Sembilan ayat perdana dalam pasal 35 ini merupakan pendahuluan atas rangkaian kegiatan produksi segala benda yang diperlukan terkait praktis ritus keagamaan orang Israel untuk menjalankan segala ketetapan yang juga sudah disampaikan oleh TUHAN. Hal yang menarik adalah Musa mengawalinya dengan menegaskan, untuk sekali lagi, perihal ketaatan menjalankan Sabat. Seluruh orang Israel harus menghentikan kegiatan mereka untuk menjalani Sabat sebagai wujud meneladani keputusan TUHAN menggunakan hari ketujuh sebagai waktu peristirahatan. Hari ini perlu dijalani bukan untuk bermalas-malasan, melainkan sebagai sebuah perhentian kudus yang menjadi momentum bagi seluruh umat untuk mengingat, memaknai dan membekali diri mereka dengan seluruh kesadaran akan jalannya kehidupan yang mereka alami di dalam TUHAN.
Menjalani hari Sabat juga menjadi sangat penting dalam kehidupan beriman umat TUHAN, yakni agar mereka tidak kehilangan makna di tengah rutinitas yang akan mereka jalani Rutinitas memang belum tentu buruk, terlebih ketika rutinitas itu dilakukan untuk mencapai target-target spesifik yang sungguh-sungguh baik, misalnya seperti rangkaian pekerjaan produksi benda-benda penunjang ritus keagamaan seperti yang disampaikan oleh Musa. Namun, rangkaian kegiatan produksi tersebut dapat membawa orang Israel masuk dalam ketersesatan atau kehambaran pemaknaan. Oleh sebab itu, diperlukan momen-momen khusus bagi mereka untuk menahan diri dan menggunakan waktu tersebut untuk meresapi nilai-nilai yang ada dari setiap hal yang akan mereka lakukan.
Sahabat Alkitab, kemunculan mandat untuk tetap mempertahankan hari Sabat dalam rangkaian panduan untuk membuat sarana peribadahan memberikan kita pelajaran beriman untuk kembali mengevaluasi nilai dari setiap ritus yang kita lakukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak ritus yang kita lakukan sebagai bagian dari kehidupan beriman. Namun, hal yang perlu kita cermati lebih lanjut adalah sejauh mana kita memaknainya dalam keseluruhan hidup beriman itu sendiri? Apakah hati dan pikiran kita masih tertuju kepada TUHAN dalam setiap kegiatan ritus yang kita lakukan atau kita justru melakukannya sebatas kebiasaan yang minim makna?