pernah ditelan ikan besar.

Pada tahun 1949, waktu saya meninggalkan SD itu, sekolah itu memberi Alkitab lengkap, PL dan PB. Alkitab ini pada dasarnya adalah revisi terjemahan dari abad ke-17 (Terjemahan baru dari Alkitab terbit kemudian, pada tahun 1951). Tiap murid menerima nas tertentu. Nas yang tercatat dalam Alkitab saya adalah 1 Tesalonika 5:24  “Ia yang memanggil kamu adalah setia”. Suatu ayat yang memang pada masa-masa tertentu dalam hidup saya mempunyai arti yang mendalam dan khas.

Waktu saya menjadi mahasiswa teologi di Amsterdam, saya sangat tertarik kepada cara Perjanjian Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Martin Buber dan Franz Rosenzweig, dua ahli Yahudi. Mereka menekankan bahwa cara cerita-cerita tersusun sangat erat berkaitan dengan pesan yang mau disampaikan. Misalnya, ada bagian Alkitab di mana istilah tertentu muncul berulang kali. Sangat mungkin bahwa pengulangan istilah itu mau mengemukakan atau menekankan kabar tertentu. Waktu saya membaca, misalnya Kejadian 22:1-19 (“Kepercayaan Abraham diuji”), sangat mengesankan bahwa nama diri Abraham dicatat sampai tujuh belas kali, dan kata “anak” (harfiah “anak laki-laki”) ditulis sampai sepuluh kali. Jadi, tekanan terletak pada Abraham yang dipanggil untuk mempersembahkan anaknya yang tunggal, dengan perkataan lain: mempersembahkan hari depannya! Hal itu terjadi sesudah pergumulan yang begitu lama (Kejadian 15–21) untuk memperoleh anaknya, Ishak, demi hari depan perjanjian antara TUHAN dan Israel.

Dalam Kejadian 22 ini, kita juga menemukan susunan perangkuman (atau “inklusio”). Perangkuman berarti bahwa satu rumusan dipakai sampai dua kali dalam perikop tertentu, sedangkan makna atau arti dari rumusan yang diulangi diterangkan di antara kedua rumusan itu. Dalam Kejadian 22:6b dan ayat 8b kita menemukan perangkuman dalam perkataan, “Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama”.  Bagaimana mereka berjalan bersama-sama?   Inilah yang diterangkan di tengah ay. 6b dan 8b itu. Ada tanya jawab antara anak Ishak dan bapak Abraham, tentang “di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?”

Kembali kepada ayat-ayat mas dalam hidup saya. Sebelumnya saya sudah mencatat 1 Tesalonika 5:24. Ada juga perikop mas bagi saya, yaitu Matius 14:22-33. Bagian ini tidak hanya mengenai “Yesus berjalan di atas air” – demikianlah judulnya dalam Alkitab kita – melainkan juga mengenai Petrus yang berjalan di atas air (untuk memahami makna perikop ini, kita perlu mengingat makna air dan laut dalam Perjanjian Lama, sebagai kekuatan yang kacau dan mengancam, yang dikuasai, bahkan ditaklukkan oleh Allah. Lihat misalnya Ayub 9:8, mengenai Allah “yang melangkah di atas gelombang-gelombang laut”). Dalam bagian Matius 14 itu, Petrus mengikuti panggilan Yesus, “Datanglah” (ayat 29). Namun, ketika ia mengikuti panggilan Yesus, ia mulai takut dan tenggelam. Ia melihat bahwa ketika ia mengikuti Yesus ada bahaya, ada tiupan angin. Inilah yang sering menjadi kenyataan dalam mengikut Tuhan Yesus. Apa yang bisa kita perbuat?  Pasti, berseru seperti Petrus, “Tuhan, tolonglah aku!” Saat  itu Yesus mengulurkan tangan-Nya dan  bertanya “mengapa engkau bimbang?” Itu terjadi ketika laut dan angin belum reda! Kemudian, angin pun redalah.... Wah, inilah suatu perikop mas yang luar biasa bagi saya, dan secara khusus cara Petrus digambarkan sebagai murid yang dipanggil Tuhan Yesus dan menjadi takut.

Pernah saya ditanyai: pelajaran apa yang saya dapat ketika menerjemahkan Alkitab? Secara singkat saja perlu dicatat bahwa menerjemahkan tidak bisa tanpa menafsirkan – dan menafsirkan berkaitan dengan menerjemahkan. Secara timbal balik. Dan mau tidak mau, Alkitab merupakan buku dari zaman-zaman dulu, tetapi perlu diterjemahkan, sehingga dapat dipahami manusia modern. Jadi, bahasa perlu modern, tetapi isinya memang dalam arti tertentu dari zaman dulu. Sebab itu, membaca Alkitab tidak senantiasa mudah. Maka sangat penting bahwa orang berkumpul untuk membaca Alkitab secara bersama! Baik dalam ibadah hari Minggu, maupun dalam kelompok-kelompok pemahaman/penelitian Alkitab. Melalui sharing bersama, Alkitab dapat menjadi pengarah dan pendukung bagi kehidupan sehari-hari. Semua kontak kita dengan Alkitab, baik bersama-sama orang lain, maupun secara pribadi, terjadi supaya Alkitab dapat menjadi firman Allah bagi kita! Berdoalah supaya Allah mengaruniakan itu kepada kita!

 

Kesaksian Pdt (Em.) Barend F.Drewes.,  Ahli Kitab Suci,  Anggota Tim Pembaruan Perjanjian Baru Terjemahan Baru