Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro S.Th.: Kuncinya Mengasihi Allah dan Sesama

Pdt. Ir. Yoel M. Indrasmoro S.Th.: Kuncinya Mengasihi Allah dan Sesama

 

Mengasyikkan setiap bertemu dengan Pdt. Yoel Indrasmoro. Bercakap dengan mantan wartawan yang memilih jadi hamba Tuhan ini waktu dua tiga jam terasa singkat. Selalu ada hal baru yang ia bagikan. Apalagi beliau sudah lama menjadi mitra pelayanan LAI. Pdt. Yoel Muwun Indrasmoro adalah pendeta jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jakarta. Di luar itu sehari-harinya beliau merupakan penulis renungan yang produktif, seorang editor buku, Direktur PT Suluh Cendekia (Literatur Perkantas Nasional), salah satu penerbit Kristen di Indonesia. Kegiatannya cukup padat. Maka ketika kita mencoba menghubungi dan menanyakan waktu senggangnya beliau menjawab sambil tertawa,”Saya selalu sibuk, tapi saya selalu punya waktu untuk mempercakapkan berbagai hal.”

Belakangan beliau juga menjadi Koordinator Jaringan Peduli Anak Bangsa. “Di Jaringan Peduli Anak Bangsa, dalam waktu dekat kami merencanakan untuk membuat beberapa pelatihan. Pertama, pelatihan gereja ramah anak. Kemudian selanjutnya sekolah Kristen ramah anak dan terakhir lembaga kesejahteraan sosial Kristen ramah anak. Lembaga kesejahteraan adalah istilah terkini untuk panti asuhan,”kata Pendeta yang di masa mudanya pernah pula menjadi tenaga sukarela pengajar agama Kristen di Bogor.  Sore kemarin kami berbincang tentang banyak hal mulai dari situasi pendidikan Kristen, ibadah online hingga menggarami Indonesia lewat tulisan. 

Senjakala Pendidikan Kristen di Indonesia?

Era pandemi menjadi tantangan sendiri bagi keberadaan sekolah-sekolah Kristen. Banyak sekolah Kristen yang tutup, yang diawali karena kekurangan siswa. Dan selanjutnya tanpa siswa, berarti tidak ada dana. Berbagai sekolah Kristen tersebut dulunya muncul di masa-masa awal kemerdekaan, bahkan sebelum kemerdekaan. Mereka pernah Berjaya dan berada di era keemasan. Tapi sekarang, ketika pemerintah membangun sekolah-sekolah negeri di berbagai tempat, sekolah-sekolah Kristen tidak mampu bersaing. Tanpa dukungan dari pemerintah dan bahkan gereja mereka tidak mampu bersaing dalam hgal sarana prasarana dan tidak mampu menawarkan honor yang memadai bagi tenaga pengajar yang berkualitas. 

“Pada masa-masa penjajahan yang ada memang sekolah-sekolah milik Belanda. Hingga kemudian Muhamadiyah di bawah K.H. Ahmad Dahlan mulai mendirikan sekolah. Sementara NU tetap dengan sistem pesantrennya. Kemudian lembaga-lembaga zending dan gereja juga merasa perlu membuat sekolah Kristen. Ketika sekolah-sekolah Kristen berdiri, bukan berarti Belanda memberikan dukungan, karena sebetulnya Belanda tidak pernah ingin orang pribumi menjadi pintar. Karena kalau mereka pintar nantinya akan menuntut kemerdekaan. Sekolah-sekolah Kristen ini dananya dibiayai oleh lembaga-lembaga Zending (lembaga misi),”terangnya memulai percakapan.  

“Eyang saya dulunya adalah pendiri sekolah Kristen di daerah Tawangsari, Sukoharjo. Pada masa itu kualitas sekolah Kristen bisa dibanggakan. Lulusannya jauh lebih berkualitas dibanding lulusan sekolah pemerintah. Terlebih pemerintah di masa awal-awal kemerdekaan masih belajar menata kurikulum pendidikan dan belajar membangun sekolah-sekolah negeri. Sekolah-sekolah Kristen pada masa awalnya bahkan memberi kemudahan siswa untuk masuk sekolah tersebut, bahkan yang tidak mampu mereka bantu, karena ada misi Kristiani yang mendampinginya. Eyang saya sendiri sering berkeliling mencari siswa,”terangnya. “Hingga masa-masa tahun 1970-an sekolah-sekolah Kristen masih cukup berjaya dan diakui kualitasnya. Meskipun dukungan dari lembaga zending sudah berhenti, namun karena jumlah siswa mencukupi sekolah masih bisa berkembang,” lanjutnya.

“Ketika pemerintah mulai menetapkan wajib belajar 9 tahun, maka pemerintah mengalokasikan dana besar-besaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Maka, segala fasilitas baik infrastruktur maupun sumber daya manusia lebih banyak masuk ke sekolah negeri dibanding sekolah swasta. Sekolah negeri pun berkembang pesat. Sebaliknya sekolah-sekolah Kristen mulai bertumbangan. Terutama karena sekolah-sekolah Kristen tidak mampu membiayai guru-gurunya. Mereka berteriak meminta pertolongan gereja. Namun, gereja sendiri gagap, tidak siap memberikan topangan. Pada saat sekolah-sekolah Kristen masih hebat mereka tidak merangkul gereja, berjalan sendiri dengan yakin. Ini masalah tantangan zaman sebenarnya,”demikian terangnya.  

Pdt. Yoel melihat hal yang sedikit berbeda terlihat dari sekolah-sekolah Katolik. Sedikit berbeda kondisinya dengan sekolah katolik. Sekolah Katolik biasanya kuat di konsep. Sekolah didukung penuh oleh gereja. Sebaliknya di Protestan kita harus mengakui adanya keberagaman gereja. Tiap gereja membuat sekolahnya masing-masing. Pentakosta membuat sekolah, gereja Jawa buat sekolah, GKI buat sekolah. Beberapa akhirnya bersaing di antara sesama sekolah Kristen sendiri.  Menurut Pdt. Yoel, banyak orang tua ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah Katolik, karena agar bisa melanjutkan ke sekolah yang bagus. “Kalau konsep dan nilai-nilai di sekolah tersebut bagus, masa depan anaknya diyakini bakalan bagus,”tuturnya.  

Namun, apakah kita hanya akan membiarkan sekolah-sekolah Kristen berguguran. Bagaimana caranya untuk mengembalikan sekolah-sekolah Kristen tersebut agar mampu bertahan? “Menurut saya, saat ini kita lebih penting berfokus pada pendidikan dasar saja. Tidak usah terlalu bersemangat membuat SMP atau SMA. Mengapa? Sekarang sudah terlalu banyak SMP dan SMA negeri ataupun sekolah Katolik yang bagus. Demikian juga sekolah-sekolah negeri dan swasta lain. SMP dan SMA ini bagaimanapun membutuhkan siswa-siswa lulusan SD yang berkualitas.” 

“Kalau kita mampu menyediakan lulusan SD yang berkarakter baik dan berkualitas, orang akan memandang pendidikan Kristen menghasilkan lulusan yang baik. Menurut saya mendidik dan membangun karakter anak di tingkat SD bukan hal yang mudah. Meski demikian kita bisa lebih optimis, karena sebenarnya gereja cukup berpengalaman dalam pendidikan dasar untuk anak melalui Sekolah Minggu dan Ibadah Anak,”terangnya panjang lebar.  

Di sisi lain yang juga sering menjadi persoalan adalah ada sekolah-sekolah Kristen namun sekadar atribut nama tanpa ada penerapan nilai-nilai Kristiani di dalamnya. Bagi orang tua siswa, mereka akan berpikir untuk apa memasukkan anaknya ke sekolah Kristen jika nilai-nilai budaya di sekolah itu tidak beda dengan sekolah negeri atau swasta lain. 

“Menjawab persoalan tersebut belakangan ini muncul sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi Kristen yang ingin memperbaiki pandangan tersebut. Seperti Universitas Pelita Harapan (UPH), mereka menawarkan pendidikan yang berkualitas dan menanamkan nilai-nilai kekristenan. Diharapkan mereka yang berkuliah di tempat tersebut otaknya cerdas, hatinya baik. Ini yang hari ini laku dijual,”lanjutnya.  

Sekolah Kristen Berkualitas Mahal?

Bagaimana dengan pandangan orang yang menyebutkan bahwa sekolah-sekolah Kristen berkualitas mahal?

Yang pertama, untuk mengembangkan infrastruktur pendidikan yang baik dan menyediakan sumber daya manusia berkualitas sebagai pengajar tidak gampang. Semua itu membutuhkan biaya. Gereja-gereja dan warganya harusnya mendukung penuh upaya menyediakan pendidikan Kristen yang berkualitas. Paling tidak dalam tahap perintisan dan pengembangannya. Karena ketika sekolah tersebut dikenal sebagai sekolah berkualitas, orang akan datang sendiri dan banyak orang bersedia menyumbangkan dana. Tetapi ketika tidak bermutu, meski menggunakan atribut kristiani, orang tidak akan memercayainya. Takut dananya terbuang percuma. 

Yang kedua, istilah mahal harusnya dipahami dengan lebih bijaksana. Kebutuhan sekolah membiayai pendidikan, mulai dari sarana prasarana, tenaga guru, pegawai, laboratorium, kegiatan ekstrakurikuler hingga tenaga sekuriti sungguh besar. Jika kita bisa memahaminya, pasti kita akan menyadari bahwa biaya sekolah anak-anak kita tidak terlalu mahal. 

Saya selalu teringat dan menyukai salah satu cerita dalam buku “Selamat Menabur” karangan Pdt. Andar Ismail. Di buku tersebut diceritakan Pak Andar semasa kecil berasal dari keluarga yang sangat sederhana, dan mendapat topangan dana diakonia dari gereja. Ketika Pak Andar masih kecil di Bandung dan hendak masuk Sekolah Penabur, ia bertanya kepada mamanya. “Gimana Ma, apakah kita dapat keringanan?” Mamanya mengatakan demikian,”Kita tidak perlu meminta keringanan,  sekolah juga perlu uang. Guru-gurunya juga perlu gajian.” Kenangan itu terpatri di benak Pak Andar hingga bertahun-tahun kemudian. 

Yang sering menjadi persoalan adalah, banyak orang tua justru bahagia ketika dapat keringanan. Mereka berpikir seperti hukum dagang, beli murah dapat banyak. Bayar sekolah murah, namun ingin sekolah yang tinggi kualitas. 

Inti Pendidikan Kristen 

Bicara soal pendidikan Kristen, saya berpikir mengapa namanya pendidikan Kristen? Kristen artinya adalah pengikut Kristus. Jadi harapan orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Kristen, anaknya akan mengambil jalan untuk mengikuti Kristus seumur hidupnya. Karakternya meniru karakter Kristus. Ini yang mestinya menjadi tujuan utama. Jelas sekolahnya harus bermutu, namun kualitas yang ingin diraih karena didorong harapan ingin memberikan yang terbaik untuk Tuhan. 

Tokoh pendidikan dan penerbitan, Alfred Simanjuntak, mengibaratkan anak berkualitas sebagai mereka yang haus akan ilmu. Jadi awalnya haruslah dibuat kondisi bagaimana anak-anak menjadi haus akan ilmu, bukan sekadar nilai raport. Kalau anak haus terhadap  ilmu, mereka akan terdorong untuk mencari sendiri dan mengembangkan dirinya. Tugas sekolah memampukan siswa menyadari talenta dan potensinya dan kemudian membantu mereka mengembangkannya. Di sisi lain filsuf Pendidikan Paulo Freire menegaskan jangan malah membuat anak tertekan saat belajar. 

Pendeta Yoel menekankan kunci pendidikan Kristen dalam dua segi, memampukan naradidik bertumbuh semakin mengasihi Tuhan dan di sisi lain mengasihi sesamanya manusia. Bukankah ini juga yang diteladani dari hidup Tuhan Yesus? Bukan hanya bertumbuh kognitif namun juga afektif. Bukan hanya intelektual namun juga perilaku dan karakter. Bukan hanya otak, namun juga hati. Yesus bertumbuh, menjadi semakin dikasihi Allah dan manusia. “Itulah kuncinya, menjadi semakin mengasihi Allah dan manusia,”tegasnya. 

Menanamkan Nilai-Nilai Pendidikan Lewat Cerita

Bagaimana caranya menyampaikan nilai-nilai pengajaran agama Kristen atau pendidikan Kristen di masa pandemi? Di satu sisi segala pembelajaran sekarang berlangsung lewat online, di sisi lain banyak juga wilayah-wilayah yang belum terjangkau sinyal sehingga sulit beradaptasi dengan pembejalaran online?

Menurut Pdt. Yoel, ada berbagai cara  dalam mengajarkan nilai-nilai kekristenan. Salah satunya adalah lewat cerita.  Ada nilai-nilai kebaikan yang lebih efektif penyampaiannya ketika dibagikan lewat cerita. Anak-anak perlu diajarkan untuk mendengarkan cerita secara kritis. Ketimbang memaksa anak agar rajin belajar, kita bisa mengajar mereka lewat cerita atau kisah yang mengandung nilai-nilai kerja keras dan kerajinan. Demikian pula mendidik anak-anak agar rajin membersihkan kamar, atau rumah mereka akan lebih efektif disampaikan lewat dongeng atau cerita. “Hingga hari ini wayang dan ketoprak masih tetap ada, artinya orang memang senang dengan cerita. Demikian juga mengapa orang menyukai drama korea, karena suka dengan ceritanya,”katanya. 

“Mengenai daerah yang susah sinyal saya berpikir kita bisa bergandengan tangan untuk membangun radio komunitas. Toh dalam pelayanan-pelayanan misi, radio komunitas ini cukup berperan dengan baik. Kalau gereja dapat bekerja sama dengan radio-radio komunitas itu akan baik dalam penyampaian pendidikan agama Kristen di daerah susah sinyal.  Melalui radio dan podcast sebenarnya pengajaran agama Kristen bisa disampaikan secara menarik dan mendorong anak-anak berimajinasi, karena mereka mendengar cerita dan dongeng sementara imajinasi mereka bekerja memvisualkan adegan di otak mereka,”sarannya.

Ia mengajak kita menyadari bahwa situasi pandemi yang membuat segala sesuatu tiba-tiba serba online dan digital membawa persoalan tersendiri. Di era online semua orang inginnya serba ringkas, serba pendek, tapi menarik. Maka ketika pengajaran Agama Kristen atau renungan Sekolah Minggu dibawakan dengan panjang lebar, anak-ana akan cenderung malas. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu dilakukan. 

Pertama, orang tua harus mendampingi dan menemani anak-anaknya dalam belajar. Yang kedua, mengubah cara pandang orang tua dan keluarga. Di masa sebelum pandemi harus kita akui pendidikan agama oleh gereja ataupun sekolah maksimal paling dua sampai tiga jam dalam seminggu. Di kala pandemi mungkin hanya setengah jam. Sehingga pendidikan pada akhirnya harus kembali bermuara pada keluarga dan orang tua. Orang tua adalah pendidik utama anak-anak. Dari mereka anak-anak pertama-tama harus belajar nilai-nilai kekristenan. Pendidikan sekali lagi adalah tanggung jawab keluarga. 

Ketiga, ringkas dan efektif. Artinya di era online pengajaran yang disampaikan lewat dunia maya tidak lagi bisa berpanjang-panjang. Karena saingan kita adalah drama Korea, Upin dan Ipin yang secara teknologi jelas lebih menarik. Pada titik ini gereja perlu melatih guru-guru Sekolah Minggunnya dan tenaga-tenaga multimedianya agar bisa mendukung pembelajaran yang ringkas dan efektif. Termasuk dalam hal melakukan komunikasi dan pendekatan kepada anak-anak dan warga jemaat. 

Pdt. Yoel sendiri menjadwalkan untuk berkomunikasi dengan warga jemaat dari anak sampai lanjut usia melalui percakapan video call. “Jika satu orang 5 menit dan satu hari kita sediakan waktu 60 menit, kita sudah bisa memperhatikan minimal dua belas orang dalam sehari. Berkomunikasi secara langsung membuat setiap orang merasa dihargai,”terangnya. “Setiap orang sesungguhnya membutuhkan teman. Ketika setiap orang dipandang penting dan diperhatikan, mereka akan tergerak untuk bersama-sama melakukan sesuatu yang lebih penting. Dan inilah inti dari pendidikan: setiap anak menyadari bahwa mereka adalah orang-orang penting (istimewa). Karena Tuhan sendiri menganggap mereka lebih istimewa,”lanjutnya. 

Menurut Pdt. Yoel, Pendidikan kristiani di manapun, di dalam keluarga, sekolah dan gereja pada dasarnya adalah pendampingan. Ketika naradidik merasa dirinya dihargai, dilayani, dan didampingi, ia akan bertumbuh dengan sendirinya. Ia akan belajar mengelola kekuatannya dan kelemahannya. Kekuatan ditumbuhkembangkan, kelemahan diminimalkan. 

Membaca Buku Dari Kecil

Di luar melayani umat sebagai gembala, Pdt. Yoel juga bergerak di dunia penulisan dan perbukuan. Agaknya Tuhan sudah mempersiapkan langkahnya sedari kecil. “Sejak kecil saya suka membaca buku. Bahkan ketika saya duduk di Sekolah Dasar (SD), seluruh buku-buku di perpustakaan sekolah habis saya baca. Saya bukan berasal dari keluarga yang dapat membeli buku-buku baru, oleh sebab itu  saya selalu memilih membeli atau membaca buku di tempat-tempat loak buku,”tuturnya. 

Ketika menjadi mahasiswa,  ia merasa bahwa sudah waktunya untuk menulis. Saat itu dirinya sadar bahwa jika hanya membaca, maka ia tidak dapat memberikan dampak bagi orang lain. “Kalau hanya membaca, saya hanya menambah ilmu bagi diri saya sendiri dan tidak berdampak bagi orang lain. Kesadaran tersebut mendorong saya untuk mulai menulis dan saya memulainya dengan menulis beberapa puisi dan syair,”katanya.  

Ia mengawali karier menulis di sebuah majalah Kristen yang ada di kampus. Awalnnya ia hanya bertugas memilih dan menyuruh orang untuk menulis, sedangkan dirinya hanya memberikan kata-kata pengantar. Lambat laun majalah tersebut terancam mati karena kekurangan orang untuk mengisi atau menulis di majalah tersebut. “Saya berusaha agar majalah tersebut tidak mati dengan menawarkan diri menjadi penulis. Saat itulah saya mulai rutin menulis dan ternyata saya dapat menulis prosa. Tulisan tersebut saya tunjukkan kepada beberapa teman dan respon mereka tidak terlalu buruk. Mulai saat itu, saya mencoba menulis lebih serius lagi,”terangnya lebih lanjut.

Setelah lulus dari Perguruan Tinggi, ia mempersiapkan diri selama tujuh bulan dan memantapkan langkah hidupnya untuk menjadi penulis. Ia memulainya dengan menjadi wartawan di Nova. Setelah 20 bulan berlalu, dirinya menerima panggilan di tempat lain. Mulanya ia hanya ingin belajar menjadi editor melalui pelatihan yang diadakan oleh Perkantas dan Yayasan Komunikasi Bina Kasih. 

Pada akhir pelatihan, ditanya oleh salah satu guru pelatihan. “Yoel kamu ingin menjadi apa? Saat itu, saya menjawab ingin mejadi penulis,”katanya.  Namun, gurunya menganggap bahwa ia lebih baik menjadi seorang editor, “Penulis sama seperti koki, ia harus membuat makanan yang nikmat dan menarik untuk dimakan. Editor sama seperti pemilik restoran, mengatur dan memastikan makanan yang dibuat oleh koki sesuai dengan standar dari restoran.”  Akhirnya, Pdt. Yoel memutuskan untuk menjadi seorang editor, sekaligus sebagai penulis Kristiani, hingga saat ini.  

Lebih Produktif Menulis di Masa Pandemi

Sejak pandemi bergulir di sekitar Maret 2020, dan Pdt. Yoel sempat dinyatakan positif, ia menyikapi situasi tersebut bukan dengan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebih. Justru di tengah pandemi dirinya lebih produktif mengerjakan berbagai tulisan. Sepanjang pandemi dirinya telah menulis dua buku kumpulan berdasarkan Kitab Mazmur dan Pengkhotbah, dan sebentar lagi Amsal. Juga menjadi editor dan salah satu penulis di dalam buku Natal di Tengah Pandemi dan Paskah di Tengah Pandemi. 

“Mungkin ini sudah merupakan kehendak Tuhan. Sedari 2019 saya sudah mengkampanyekan gerakan menulis kepada banyak kalangan. Temanya adalah menggarami gawai kita dengan tulisan-tulisan sederhana yang menguatkan dan membangun. Situasi pandemi memicu saya untuk lebih giat menggarami lewat gawai. Ketika saya menuliskan renungan-renungan secara berurutan dari Kitab Mazmur, Amsal dan Pengkhotbah, ide awalnya adalah agar tulisan-tulisan tersebut bisa menemani dan menguatkan orang lain dalam menjalani hari-harinya. Saya berharap lewat renungan-renungan singkat tersebut orang yang tertekan dan terpuruk di tengah pandemi bisa terhibur. Kemudian ketika saya mulai menulis renungan tentang pengkhotbah dasarnya agar kita sama-sama belajar untuk menjadi lebih arif, belajar filsafat kehidupan. Nah dari Amsal kita belajar kata-kata bijak atau peribahasa kalau dalam bahasa Indonesia. 

Sebagai seorang penulis, ia percaya dan meyakini bahwa sumber inspirasi dari tulisan bisa berasal dari mana saja, termasuk dari Alkitab. Salah satu sumber inspirasi yang menjadi favoritnya berasal dari Kitab Habakuk, “tulislah apa yang kau lihat” (band. Habakuk 2:2). 

“Ayat itu mengajarkan kepada saya, sebelum mulai menulis saya harus bertanya kepada Tuhan terlebih dahulu, apa yang harus saya tulis dan apa maksud Tuhan dari apa yang saya lihat. Misalnya, saat hendak menulis khotbah. Banyak orang kesulitan dalam menghasilkan khotbah yang menarik dan tidak membosankan. Hal itu terjadi karena saat kita menulis khotbah, kita langsung menafsir ayat-ayat Alkitab tanpa bertanya lebih dahulu kepada Tuhan. Terlalu bergantung pada tafsiran akan mematikan Firman Allah yang ada di dalam Alkitab,”tegasnya. 

“Oleh karena itu, seharusnya kita berdoa dan bertanya terlebih dahulu kepada Tuhan, apa yang ingin Tuhan sampaikan kepada kita melalui firman-Nya. Dengan bertanya kepada Tuhan dan membuka mata kita terhadap apa yang kita lihat di dalam Alkitab dan sekitar kita, maka kita akan semakin kaya oleh inspirasi dari Allah,”lanjutnya. 

Pdt. Yoel melihat banyak orang merasa tidak mampu menulis karena merasa tidak memiliki inspirasi. Padahal menurutnya, kita perlu yakin bahwa Tuhan yang meletakkan inspirasi itu di dalam diri kita, sehingga kita dapat menulis. Oleh sebab itu, kita menulis bukan untuk kepentingan diri kita sendiri, melainkan untuk memuliakan nama Tuhan.  Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk merasa bosan atau jenuh menulis karena Allah memberikan kekayaan yang begitu berlimpah kepada kita. 

Dalam dunia yang berkembang pesat, orang-orang menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya.  Ia berharap makin banyak orang Kristen yang mau memberikan dirinya untuk menulis. Hal ini sama seperti yang sedang ia kerjakan hari-hari ini. 

“Saya ingin menggarami orang-orang melalui tulisan. Banyak orang menulis berbagai hal di media sosial mereka. Berangkat dari sini, saya ingin melatih banyak orang agar dapat menulis hal-hal yang baik melalui media sosial. Saya ingin semakin banyak orang Kristen tidak hanya menulis tentang pengalaman keseharian mereka, tetapi juga menceritakan kisah kasih yang mereka miliki bersama Tuhan,”tegasnya menutup perbincangan.