YESUS BUKAN ORANG KAYA

YESUS BUKAN ORANG KAYA

 

Pada tahun 2018, Holywood merilis sebuah film yang dalam sekejap menjadi top box office dunia. Film ini dibintangi oleh Michelle Yeoh dan berkisah tentang cinta dan naluri seorang ibu yang ingin melindungi seorang gadis muda cemerlang dan intelektual dari intrik-intrik, persaingan serta perselingkuhan di lingkungan keluarga besar konglomerat. Juga berkisah tentang masa lalu seorang perempuan dari kalangan biasa yang berjuang untuk dapat diterima dan akhirnya mampu menjadi kepala rumah tangga sebuah keluarga besar konglomerat. Sebuah kisah adu kecerdasan dan keputusasaan yang berakhir bahagia. Sebuah film dengan plot yang menarik sekaligus romantik. Film ini adalah The Crazy Rich Asians.

Namun sayang sekali, yang diingat oleh kebanyakan penonton adalah pameran kekayaan dan kemewahan luar biasa yang  ditampilkan film ini. Film ini kemudian melahirkan sebutan The Crazy Rich Surabayans, The Crazy Rich Indonesians, Sultan Bintaro, dsb. Inti pesan yang ingin disampaikan oleh film ini tidak lagi penting dan terlupakan. Akibatnya, di negeri ini semakin marak pameran kekayaan ditampilkan oleh para pesohor negeri  melalui media-media sosial, khususnya Youtube. Hal ini segera saja mendapat respons dari para pengamat sosial seperti Ade Armando, Rudi S. Kamri, Rhenald Kasali, dll yang mengatakan bahwa gejala pameran kekayaan seperti ini sangatlah tidak sehat bagi bangsa.

Sayangnya, pesan-pesan dari pengamat sosial itu bagaikan “Anjing menyalak, kafilah tetap berlalu”. Unggahan pameran kekayaan tetap berlanjut. Namun di tahun 2022, bagaikan dilanda  tsunami, para crazy rich ini satu persatu bertumbangan, mulai dari yang terjerat kasus kriminal, maupun yang terbukti bahwa unggahan mereka di media sosial hanyalah upaya menaikan status sosial belaka. Pesawat pribadi, kapal pesiar/yacht, mobil mewah yang ditampilkan sebagai latar di video-video hanyalah sewaan, bukan milik pribadi. Belakangan upaya-upaya unggahan kemewahan tersebut ditengarai sebagai upaya “flexing” guna mendukung upaya pemasaran produk/jasa yang mereka tawarkan. Puncak dari kekacauan flexing belum lama ini terjadi ketika sejumlah pengusaha non-fashion tertipu mempromosikan produk dan jasa mereka di forum, “during Paris Fashion Week”, bukan di “Paris Fashion Week”, yang merupakan forum promosi bagi para perancang busana muda, sebuah forum bagi para debuntante. Begitulah yang terjadi ketika keinginan untuk melakukan “giant leap” mengalahkan akal sehat.

Di lingkungan gereja, dalam komunitas tertentu, pameran kekayaan, persaingan yang disertai intrik-intrik banyak juga terjadi. Seperti pameran mobil mewah, tas bermerk, arloji mahal, berbicara dalam bahasa asing, menjadi semacam status simbol. Kursus teologi bagi para sosialita di hotel berbintang dengan upacara wisuda yang mewah bagi para lulusannya adalah fenomena crazy rich yang lain. Bagi mereka ini “kekayaan” adalah simbol berkat, simbol iman. Oleh karena itu, para petinggi gereja pun dipenuhi oleh orang-orang semacam ini.

Fenomena ini mengingatkan saya sebuah kejadian ketika bepergian menggunakan taksi. Pengemudi taksi bertanya, “Ibu orang Kristen?” Rupanya pengemudi taksi itu melihat bros salib kecil yang saya kenakan. “Ya, mengapa Pak?” Kemudian berceritalah pengemudi taksi itu bahwa ia sedang mencari gereja di lingkungan dekat rumahnya. Ia adalah orang Kristen yang sudah lama terhilang. Sudah lama sekali tidak ke gereja. Belum lama ia diajak teman ke gereja, ke sebuah gereja besar, dan ia pun menemukan lagi habitatnya, menemukan lagi kegembiraannya bergereja dan menemukan lagi imannya. Namun ia merasa berada di lingkungan yang salah. “Saya senang, saya gembira, saya menemukan kebahagiaan dan keharuan berada di gereja. Namun saya tidak nyaman berada diantara orang-orang kaya di gereja itu, saya ingin mencari gereja yang tidak terlalu besar, gereja yang akrab seperti di kampung saya…”, katanya.

Lalu apa teladan Yesus terhadap situasi semacam ini? Matius mencatat perkataan Yesus, “Serigala punya liang, dan burung punya sarang, tetapi Anak Manusia tidak punya tempat berbaring” [Matius 8:20 – BIMK]. Ini jelas, setidaknya bagi saya, bahwa Yesus bukan orang kaya. Ia berkeliling selama 3 tahun masa pelayanan-Nya yang singkat. Tetapi dalam kesederhanaan dan kebersahajaan-Nya, Yesus mampu mengubah Zakheus seorang pemungut cukai, yang tentu saja kaya, mendonasikan separuh hartanya untuk kepentingan sosial. 

Ya, setiap orang mempunyai perannya masing-masing. Tentang kekayaan atau harta, Paulus menasehati Timotius demikian, “Kepada orang-orang yang kaya di dunia ini, hendaklah engkau minta supaya mereka jangan sombong dan jangan berharap kepada barang-barang yang tidak tetap seperti halnya dengan kekayaan. Mereka harus berharap kepada Allah yang memberikan segala sesuatu kepada kita dengan berlimpah supaya kita menikmatinya. Mintalah kepada mereka untuk menunjukkan kebaikan, untuk banyak melakukan hal-hal yang baik, murah hati dan suka memberi. Dengan demikian mereka mengumpulkan harta yang menjadi modal yang baik untuk masa yang akan datang. Dan dengan itu mereka akan mendapat hidup kekal, yakni hidup yang sejati.” [1 Timotius 6: 17-19. BIMK] .

Tidak salah menjadi kaya, namun hendaknya kita peka terhadap lingkungan dimana kita berada. Dengan kekayaan kita bisa berbuat baik kepada masyarakat dimana kita berada. Namun dalam kesederhanaan kita juga dapat berbuat kebaikan. Yesus bukan orang kaya, namun Dia bisa mengubah dunia. Dengan demikian nama Tuhan dipermuliakan dan kerajaan Tuhan datang, di bumi seperti di surga.


Pdt. Sri Yuliana, M.Th.