Petrus Jagur: Hidup adalah Anugerah Tuhan

Petrus Jagur: Hidup adalah Anugerah Tuhan

 

Namanya Petrus Jagur atau akrab disapa Pak Piet. Tidak setiap waktu kita bisa bebas bertemu beliau. Bukan apa-apa, tempat tinggalnya jauh di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Jakarta terpaut ribuan kilometer jaraknya. Sekarang banyak orang mengenal Manggarai setelah Labuan Bajo dan Pulau Komodo terkenal menjadi obyek wisata favorit Nusantara. 

Pak Piet seorang tua yang berwawasan luas. Berjumpa dengannya bagaikan menemukan kamus berjalan Manggarai. Ia sosok yang pas dijadikan sumber rujukan tentang masyarakat, adat dan budaya Manggarai. Pak Piet begitu mengenal dan mencintai budaya tanah kelahirannya tersebut. Beliau adalah satu dari sekian banyak orang Manggarai yang masih peduli akan kelestarian budaya sukunya. Harapan dan semangatnya begitu besar untuk memperkenalkan adat istiadat dan budaya Manggarai kepada generasi muda, baik di tempat asalnya maupun masyarakat Manggarai perantauan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pak Piet lahir pada tanggal 20 September 1947 di Cancar, Manggarai Barat. Menurut penuturan orang tuanya, ia hampir saja meregang nyawa sesaat setelah dilahirkan. Kala itu orang tuanya masih menganut animisme atau agama suku. Di tengah suasana kritis dan panik karena Piet lahir sekarat, salah seorang keluarganya menyarankan kepada orang tuanya untuk segera membaptis Piet. Namun, karena suasana yang serba darurat dan tidak ada Pastor, akhirnya Piet dibaptis hanya oleh seorang guru agama, yang secara aturan Katolik tidak dibenarkan, karena yang berhak membaptis seseorang hanya Pastor/ Rama. Guru agama tersebut membaptis dan memberinya nama baptis Petrus. Ajaibnya, tak lama setelah dibaptis, Petrus Jagur langsung sembuh.

Hari terus berlalu, kasih karunia-Nya yang besar membuat Piet tumbuh sehat seperti anak lain pada umumnya. Pendidikan dasar dijalaninya di SD Negeri Cancar dan lulus tahun 1961. Piet memutuskan untuk masuk ke Seminari Kisol pada tahun 1961 untuk mewujudkan cita-citanya menjadi Imam Katolik. Namun, Piet hanya mampu menempuh pendidikan hingga kelas 4 dari 7 kelas yang harus ditempuh di seminari. Piet memutuskan keluar dari seminari. Diakuinya, gejolak jiwa mudanya yang pada saat itu sedang tumbuh menyebabkan ketidaksepahaman dengan salah satu pendidik (Pastur) di seminari. Setelah keluar dari seminari, Piet masuk SGA dan lulus pada tahun 1967. Tak beberapa lama setelah tamat SGA, per 1 Januari 1968 Piet mengawali kariernya sebagai guru dan resmi diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil hingga pensiun pada tahun 2007.

Keterlibatan Piet Jagur di tim penerjemahan Alkitab bahasa Manggarai berawal dari ketertarikannya untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan suku Manggarai. “Orang tua kita dulu mewariskan adat Manggarai kepada kami hanya secara lisan. Kita tidak dapat menyalahkan mereka, karena mereka tidak bersekolah. Kalau orang tua dulu mewariskan adat secara lisan, mengapa sekarang kita yang sudah tahu tulis tidak mewariskan secara tulis?” katanya. Semangat itulah yang akhirnya mengilhami Piet, yang masih keturunan tokoh adat di Manggarai, untuk menulis berbagai hal tentang adat istiadat suku Manggarai. Karena kecintaan dan wawasannya yang luas akan budaya Manggarai, Pak Piet sering dipercaya oleh pemerintah daerah (kabupaten) Manggarai untuk mewakili Pemeritah menghadiri undangan-undangan dan acara-acara yang berkaitan dengan adat istiadat dan kebudayaan suku Manggarai. 

“Sekarang ini pemerintah kabupaten maupun pihak gereja mempercayai saya untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan adat istiadat Manggarai. Kadang saya diundang secara khusus oleh pemerintah daerah untuk menjelaskan tentang adat. Pernah suatu ketika, mahasiswa, dosen dan orang-orang Manggarai yang berada di Malang meminta kepada Bapak Bupati dan Kepala Dinas Pariwisata untuk hadir di Malang guna menjelaskan adat istiadat Manggarai. Pak Bupati mengatakan, daripada mereka menjelaskan secara setengah-setengah dan kesulitan menjawab pertanyaan, lebih baik Pak Piet yang datang untuk menjelaskan kepada mereka semua,” katanya. 

Pak Piet juga mengatakan bahwa sudah banyak tulisannya yang dibukukan ataupun dimuat di berbagai media cetak lokal, bahkan pernah sebuah majalah Manggarai di ibu kota memohon kesediaan Pak Piet untuk mengisi kolom tentang kebudayaan suku Manggarai di majalah tersebut secara rutin. Tak hanya itu saja, sekali seminggu Pak Piet tampil di Stasiun RPDR (Radio Pemerintah Daerah Ruteng) untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan suku Manggarai atau membawakan renungan rohani dalam bahasa Manggarai atas permintaan pemerintah daerah. Selain mengajar, Pak Piet juga aktif dalam kegiatan kerohanian. Suami dari Anastasia Banut (almarhum) ini merupakan seorang katekis di Paroki Santo Vitalis Cewonikit, Keuskupan Ruteng.

Menurut pengakuan Pak Piet, sebelum bergabung dengan tim penerjemahan Alkitab Manggarai yang dibentuk oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ia sudah pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Manggarai. Kegiatan sukarela itu hanya didorong semangat untuk melestarikan bahasa Manggarai. Hasil terjemahannya tersebut tidak dipublikasikan kepada semua orang, hanya diperlihatkan kepada kalangan tertentu saja. Sebagian besar hasil terjemahannya dituangkan dalam tulisan tangan dan beberapa bagian diketik.

Pak Piet menuturkan bahwa pada tahun 2008, tepatnya di bulan September, almarhum Mgr. Eddu, Uskup Ruteng, Manggarai pada waktu itu, berencana pergi ke Roma untuk menghadiri pertemuan tahunan para uskup dengan Bapak Suci. Namun, sebelum bertolak dari Jakarta, Mgr. Eddu sempat bertemu dengan pihak LAI guna membicarakan kerja sama tentang penerjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Manggarai. Mgr. Eddu menerima tawaran kerja sama ini dan segera menghubungi Pak Piet untuk meminta kesediaannya menjadi salah satu anggota tim penerjemahan Alkitab.

“Piet, maukah engkau terlibat dalam kerja sama penerjemahan Alkitab dengan LAI? Sudah sejauh mana terjemahanmu saat ini?” tanya Mgr. Eddu saat itu. “Baik Bapa Uskup, kalau Bapa Uskup setuju saya tidak keberatan. Saya sudah terjemahkan empat Injil,” jawab Pak Piet.

Mgr. Eddu mengenal Pak Piet cukup dekat. Mgr. Eddu sering menjalin kerja sama dengan Pak Piet mengenai upacara keagamaan yang menyertakan unsur adat kebudayaan Manggarai. Mgr. Eddu pun tahu, Pak Piet sedang tekun menerjemahkan isi Alkitab ke dalam bahasa Manggarai. Hanya saja pihak gereja, dalam hal ini keuskupan, tidak pernah membahas terjemahannya. Maka, di bulan Agustus 2008, Pak Piet bertemu dengan Pastor Josef dari Komisi Kitab Suci Keuskupan Ruteng dan menyanggupi tawaran kerja sama dengan LAI dalam rangka penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Manggarai. 

Dalam bidang kerohanian lainnya, Pak Piet sangat dipercaya pihak gereja untuk mengisi acara-acara gereja yang diselaraskan dengan unsur kebudayaan Manggarai, seperti Misa Syukur panen, Misa Wafatnya Kristus dan berbagai misa dalam bahasa Manggarai. 

Berkat adanya dukungan dari pihak gereja dan pemerintah daerah, Pak Piet semakin menguatkan tekadnya untuk lebih memperkenalkan adat istiadat Manggarai kepada semua warga Manggarai yang ada di Ruteng maupun yang ada di perantauan. Pak Piet rindu semua orang Manggarai mengenal dan mencintai kebudayaan leluhur mereka. 

Rencananya proyek penerjemahan ini akan berlangsung selama 3 tahun dan diharapkan selesai pada tahun 2012, bertepatan dengan peringatan 100 tahun gereja Katolik di Ruteng. Keinginan ini disampaikan langsung oleh para Imam-imam Projo yang ada di Keuskupan Ruteng NTB kepada tim penerjemah agar peluncuran Perjanjian Baru dalam bahasa Manggarai ini dilangsungkan bertepatan dengan 100 tahun pelayanan gereja Katolik di Ruteng.

Ketika ditanya mengenai tantangan dalam menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Manggarai, Pak Piet mengakui bahwa kendala yang sering membuatnya bingung dalam menerjemahkan Injil adalah tentang istilah-istilah khusus yang sulit dicari padanannya ataupun tidak ada di dalam bahasa Manggarai. “Pertama, ada istilah-istilah dalam Alkitab yang tidak ada dalam bahasa Manggarai, contohnya alat-alat musik, seperti sitar atau harpa. Kedua, ternyata menerjemahkan Perjanjian Baru tidaklah memindahkan istilah demi istilah secara harafiah. Kita mesti memahami latar belakang budaya dan teologisnya. Kadang kala, maknanya baru dapat saya pahami setelah bertemu dengan Pak Tensi (Hortensius Mandaru, konsultan penerjemahan LAI-red). Saya merasakan Tuhan terus menolong saya, sehingga saya tidak stress menghadapi berbagai kesulitan penerjemahan,” lanjutnya.

Meskipun menghadapi banyak tantangan, hal itu tidak menyurutkan semangat para anggota tim. Mereka terus berusaha menemukan kata-kata atau sebutan yang tepat ke dalam bahasa Manggarai. Pak Piet tetap bersuka cita dan menerima segala tantangan ini sebagai berkat dan kepercayaan yang Tuhan berikan kepadanya.

“Saya tidak pernah merasa jenuh atau bosan selama tiga tahun terlibat dalam proyek penerjemahan. Saya malah bersyukur karena pemahaman saya akan firman Tuhan semakin berkembang dari hari ke hari,” ungkapnya. 

Bagi Pak Piet, tidak ada kata istirahat untuk melayani Tuhan. “Selagi hidup kita sehat, baiklah kita persembahkan hidup ini buat kepentingan Tuhan,” ungkap Pak Piet. Hal ini sesuai motto hidupnya yaitu: “hidup adalah anugerah Tuhan”. Benar, hidup Piet dan hidup kita semua sesungguhnya adalah anugerah Tuhan. Karena kita adalah orang-orang yang telah beroleh penebusan dari Tuhan. Tebusannya demikian mahal, karena untuk itu anak Allah harus mencurahkan darah-Nya dan mati di kayu salib untuk kita semua. 

Rasul Paulus pernah menulis kepada jemaat di Korintus,”Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia…(1 Kor. 15:10). Seperti halnya Pak Piet yang dalam usia senja tekun menerjemahkan Kitab Suci, semoga kita pun menanggapi panggilan pelayanan yang diberikan oleh Allah dengan penuh semangat. Sebagai bukti bahwa kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada kita tidak sia-sia. Salam Alkitab untuk semua. 

 

Petrus Jagur adalah salah satu anggota Tim Penerjemahan Alkitab dalam bahasa Manggarai, Flores, NTT.