Rm. Yohanes Subagyo: Tuhan Pasti Akan Menguatkan!

Rm. Yohanes Subagyo: Tuhan Pasti Akan Menguatkan!

 

Saya lahir tidak sebagai anak yang sudah dibaptis. Karena memang saya bukan lahir di tengah keluarga kristiani. Maka, bukan orang tua saya yang mengarahkan saya untuk beriman kepada Tuhan Yesus. Dari mana perjalanan iman tersebut berawal? Mungkin dari pergaulan yang kemudian mengarahkan hidup saya. Saya sedari kecil hidup dan tumbuh di tengah barisan para “malaikat”. ”Malaikat-malaikat” itu memiliki kebaikan luar biasa. Bahkan mereka menjadi idola saya. Saya punya figur teladan yang ingin saya contoh. Kalau ingin menjadi anak yang baik, saya harus meniru mereka. Para malaikat ini adalah sahabat-sahabat saya semasa kecil.

Dari merekalah saya sebenarnya mengenal Kristus. Kebaikan dan ketulusan mereka kepada saya membawa saya mendekat kepada Tuhan. Padahal, para sahabat itu tidak pernah satu kalipun mengatakan kepada saya: Jadilah orang Kristen, atau jadilah orang Katolik! Yang saya ingat: mereka senantiasa menghadirkan kebaikan dalam hidup saya, mengundang saya ke rumah mereka, mengajak belajar bersama, mengingatkan saya agar jangan menjadi anak nakal. Bahkan keluarga mereka juga ikut menyayangi dan membimbing saya. 

Akhirnya, suatu saat saya memohon izin kepada orang tua, bolehkah saya menjadi anak baik seperti mereka? Artinya, tentu saja saya ingin menjadi seorang Katolik. Orang tua saya, karena pada prinsipnya mereka adalah orang Kejawen tidak melarang keinginan saya. Mereka menyatakan yang penting jadilah anak yang baik dan pintar. Saya bebas memilih iman dan keyakinan yang paling baik menurut saya. 

Sampai detik itu, saya tidak pernah bertanya tentang ajaran iman Katolik. Yang sangat saya kagumi dari awal adalah sebuah praktik iman yang luar biasa, kehidupan sehari-hari, keramahan, tutur kata yang baik dari sahabat-sahabat saya. Melihat kemurahan hati dan kebiasaan sehari-hari mereka yang baik, membuat saya berpikir betapa luar biasa dan bahagianya menjadi seorang pengikut Tuhan Yesus.  

Akhirnya, dalam perjalanannya saya ditemani oleh Kepala Sekolah SD saya. Beliau yang menjadi wali baptis saya (Godfather). Saya sungguh berhutang dalam kebaikan dan iman kepada beliau. Saya kagum pada kebaikan beliau, sebagai seorang Kepala Sekolah yang begitu sibuk, masih bersedia mendampingi dan membimbing seorang anak muridnya, bahkan menemani menjadi seorang Katolik yang baik. 

Saya masih ingat, pesan beliau kepada saya setelah dibaptis: Jangan lupa ya, hari Minggu pergi ke gereja! Tentu saja karena beliau tahu, saya satu-satunya orang Katolik di rumah saya.

Dari seluruh anggota keluarga, sayalah yang pertama kali menjadi pengikut Kristus, memilih iman Katolik. Sementara orang tua dan empat kakak saya belum. Maka, saya menyadari benar apa arti kesendirian itu.  Tetapi tidak lama kemudian, kakak kandung saya perempuan juga memilih untuk beriman Katolik. Saya sendiri tidak tahu alasan kakak saya memilih beriman Katolik. Tapi saya rasa, juga karena lingkungan persahabatan dan pergaulan. Semenjak saat itu, saya dan kakak setiap hari Minggu bersama-sama pergi ke gereja untuk beribadah. 

Iman katolik yang saya miliki bagi saya terasa istimewa. Saya merasa tidak mendapatkan bimbingan iman dari keluarga. Di rumah saya tidak bisa berbagi tentang iman saya. Tetapi di sekitar lingkungan saya ada banyak keluarga yang membimbing saya. Ayah dan ibu saya tidak bisa membesarkan saya secara iman, tapi ada banyak keluarga yang mendampingi saya, seperti: guru-guru dan kepala sekolah saya dan juga orang tua para sahabat saya. 

Pilihan Aneh Masuk Seminari

Saya bukan seorang Katolik dari lahir. Maka, saya memandang pilihan saya untuk masuk seminari dan menjadi imam boleh dikatakan agak aneh. Sejujurnya saya tidak pernah berminat menjadi seorang imam. Motivasi saya masuk seminari, sebenarnya karena alasan yang sangat sederhana. Awalnya karena para “malaikat” atau sahabat-sahabat baik saya t ramai-ramai ingin masuk seminari. Mereka bercita-cita menjadi imam. 

Di kelas 3 SMP saya berpikir,”Wah, kalau mereka masuk seminari saya akan kehilangan mereka.” Karena saya tidak ingin kehilangan pertemanan dengan para sahabat, maka saya ikut masuk seminari. Pikir saya, “Nanti kalau saya tidak kerasan, saya bisa mundur dan kemudian pindah ke sekolah menengah umum.”

Ternyata di tengah jalan, beberapa sahabat saya malah mundur dari pendidikan seminari. Karena tuntutan studi, disiplin kuat dan pendidikan yang keras, membuat beberapa sahabat saya menyerah. Saya sendiri menjalani saja proses pendidikan tersebut dengan tekun. Toh, masih ada beberapa sahabat saya yang lain dan bertahan menjalani pendidikan tersebut. Memang, kalau dipikir sungguh ironi, saya masuk seminari karena ingin mengikuti sahabat-sahabat saya, namun malah sebagian besar dari mereka tidak mampu bertahan dari proses penempaan tersebut. Dari banyak sahabat saya, nantinya hanya tiga yang bertahan hingga tahbisan imam.

Ketika awal masuk seminari, seorang penguji bertanya kepada saya,”Mengapa kamu ingin masuk seminari?” Maka saya menjawab,”Saya ingin mewartakan Injil Yesus Kristus.” Penguji tersebut tersenyum mendengar jawaban saya. Mungkin beliau bingung, melihat remaja usia SMP menjawab demikian. Mungkin beliau juga ragu dan menganggap saya belum memahami apa yang saya jawab tersebut. Tetapi dengan jawaban yang sederhana tersebut, saya pun diberi kesempatan untuk masuk seminari dan bersiap menjadi pelayan-Nya. 

Di kelas dua seminari menengah, saya pelan-pelan menyadari, jika Tuhan memberikan banyak kebaikan kepada saya, tentu Tuhan juga menginginkan agar saya menjadi pelayan-Nya. Tuhan telah begitu luar biasa memberikan kebaikan-Nya, bahkan memanggil saya menjadi hamba-Nya, maka saya meyakiniTuhan juga punya rencana untuk mengutus saya. Maka saya memutuskan untuk mengikuti apa yang Tuhan rencanakan, dan membiarkan Tuhan menuntun dan menetapkan tujuan hidup saya. Saya tidak pernah ragu lagi. 

Di tengah masa pendidikan seminari yang saya jalani, Tuhan memberikan berkat luar biasa kepada saya. Suatu hari orang tua saya memutuskan dan menyatakan niatnya untuk mengikut Tuhan Yesus, hidup dalam ajaran kasih dan damai-Nya. Pilihan orang tua tersebut berasal dari hati nurani pribadi, bukan karena saya adalah calon imam Katolik. Orang tua saya menjadi Katolik, bukan karena dorongan dari saya. Karena saya pun boleh dikatakan jarang bertemu dengan orang tua saya, karena saya tinggal di asrama Katolik. 

Pernah saya bertanya, apa yang membuat mereka akhirnya memilih menjadi Katolik. Mereka menjawab: ”Kami melihat teladan hidup dari orang-orang di sekitar kita.” Jadi orang tua saya melihat tetangga-tetangga mereka yang beriman Kristen dan Katolik, ketika beribadah ke gereja terlihat bahagia dan rukun. Seluruh anggota keluarga beriringan berjalan bersama-sama menuju gereja. Kami memang menyadari tetangga kami yang Katolik dan Kristen tidak pernah terlihat ribut dan bertengkar. 

Orang tua saya mulai berpikir ajaran Tuhan Yesus yang mengajarkan kasih dan kedamaian sungguh luar biasa. Sekali lagi bukan soal berdebat ajaran, melainkan praktik kehidupan sehari-hari sebagai orang Kristiani telah memikat dan menggerakkan hati keluarga kami. Keputusan orang tua untuk mengikut Tuhan Yesus, meneguhkan tekad saya untuk melayani Tuhan dengan setia. 

Aku Menyertai Kamu Sampai Akhir Zaman

Ketika duduk di bangku kelas tiga seminari menengah kami diberikan banyak wawasan. Mau memilih bergabung dalam sebuah ordo yang memiliki spiritualitas yang tinggi, atau seorang misionaris yang bersedia diutus ke berbagai penjuru dunia. Bisa juga memilih menjadi imam yang melayani dan terikat kepada keuskupan tertentu. 

Di dalam hati dan pikiran saya waktu itu mulai timbul keinginan untuk menjadi seorang Yesuit. Alasan ingin menjadi Yesuit, karena prinsip saya yang tidak ingin menjadi nabi di wilayah sendiri. Karena kalau di kampung halaman sendiri, saya ragu orang tua dan teman-teman saya akan bersedia mendengar apa yang saya ajarkan atau khotbahkan. 

Dalam keraguan untuk memilih Yesuit tersebut, saya mulai memikirkan pilihan untuk menjadi imam di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Saya bahkan menyampaikan kepada Bapa Uskup KAJ, Mgr. Leo Sukoto, SJ tentang keinginan menjadi Yesuit dan menjalani pendidikan Yesuit di Girisonta, Semarang. Jawaban Mgr. Leo sungguh tegas dan mengejutkan,”Sudahlah, lebih baik kamu memilih pelayanan yang sudah jelas. Kamu lebih baik menjadi anggota kami!” 

Memang ada pengalaman yang menarik terkait pilihan akhir saya tersebut. Ketika saya menjalani pendidikan calon imam, saya ditugaskan ke daerah-daerah kumuh di Jakarta Utara. Saya sering bertemu dengan anak-anak dari keluarga miskin. Saya sangat prihatin karena anak-anak tersebut tidak mendapatkan bimbingan rohani dari orang tua mereka. Saya berpikir,”Di tempat ini juga dibutuhkan kehadiran seseorang yang bisa menemani anak-anak kecil ini.” Akhirnya saya yakin untuk memilih bergabung bersama KAJ.

Selepas seminari menengah, saya menjalani pendidikan filsafat dan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (1980-1983). Selanjutnya saya melanjutkan di Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta. Pada 14 Agustus 1987, saya akhirnya ditahbiskan menjadi imam. Betapa bersyukur saya pada saat penahbisan sebagai imam, orang tua saya juga ikut hadir. 

Pada masa-masa awal saya masuk seminari, saya sering berpikir,”Alangkah aneh dan sedihnya jika saya ditahbiskan sebagai imam, hanya kakak saya yang hadir. Saya merayakan ekaristi pertama saya sebagai imam dan hosti pertama yang saya berikan, bukan untuk orang tua saya. Ternyata Tuhan menyediakan jalan buat saya.”

Ayat yang dipilihnya ketika ditahbiskan sebagai imam adalah: Aku menyertai kamu sampai akhir zaman (Mat. 18:20). Ayat ini muncul lewat sebuah perjuangan. Menjelang saya ditahbiskan, mendadak saya merasa tidak layak untuk ditahbiskan menjadi imam. Apakah saya pantas untuk menjalani tugas panggilan menjadi gembala bagi umat? Saya sempat tidak yakin pengajaran atau khotbah saya akan diterima umat. Tetapi saya melihat kembali perjalanan hidup yang sudah saya lewati. Bahwa rahmat dan kasih setia Tuhan begitu nyata dalam kehidupan saya. Tuhan selalu menguatkan dan meneguhkan perjalanan iman saya. Maka tumbuh keyakinan saya bahwa Tuhan yang memilih saya akan senantiasa menyertai saya. Bahkan hingga akhir zaman. 

Rumitnya Belajar Bahasa Ibrani dan Yunani di Roma

Selepas ditahbiskan menjadi imam, saya ditugaskan untuk memimpin Paroki Pasar Minggu. Belum dua tahun menjalani tugas sebagai pastor paroki, sekitar pertengahan tahun 1989, saya ditugaskan Uskup KAJ, Mgr. Leo Sukot, SJ untuk mendalami Kitab Suci di Pontificia Universita Urbaniana, Roma, Italia. Di Roma saya tinggal di sebuah asrama, bersama sekitar dua ratus pastor dari berbagai negara, yang semuanya berstatus pelajar. Kami tinggal seasrama namun mempelajari ilmu yang berbeda-beda di kota Roma tersebut. 

Saya langsung mulai belajar Bahasa Yunani dan Ibrani, yaitu bahasa-bahasa asli Kitab Suci. Saya sebenarnya termasuk orang yang gemar mempelajari bahasa. Namun, saya tidak pernah mengira, Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani memiliki tingkat kesulitan yang khas. Tidak cukup saya hadapi dengan berbekal ketekunan. Saya sempat tidak menikmati kehidupan di Roma, karena tekanan belajar yang tinggi. Terlebih pengajar Bahasa Ibrani senantiasa memberikan pekerjaan rumah (PR). 

Setiap hari, mulai pukul empat sore saya belajar dan mengerjakan tugas hingga pukul tujuh malam. Setelah itu saya istirahat makan sekitar satu jam, kemudian jam delapan malam saya melanjutkan lagi belajar dengan keras. Kepala saya setiap menjelang tidur rasanya panas dan pening. Kadang saya beranikan diri berkaca di depan cermin, dan mencoba melihat apakah di kepala saya sudah mulai keluar asap? 

Terkadang dalam doa saya, keluar ucapan: “Ya, Tuhan, mengapa Engkau harus lahir di Palestina, dengan abjad dan Bahasa yang sedemikian rumit? Sekiranya Tuhan Yesus lahir di Kudus (Indonesia), pasti saya lebih mudah memahami isi Kitab Suci.” 

Tetapi dengan segala kesulitan yang harus saya jalani saja dengan setia. Menurut pemikiran saya, sesuatu yang berat jika dijalani dengan tekun akan menjadi hal yang biasa. 

Bedanya Awam dengan Pastor

Setelah menyelesaikan jenjang S-3 di Roma, pada 1995 saya kembali ke Indonesia. Uskup KAJ, Mgr. Leo Sukoto, SJ memanggil saya. Beliau menyatakan, di Jakarta ada kebutuhan untuk menyelenggarakan Kursus Pendidikan Kitab Suci(KPKS). Beliau meminta saya untuk ikut membantu mengembangkan pelaksanaan KPKS tersebut. Selain sebagai pengajar, saya pernah menjadi Ketua KPKS antara 1995-2000. Hingga tahun ini, sudah lebih dari 30 tahun KPKS berdiri. Melalui kursus ini umat Katolik bukan hanya belajar berbagai pengetahuan seputar Kitab Suci namun lebih dalam lagi dibangun semangatnya untuk mencintai Kitab Suci dan menjadikannya sebagai pegangan hidup setiap hari. 

Bagaimana baiknya memulai kecintaan terhadap Kitab Suci? Pertama, Setiap orang harus tekun menyediakan waktu membuka Kitab Suci setiap hari. Tidak selalu isi Kitab Suci mudah untuk dipahami. Kitab Suci ditulis dalam konteks waktu dan budaya kuno yang jauh berbeda dengan kita. Tapi tentu saja tidak semua bagian Kitab Suci susah dipahami. Ada banyak bagian Kitab Suci yang begitu kita baca langsung menumbuhkan pengertian dan kedamaian. Yang utama, kita harus tetap tekun dan setia setiap hari. Kedua, sebaiknya jangan mempelajari Kitab Suci dalam kesendirian, namun kita harus saling menopang dan bertumbuh bersama dalam komunitas. 

Era digital seperti saat ini menyebabkan informasi dan inspirasi mudah kita peroleh dari berbagai sumber. Seringkali hal tersebut menjadikan Kitab Suci hanyalah salah satu dari sumber informasi bagi diri kita. Namun, sesungguhnya Alkitab bukan hanya Kitab yang berisi informasi. Alkitab adalah Kitab Transformasi. 

Saya selalu meyakini pembacaan Kitab Suci akhirnya akan memampukan kita untuk mentransformasi kehidupan kita, yang mendorong hidup kita menjadi lebih baik, lebih penuh cinta kasih, lebih sabar, menjadi lebih banyak bersyukur dan seterusnya. Sebagai Kitab Transformasi, Alkitab harusnya mengarahkan kita kepada kedamaian dan kebahagiaan hidup. 

Mengajar di STF Driyarkara dan Universitas Atma Jaya

Di luar KPKS, saya sehari-hari ditugaskan mengajar di STF Driyarkara hingga nantinya saya diminta untuk menjadi Dosen Kitab Suci di Pendidikan Keagamaan Katolik, Universitas Atma Jaya. Demikianlah, saya menjalani saja setiap penugasan yang diberikan dengan taat. Inilah perbedaan seorang pastor dengan awam. Seorang awam bebas memilih istri yang dia cintai, yang dekat dengannya. Seorang awam juga bebas memilih tempat bekerja yang nyaman dan membuatnya kerasan. Kalau seorang pastor harus menaati setiap tugas yang diberikan. Jadi setiap imam harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan tempat-tempat pelayanan yang dirasa oleh pimpinan kami membutuhkan tenaga kami. 

Sebagai murid Yesus, saya selalu belajar menghayati bahwa melayani lebih membahagiakan daripada dilayani. Ada kebahagiaan yang lebih besar ketika kita memberi daripada ketika kita diberi. Selain itu, ketika kita melayani Tuhan, kita harus bersedia memberikan yang terbaik, sepenuh hati kita. Inilah yang dinamakan dalam gereja dengan pelayanan prima (service excellent). Jangan sampai kalah dengan lembaga-lembaga di luar kristiani, seperti kantor pemerintah atau swasta yang malahan menjalankan konsep service excellent. Setiap pelayan di gereja harus belajar dan menumbuhkan konsep pelayanan prima ini. Sehingga gereja nantinya dapat mewujudkan panggilannya sebagai  tempat di mana setiap orang merasakan kasih Tuhan, merasakan kebaikan, merasakan kerahiman-Nya, merasa diterima oleh sesamanya.

Meskipun berbagai tugas dan tantangan pelayanan yang berat pernah saya jalani, saya tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah tekanan batin. Saya tidak pernah berpikir meninggalkan imamat. Saya selalu berpikir, kerjakan dan jalani saja segenap pelayanan yang bisa kita lakukan. Saya memiliki keyakinan, kalau Tuhan memberikan kita sebuah tugas, pasti Tuhan juga akan menambahkan rahmat-Nya kepada kita. Tidak pernah Tuhan mengutus kita ke suatu tempat atau ladang pelayanan, dan kemudian meninggalkan kita begitu saja. Sampai hari ini saya terus meyakini keyakinan awal saya,” Tuhan pasti akan selalu menguatkan, Tuhan akan menyertai kita sampai akhir zaman.”