Melalui tafsirannnya, Yohanes Calvin menganggap Nebukadnezar sebagai orang dengan keimanan yang sementara kepada Allah. Ia berulang kali mengakui dan memuliakan Allah, namun berbalik pongah kemudian. Hal ini sangat dibuktikan dengan sikap Nebukadnezar yang berulang-kali berubah terhadap Allah. Pada ayat 29 memang dituliskan bahwa Nebukadnezar berkata, “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya kepada-Nya, dan melanggar titah raja, dan yang menyerahkan tubuh mereka, karena mereka tidak mau memuja dan menyembah allah manapun kecuali Allah mereka.”
Pada satu sisi, kita dapat menilai pernyataan ini disampaikan oleh Nebukadnezar sebagai sebuah pengakuan kuasa Allah yang didasari oleh perasaan takut. Peristiwa yang baru saja ia saksikan, ketika Sadrakh, Mesakh dan Abednego keluar dari perapian tanpa terjadi sesuatupun telah menimbulkan ketakutan yang begitu besar dalam diri Nebukadnezar. Ia memandang Allah sebagai sosok yang berkuasa. Hal yang disayangkan adalah ia hanya memandang Allah secara demikian, dari perspektif kekuasaan. Mungkin ini pula yang membuat Nebukadnezar, seperti penilaian Calvin, berulang kali mengubah sikapnya terhadap Allah. Tidak heran jika berikutnya Nebukadnezar justru memberikan titah yang menimbulkan ketakutan tambahan bagi rakyatnya.
Seperti yang muncul pada ayat 29, Nebukadnezar berkata, “Sebab itu aku mengeluarkan perintah, bahwa setiap orang dari bangsa, suku bangsa atau bahasa mana pun ia, yang mengucapkan penghinaan terhadap Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego, akan dipenggal-penggal dan rumahnya akan dirobohkan menjadi timbunan puing, karena tidak ada allah lain yang dapat melepaskan secara demikian itu.” Nebukadnezar menanamkan ketakutan dalam diri rakyat Babel terhadap Allah.
Apakah sikap demikian adalah hal yang benar dalam kehidupan beriman? Apakah beriman kepada Allah berarti kita menjadi ketakutan terhadap-Nya? Apakah iman berarti ketakutan? Kita tentu sepakat bahwa sikap yang demikian tidak dapat dikategorikan sebagai wujud iman. Iman yang demikian bersifat sementara karena pada saat ketakutan itu mulai pudar, maka pada saat itulah keimanan akan menghilang.
Sahabat Alkitab, marilah kita membangun keimanan yang berlandasakan ketulusan kepada Allah, bukan berlandaskan ketakutan.
Iman semestinya dibangun dengan dasar ketulusan dan keintiman relasi, bukan melalui perasaan takut apalagi terancam.