Pengharapan di Tengah Keterbatasan

Pengharapan di Tengah Keterbatasan

 

Kini kita telah mulai memasuki Minggu-Minggu Adven. Sebulan lagi kita akan merayakan Natal. Mal-mal,  pusat-pusat perbelanjaan sudah mulai berhias dengan pohon natal, atribut-atribut natal serta kumandang kidung-kidung natal. Suasana yang selalu kita rindukan setiap tahun, saat Natal. 

Tetapi, apa yang Saudara bayangkan seandainya pada tanggal 23 Desember terjadi banjir yang memporakporandakan desa. Organ gereja rusak. Dan pada 24 Desember cuaca mendung serta hujan rintik sepanjang hari.  Bagaimana Natal akan dirayakan dalam situasi seperti itu? Itulah situasi yang dihadapi oleh penduduk sebuah desa di Austria menjelang Perayaan Malam Natal pada tahun 1818.

Di senja hari,  dalam kesedihan serta kegalauan yang dirasakan oleh seluruh penduduk desa, Pater Joseph Mohr, imam paroki, mendatangi Herr Franz Gruber, kepala sekolah di desa tersebut yang dapat  memainkan gitar. Pater Mohr menyerahkan puisi yang ditulis 2 tahun sebelumnya kepada Herr Gruber. Pater Mohr memohon agar Herr Gruber dapat membuat melodi untuk puisi tersebut.

Dalam situasi seperti itu, semangat untuk tetap merayakan Malam Natal tidak pudar. Dari setiap sudut desa tampak mengular sinar lentera dan obor menuju gereja. Ketika jemaat sudah berkumpul Pater Mohr dan Herr Gruber mengajarkan sebuah lagu baru dengan diiringi gitar, alih-alih menyanyikan lagu-lagu hymnal yang biasa dinyanyikan saat Natal dengan iringan organ. Demikianlah, malam itu, dari sebuah desa kecil di Austria berkumandang sebuah lagu yang kemudian melegenda dan menjadi warisan budaya dunia untuk pertama kali. Itulah Stille Nacht atau lagu Malam Kudus yang merupakan sebuah lagu yang hampir selalu dinyanyikan pada saat Natal di seluruh dunia.

Ketika Lilin Adven Pertama dinyalakan, kita diingatkan akan pengharapan umat selama berabad-abad akan penantian kedatangan Kristus. Baik umat yang menantikan kedatangan Kristus kali yang pertama  maupun umat masa kini yang menantikan kedatangan Kristus untuk yang kedua-kalinya. Natal atau kedatangan Kristus adalah sebuah pengharapan. Seperti tertulis pada Surat Paulus Kepada Jemaat di Roma [Roma 15:12-13], “Dan selanjutnya kata Yesaya, “Taruk dari pangkal Isai akan terbit, dan ia akan bangkit untuk memerintah bangsa-bangsa, dan kepada-Nyalah bangsa-bangsa akan menaruh harapan. Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus, kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.”  Pengharapan untuk datangnya damai sejahtera, pemulihan dan pembaruan.

Zaman berganti, abad berlalu, perang, damai, wabah, depresi ekonomi, kemakmuran silih berganti. Kehidupan berjalan dan terus bergerak maju, hanya karena ada pengharapan. Sekecil apapun pengharapan yang ada, membuat orang mau dan mampu berjuang untuk menggapai asa tersebut. Tanpa pengharapan hidup hanyalah kehampaan belaka. Tanpa pengharapan, perjuangan juga sia-sia. Tanpa pengharapan jurang keterbatasan semakin lebar.

“Tanpa pengharapan orang tidak dapat hidup. Hidup tanpa pengharapan berarti menyerah terhadap kehidupan. Neraka adalah keputusasaan.Bukanlah suatu kebetulan jika di atas pintu gerbang neraka (dalam puisi Dante) tertulis, “Tinggalkan semua pengharapanmu dan masuklah” [Fyodor Dostoevsky]

Belajar dari proses terciptanya lagu Malam Kudus, semuanya berawal dari keputusasaan. Banjir, organ gereja rusak, cuaca buruk. Namun berita bahwa Ibadah Malam Natal tetap diselenggarakan membuat semangat serta optimisme umat bangkit. Semangat semakin bertambah ketika mereka belajar lagu baru yang ternyata sangat indah dan menyentuh hati. Inilah semangat Adven Minggu Pertama, “Pengharapan itu nyata, dan Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk terus menerus hidup dalam pengharapan”.

Setelah 9 bulan kita hidup dalam situasi Pandemi COVID-19 pengharapan bahwa masalah COVID-19 akan segala teratasi semakin nyata. Uji klinis Vaksin COVID-19 sudah memberikan hasil yang menjanjikan. Sekolah-sekolah akan dibuka kembali mulai Januari 2021, pembangunan infrastruktur tetap berjalan, resesi ekonomi nasional tidak separah seperti diramalkan dan masih lebih baik dari negara-negara tetangga. Selalu ada pengharapan di tengah keterbatasan. Walaupun kita menghadapi situasi ini sulit pada awalnya, namun berlahan-lahan kita semakin dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru dan bangkit dari keterpurukan. Perjuangan yang kita lakukan untuk segera bangkit dari segala keterbatasan tentu akan menjadi semakin berat jikalau kita tidak memiliki pengharapan. Sebab hanya orang-orang yang memiliki pengharapan yang selalu terpacu untuk terus berjuang lebih keras lagi. Terang pengharapan yang menyala dalam diri setiap orang percaya adalah “tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari “ yang memimpin kita menuju kepada Sang Sumber Pembebasan. Seperti yang pernah terjadi pada nenek moyang kita dalam kisah keluaran [Kel. 13:21].

Marilah kita tetap menaruh pengharapan dalam setiap perjuangan kita di tengah keterbatasan. Sambil terus mengarahkan hati dan pikiran kita kepada Kristus, Sang Raja Alam Semesta, yang inkarnasinya menjadi manusia akan kita rayakan pada 25 Desember mendatang sambil menyanyikan: Malam Kudus, sunyi senyap. Dunia terlelap. Hanya dua berjaga terus. Ayah Bunda mesra dan kudus. Anak tidur tenang. Anak tidur tenang.



Pdt. Sri Yuliana, M.Th