SEKALI LAYAR TERKEMBANG, PANTANG SURUT KE BELAKANG

SEKALI LAYAR TERKEMBANG, PANTANG SURUT KE BELAKANG

 

Desember, bulan yang romantis yang selalu kita tunggu. Natal dan Tahun Baru yang kita nantikan tiba. Peringatan kelahiran Kristus Sang Juru Selamat dan Tahun Baru sebagai penanda pencapaian atas apa yang telah kita raih sekaligus munculnya harapan dan peluang-peluang baru untuk cita-cita yang masih ingin kita raih. 

Bagi beberapa pasutri atau pasangan yang baru menikah, salah satu hal yang dibahas secara serius pada liburan Natal dan Tahun Baru di bulan Desember adalah tempat untuk berlibur atau berbulan madu. Tanpa sengaja saya menemukan iklan “Paradise on Earth, The Most Ultimate Getaways for Honeymooners” – Iklan itu menyebutkan Bora-Bora, Maladewa (Maldives) di daftar teratas, namun ketika saya melihat harganya … Wow! Saya tidak jadi melanjutkan membaca iklan tsb. Namun tiba-tiba saya melihat penawaran yang menarik. Sebuah pulau karang, dengan pasir putih bersih serta laguna biru yang menawan. Saya baca, “Tetiaroa, Marlon Brando Island Resort”.

Membaca nama Marlon Brando mengingatkan saya pada seorang aktor dengan karakter yang sangat kuat dalam memerankan tokoh yang dilakoninya. Sebut saja tokoh Don Vito Corleone dalam film The Godfather. Tetiaroa, Polinesia Perancis, mengingatkan saya akan sosok Letnan Fletcher Christian sang pemberontak yang diperankan Brando yang berhadapan dengan Captain William Bligh sang nahkoda kapal HMS Bounty yang dikomandaninya. Dalam film tersebut dilukiskan kepribadian Captain Bligh yang tegas, disiplin, arogan dan bisa melakukan apa saja demi tercapainya misi yang harus dipimpinnya. Anak muda yang belum kenal film dan tokoh ini silakan googling. Saya akan menceritakan sedikit dalam tulisan ini.

Misi pelayaran HMS Bounty adalah mencari bibit sukun (breadfruit) di Tahiti untuk dijadikan makanan pokok murah bagi para pekerja di koloni-koloni Inggris di Karibia. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, misi pelayaran tertunda selama 5 bulan, untuk mendapatkan cangkokan tanaman sukun. Maka, terjadilah kisah cinta antara awak kapal dan gadis-gadis cantik Polinesia. Dan Brando sendiri pun akhirnya menikah dengan Tarita Teriipaia lawan mainnya dalam film yang kemudian membuat Brando membeli sebuah pulau kecil untuk didiami dengan isterinya tersebut, yang kini menjadi Marlon Brando Island Resort.

Ketika pelayaran dilanjutkan 5 bulan kemudian, separuh awak kapal meninggalkan hatinya di Tahiti. Maka di tengah pelayaran yang keras menuju Karibia terjadilah pemberontakan oleh Lt. Christian terhadap Captain Bligh. Bligh dan 18 pengikutnya ditinggalkan di tengah-tengah Samudera Pasifik di sebuah perahu penyelamat berukuran panjang 7 meter, sextant, kompas, air minum dan makanan secukupnya, untuk mencapai pulau terdekat tanpa dibekali peta kelautan. Nasib serta takdir yang akan menentukan. Sementara Lt. Christian, dkk kembali ke Tahiti, menjemput kekasih-kekasih mereka dan akhirnya menetap di P. Pitcairns. Keturunan mereka masih ada hingga sekarang.

Terlepas dari penggambaran karakter Captain Bligh yang cenderung negatif dalam film tersebut dan mempahlawankan Lt. Christian, Captain Bligh adalah seorang pelaut ulung dan tangguh. Dari sebuah lokasi yang entah di mana di tengah-tengah Samudera Pasifik, Captain Bligh dengan ilmu astronominya berhasil mencapai P. Tofua di Tonga untuk mengumpulkan perbekalan dan menyusun strategi pelayaran selanjutnya. Tujuan pelayaran adalah mencapai lokasi dengan adimistrasi pemerintahan di mana mereka dapat berupaya kembali ke Inggris. Maka Bligh dkk berlayar terus ke barat dan ke barat hingga akhirnya mereka berhasil mencapai ujung paling utara Benua Australia. Namun tempat itu tak berpenghuni. Akhirnya setelah 47 hari berjuang, tibalah Bligh dkk. di Kupang, Timor dalam kondisi mengenaskan. Melalui Batavia (Jakarta) akhirnya Captain berhasil kembali ke Inggris. Bligh pensiun sebagai Laksamana bintang tiga di Angkatan Laut Inggris.

Lepas dari kontroversi Captain Bligh, Marlon Brando serta film Mutiny on the Bounty vs kisah sebenarnya, perjalanan Captain Bligh dari sebuah titik antah berantah di tengah-tengah Samudera Pasifik hingga mencapai Kupang dalam waktu 47 hari dalam kondisi serba kekurangan adalah sebuah epik. Kepemimpian Captain Bligh dalam kondisi survival seperti itu adalah sebuah kepemimpinan yang melegenda, lepas dari model kepemimpinan Bligh yang cenderung diktatorial, kepemimpinan tunggal yang mutlak.

Jika kita merefleksikan kisah di atas dalam kehidupan kita saat ini, kita bisa menemukan bahwa kepemimpinan di masa Pandemi COVID-19 selama 2 tahun ini mungkin mirip seperti situasi yang dihadapi oleh Captain Bligh. Pada mulanya kita tidak tahu ada di mana dan mau ke mana. Hanya satu hal yang kita tahu, “Kita harus survive dan mencapai keadaan “new normal” dan menata hidup baru”. Di antara banyak organisasi, Lembaga Alkitab Indonesia  (LAI) telah berhasil melewati masa-masa sulit seperti situasi yang dihadapi Captain Bligh, sang nahkoda. Captain Bligh berhasil tiba di Kupang, selanjutnya ke Batavia dan London. Demikian pula LAI, dalam perjalanan selama 2 tahun ini LAI telah tiba di “Kupang” dan wilayah-wilayah lainnya. Apakah makna Batavia dan London bagi LAI dalam alegori Captain Bligh? Itulah harapan dan tantangan kita bersama. 

“Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”, itulah pameo nenek moyang kita yang notabene adalah para pelaut ulung. Demikian pula tekad LAI, “Maju tak gentar, pantang menyerah karena Tuhan menyertai kita sampai akhir zaman”!, seperti janjinya pada Yesaya 41:10 [BIMK], “Jangan takut, sebab Aku menyertaimu, jangan cemas, sebab Aku Allahmu. Engkau akan Kuteguhkan dan Kutolong, Kutuntun dengan tangan-Ku yang jaya.



Pdt. Sri Yuliana