W.J.S. Poerwadarminta: Bapak Kamus Indonesia

W.J.S. Poerwadarminta: Bapak Kamus Indonesia

 

Seorang sejarawan Gereja Katolik, Martinus Petrus Maria Muskens menyebut peran gereja pada masa-masa awal berdirinya Indonesia dengan mengatakan, orang-orang Kristiani tidak memisahkan diri melainkan menyatu dan meyakini dengan baik panggilan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh seperti: Leimena, I.J. Kasimo, Prof. Slamet Mulyana, P.J. Zoetmulder, Simatupang dan seterusnya hanyalah sedikit nama yang terlibat aktif dalam masa-masa pencarian identitas bangsa dari berbagai persfektif seperti: politik, sejarah, sastra Jawa, militer dan sebagainya. Poerwadarminta termasuk di dalamnya, ia bergulat dan bertekun dalam membentuk salah satu identitas bangsa yang paling utama yaitu: bahasa Indonesia. 

Wilfridus Joseph Sabarija (W.J.S) Poerwadarminta termasuk angkatan orang Indonesia pertama yang memperkenalkan bahasa Indonesia di luar negeri setelah peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Ketika menjadi dosen bahasa Melayu di Sekolah Bahasa Asing di Tokyo (1932-1937), ia dengan percaya diri sering mengatakan kepada orang Jepang bahwa Indonesia sudah punya bahasa nasional sendiri. Barangkali hanya didorong kecintaannya Indonesia yang mendorongnya memuliakan bahasa Indonesia di negeri asing. Pak Poerwa, sapaan akrabnya, melakukannya jauh sebelum bahasa Indonesia dipakai dalam sidang-sidang Dewan Rakyat Hinda-Belanda, yaitu ketika Mohammad Hoesni Thamrin memulai pidato dalam bahasa Indonesia pada 1938. 

Sepanjang hidupnya Pak Poerwa mencurahkan sebagian besar pikirannya pada perkamusan, satu bidang yang tak kalah penting dibanding upaya orang lain, seperti Sutan Takdir Alisjahbana atau Armijn Pane, dalam meletakkan dasar-dasar tata bahasa Indonesia. Julukan Bapak Kamus Indonesia disandangkan kepadanya bukan hanya karena karya besarnya, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), yang menjadi dasar pengembangan kamus bahasa Indonesia kontemporer. Ia pun menyusun beberapa kamus lain, di antaranya Baoesastra Djawa I (bersama C.S. Hardjasoedarmo dan J.Chr. Poedjasudira, 1930); Baoesastra Walandi-Djawi (1936); Baoesastra Djawa II (1939); Kamus Nippon-Indonesia, Indonesia-Nippon (1942); Indonesisch-Nederlands Woordenboek (bersama A. Teeuw, 1950); serta Kamus Latin-Indonesia (bersama K. Prent dan J. Adisubrata, terbit secara anumerta pada 1969). Ia malah tengah menyusun kamus Inggris-Indonesia ketika ajal menjemputnya.

 

Kreatif dari Kecil

 

W.J.S. Poerwadarminta lahir dengan nama kecil Sabarija (dibaca: Sabariya) di Yogyakarta 12 September 1904. Ayahnya Raden Ngabehi Kudawiharja, adalah abdi dalem Kraton Yogyakarta yang berkarya sebagai seorang Gamel, artinya petugas pemelihara kuda Kraton. Ibunya bekerja sebagai pembuat pola batik. Sedari kecil Sabariya tinggal bersama neneknya. Neneknya termasuk rakyat jelata yang hidupnya serba kekurangan. Oleh karenanya ia tidak bisa bersekolah. Terlebih pada masa penjajahan Belanda, sulit bagi Sabarija yang bukan berlatar belakang bangsawan atau keluarga berpangkat untuk mendapatkan sekolah. Setiap hari ia lebih banyak bermain dan mengenal alam sekitarnya. Namun, kesulitan juga mengajarkan Sabarija untuk kreatif. Sejak kecil bila ingin bermain apa saja, ia membuat sendiri alat-alat permainannya. 

Pernah terjadi sewaktu kanak-kanak sekitar umur tujuh tahun ia diajak orang yang tidak dikenal (istilah sekarang mungkin diculik), kemudian dilepas/dibuang di pinggiran Kota Solo (Yogya dan Solo sekitar 65 km). Meskipun sebelumnya Sabarija belum pernah menginjakkan kakinya di kota Solo, tetapi karena ia mempunyai naluri dan kreativitas yang tinggi, ia berpikir bila ia berjalan kaki menyusuri jalan kereta api ke arah barat maka nantinya akan sampai juga ke Yogyakarta. Maka, ia kemudian berjalan pelahan menyusuri rel kereta api Solo-Yogya tersebut. Karena kelelahan dan lapar akhirnya sampai dekat desa Prambanan (47 km dari Solo) Sabarija pingsan. Untunglah ia ditolong oleh seorang kusir andong (kereta kuda khas Yogyakarta) dan diantara sampai ke rumahnya di Jl. Gamelan, Yogyakarta. 

Neneknya sangat sedih dan prihatin melihat nasib Sabarija. Kebetulan ada seorang pastor yang iba melihat nasib Sabarija. Maka pastor tersebut meminta izin untuk mengambil Sabarija untuk disekolahkan di Sekolah Angka Loro (Tweede Inlandsche School) di Kintelan Yogyakarta. Sabarija lulus dari Sekolah Angka Loro pada 1919. 

Atas persetujuan orang tuanya Sabariya, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru (Normal School Rooms Katholiek) di Moentilan sampai kelas dua, dan dilanjutkan lagi di Ambarawa sampai kelas tiga. Biaya pendidikan di sekolah tersebut ditanggung oleh Gereja Katolik. Mulai saat itulah ia mengenal dan belajar agama Katolik, iman yang kemudian menjadi pilihan hidupnya. 

Selama dalam pendidikan di asrama Ambarawa, ia mempunyai prestasi belajar yang sangat mengagumkan melebihi dari teman-teman sekolahnya. Di luar prestasi akademis,  Sabarija amat berbakat di dalam seni tari, seni karawitan, dan memainkan alat musik gamelan. Ia juga senang bermain drama dan pernah mendapat hadiah nomor satu pada saat ia bermain drama di sekolah tersebut. Ia sangat disukai oleh teman-teman sekolahnya karena sangat sopan, lemah lembut, jujur, tekun dan cerdas. Pada 25 April 1923, Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta tamat dari Sekolah Guru tersebut dengan predikat lulusan terbaik.

Setelah tamat Sekolah Guru, ia segera mendapat pekerjaan sebagai guru di Sekolah Dasar Kanisius di Kumendaman – Yogyakarta. Pada pada masa itu menjadi lulusan Normaalschool harus rela dipandang sebelah mata. Mereka sering dibanding dengan guru lulusan Kweekschool yang lebih sejahtera. Lulusan Normaalschool digaji 40 gulden sebulan, sedangkan lulusan Kweekschool 75 gulden. Karenanya, lulusan Normaalschool diejek dengan julukan “sega abang” (nasi merah), berbeda dengan lulusan Kweekschool yang “sega putih” (nasi putih).  Ejekan itu sesungguhnya bukan hanya soal gaji semata yang berbeda, tapi juga soal bahasa pengantar pelajaran mereka di sekolah yang “beda derajat”. Bahasa pengantar sehari-hari di Kweekschool adalah bahasa Belanda—berbeda dengan Normaalschool jang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar. Perbedaan ini sering menjadi bahan ejekan para gadis pelajar Sekolah Guru di masa itu. Hal ini pula yang akhirnya memacu Poerwadarminta nantinya belajar berbagai bahasa asing. 

Setelah menjadi guru, Poerwa tetap dengan cara hidupnya yang tertib, disiplin dalam pengaturan waktu, sehingga ia sempat mengkuti kursus-kursus seperti Bahasa BelandaBahasa InggrisBahasa PrancisBahasa Jerman. Ia juga belajar Filsafat sekaligus memperdalam Bahasa Belanda di bawah asuhan Pater J. Van Rijkckevorsel S.J. dan belajar Sastra Jawa Kuno dibawah asuhan Pater L.C. Kock S.J, mahaguru Filsafat Kolese Igantius di Yogyakarta. Selain itu ia juga belajar bahasa Sanskerta dan bahasa Melayu.

Untuk mempraktikkan bahasa-bahasa yang telah dipelajari, maka ia memberanikan diri menjadi pemandu wisata (guide) bagi wisatawan asing yang mengunjungi  lingkungan Kraton dan Tamansari di Yogyakarta. Banyak turis asing terkagum-kagum karena ada orang Jawa pakai blangkon, kain dan baju lurik, telanjang kaki bisa berbicara dengan fasih beberapa bahasa asing.

Tahun 1929 W.J.S. Poerwadarminta ditugaskan mengajar di Sekolah Dasar Kanisius di Wirobrajan – Yogyakarta. Di situlah ia mempunyai teman-teman yang sehaluan dan mendukung Pak Poerwa untuk mencurahkan pengetahuan tentang bahasa. Lalu didirikan organisasi Ikatan Tri Wikrama dan W.J.S. Poerwadarminta menjadi ketuanya. Poerwadarminta merintis penerbitan majalah bernama Bausastra Jawa dengan ia menjadi pemimpin redaksinya.

Tahun 1930, terbit Kamus Bahasa Jawa ( Bau Sastra Jawa ) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta dibantu oleh rekan-rekannya C.S. Hardjosoedarmo dan J.Chr. Pujosudiro. Setelah itu berturut-turut disusun buku karangan tunggal W.J.S. Poerwadarminta antara lain Serat Mardi Kawi, yang berisi pelajaran bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan novel berjudul Pacoban. Meskipun sangat sibuk, ia masih sempat mengajar bahasa di Sekolah Seminari Agung dan Sekolah Tionghoa ( Maleisch Chineesche School ) di Yogyakarta.

Tahun 1932 ada tawaran dari Pemerintah Jepang yang mencari tenaga pengajar bahasa Indonesia, atas dorongan dari teman-temannya dan seizin orang tuanya, maka berangkatlah ia bersama istrinya dan putrinya yang masih berumur 9 bulan ( C Soetantri ) ke Jepang sebagai duta bangsa. Di Jepang ia selalu menyatakan kepada orang-orang Jepang bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa Nasional yaitu Bahasa Indonesia. Selama di Jepang ia bertugas sebagai dosen di Guko Hugo Gakko, Tokyo. Meski sibuk, selama di Tokyo ia masih sempat mengikuti kuliah Kesusastraan Inggris dan di mengikuti kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sophia.

Tahun 1937 W.J.S. Poerwadarminta kembali ke Indonesia, dan untuk sementara waktu ia tinggal di Yogyakarta, kemudian pergi ke Batavia untuk mencari pekerjaan dan diterima menjadi pegawai di Balai Pustaka. Pada tahun 1938 di Balai Pustaka ia bersama-sama dengan temannya menerbitkan majalah Kedjawen  di mana ia menjadi pimpinan redaksi, hal ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh bahasa saat itu.

Tahun 1942 pada masa pendudukan Jepang, ia dicari-cari oleh bala tentara Jepang karena ia dianggap bisa menjadi penterjemah bahasa Jepang, maka ia diangkat sebagai juru bahasa di kantor Kempetai. Poerwadarminta diberi tugas untuk menyusun Kamus Bahasa Jepang dan buku-buku pelajaran bahasa Jepang, maka diterbitkanlah buku “Poentjak Bahasa Nippon“ susunan W.J.S. Poerwadarminta. Meskipun sibuk, ia masih sempat mengajar bahasa Jepang di beberapa sekolah di Jakarta dan mengajar di Sekolah Teknik di Bandung.

Tanggal 7 Maret 1946 dengan surat keputusan No 183/Bhg. Oemum, terbitlah surat keputusan Kepala Departemen Pengajaran dan Kebudayaan atas nama Presiden Republik Indonesia terhitung 28 Februari 1946 Poerwadarminta  ditugaskan di Kantor Musium Jakarta. Di tempat ini ia bertugas membantu Volkslectuur bagian Bibliotheek. Disamping tugas di kantor tersebut ia masih memberikan kuliah beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta .

Tanggal 1 Juni 1949 berdasarkan surat keputusan No 50/P.K.F/L.B.K/U.P W.J.S. Poerwadarminta diangkat sebagai pembantu dalam bidang Ilmu Pengetahuan, untuk sementara ditugaskan untuk bidang Kamus Melayu pada Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan dari Fakultet Kesusastraan dan Filsafat dari Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia Serikat.

Tanggal 10 Januari 1953 berdasarkan surat keputusan No 1075/C.III, W.J.S. Poerwadarminta ditugaskan di Lembaga Bahasa dan Budaya Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Indonesia di Jakarta di Bagian Leksikografi. 

Bagaimana Poerwadarminta Menyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia

Karya magnum opus Pak Poerwo tentu saja adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Edisi pertamanya terbit pada 1952 oleh Penerbit Balai Pustaka. Menurut Swantoro dalam karyanya Dari Buku Ke Buku, penyusunan kamus ini sudah dimulai pada 1943. Sekira tujuh tahun dihabiskan untuk mengumpulkan kata-kata dan tiga tahun berikutnya untuk menyusunnya menurut sistem yang ia sebut “sederhana dan praktis”. 

Sebagai patokan awal pengumpulan kata-kata, Pak Poerwa mempergunakan novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1936. Ia mengumpulkan juga kata-kata yang dipergunakan sebelum tahun 1925 dari sekitar 40 buku yang terbit di tahun yang sama atau sebelumnya. “Semua kata yang terkumpul, disusun dalam sistem kartu menurut abjad. Setiap kata ditulis pada sehelai kartu, disertai keterangan-keterangan yang sekiranya diperlukan, seperti terdapat di mana saja, apa sajakah artinya, bagaimana penggunaannya. Semua bacaan yang sudah diambil kata-katanya harus disimpan baik-baik, didokumentasikan, sebagai bahan pertanggungjawaban,” tulis Swantoro. 

Dalam memilih kata, Pak Poerwa punya suatu pedoman tersendiri. Setiap kata itu harus sudah dipakai di lima tempat—yaitu Medan, Batavia, Surabaya, Ambon, dan Makassar—dan terdapat dalam lima buku atau majalah serta digunakan oleh lima pengarang berbeda. Jelas ini bukan suatu pekerjaan yang gampang. Bahkan kalau boleh dikatakan suatu kerja yang rumit. Maka tak heran bahwa ia butuh waktu hingga tujuh tahun untuk mengerjakan proses ini. Persoalan pelik lainnya adalah memberi arti atau pemerian yang tepat untuk suatu kata. Tentang ini rekan Pak Poerwa, Adisubrata, menulis, “Seringkali untuk penjelesaian satu kata sadja diperlukan waktu satu hari.” 

Bagaimana Pak Poerwa bisa begitu tahan mengerjakan semua proses rumit itu sendirian? Bekalnya adalah ketekunan dan disiplin metode ditunjang daya ingat yang kuat dan keduanya telah dikenal melekat pada diri Pak Poerwa sejak remaja. 

Banyak ahli menganggap Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta sebagai karya yang “datang di saat yang tepat di awal sejarah leksikografi bahasa Indonesia, dan unggul dalam pilihan contoh-contoh penggunaan kata-katanya”. Sementara itu, ahli linguistik Harimurti Kridalaksana menyebut, “tampaknya semua pekerjaan perkamusan bahasa Indonesia pada masa-masa yang akan datang harus mempergunakan kamus itu sebagai landasan”. Para penerjemah Alkitab pada masanya sangat tertolong bantuan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), sebagai standar baku bahasa pada masanya ketika menyelesaikan karya besar Alkitab Terjemahan Baru. 

Meskipun karyanya dipuji begitu banyak orang, Pak Poerwa menganggap KUBI bukanlah karya yang sempurna. Menurutnya, sebagaimana lazimnya kamus, selalu terlambat lima tahun. Karena itu, usai edisi pertama KUBI terbit, ia masih harus memperbaikinya selang sepuluh atau 15 tahun. Begitulah ketekunan Pak Poerwa yang tidak mengenal kata berpuas diri. Tak heran jika kemudian ahli-ahli bahasa setelahnya banyak menjulukinya sebagai Bapak Perkamusan Indonesia.

Akhir Hayat

Pernah Poerwadarminta dicalonkan untuk menerima gelar Doktor Honoris Causa dari sebuah perguruan tinggi tetapi ia menolaknya. Jabatan terakhirnya adalah sebagai pegawai Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan. Di luar Kamus Umum Bahasa Indonesia, karya besarnya adalah Kamus Bahasa Latin-Indonesia yang disusun bersama drs. K. Prent CM dan drs. J. Adisubrata. 

Sebagai pekamus ulung, Pak Poerwa tetap tekun bekerja. Masa pensiun dan usia senja tak menghentikannya berkarya. Pertengahan November 1968, di usianya yang ke-64, ia masih sempat mengumpulkan bahan untuk menyusun sebuah kamus Indonesia-Inggris. 

Karena sudah sepuh, Pak Poerwa—panggilan akrabnya—meminta bantuan putri sulungnya untuk mengetik. Ia dan putrinya baru menyelesaikan sekitar seratus lembar ketika tiba-tiba saja Pak Poerwa mengeluh sakit perut. Tak mempan dengan obat biasa, keluarga memutuskan membawanya ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Pak Poerwa akhirnya dioperasi. Tetapi, kondisi kesehatannya malah semakin menurun. Pada Kamis Kliwon, 28 November 196 Pak Poerwa wafat. Seorang rama pastor memberikan kesaksian, sewaktu ia menengok Pak Poerwa di rumah sakit, beliau masih sempat berjanji akan membantu gereja memperbaiki terjemahan doa-doa misa suci.

Poerwadarminta telah meninggalkan kita. Namun karyanya jauh melintasi usianya. Kamus Umum Bahasa Indonesia hasil jerih payahnya telah memberi sumbangan yang tak ternilai dalam pembakuan kosakata bahasa Indonesia lewat usaha keras yang cermat, sistematis, dan menuruti prinsip-prinsip ilmu perkamusan. 

Sekarang di rak-rak perpustakaan sekolah, perguruan tinggi, di meja-meja biro iklan maupun perkantoran  sudah umum terlihatrr penerus KUBI-nya Pak Poerwo, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ukurannya sudah jauh lebih tebal dan besar. Swantoro menulis, menyusun kamus di masa sekarang tidak selama ketika dahulu Poerwadarminta mulai bekerja. Pak Poerwa bekerja sendirian, dalam kesunyian dan keterbatasan. Sementara Pusat Bahasa adalah tim yang terdiri dari banyak ahli. Jumlah anggota timnya 13 orang, belum terhitung Ketua dan Konsultan. Mereka ditunjang 24 pakar dari 24 bidang keahlian sebagai penyumbang istilah dan 90 orang pengumpul data. Setelah semua data terkumpul dan terverifikasi, masing ada 6 kelompok penyunting yang bekerja, di luar pembantu teknis! Semua didukung dengan perlengkapan canggih berbasis komputer. Jika hari ini Pak Poerwa masih hidup, ia akan berdecak-decak sambil menggelengkan kepalanya.