Setiap umat TUHAN tentu sepakat bahwa ‘kepercayaan’ merupakan faktor penting yang harus muncul dalam hidup beriman. Tanpa adanya ‘percaya’ pada diri seorang umat, tentu ia akan kehilangan pegangan prinsip iman dan tujuan hidupnya dalam mengikuti TUHAN. Persoalannya adalah menjadi percaya tidak begitu saja mudah untuk dilakukan seperti dikatakan. Seseorang bisa berkata ‘aku percaya’ meski dalam kondisi nyata justru menjadi ‘aku hampir percaya’. Apalagi, segala dinamika kehidupan yang muncul dengan beragam situasi dan kondisinya kerap menjadi tantangan bagi seseorang untuk benar-benar percaya kepada TUHAN.
Salah satu faktor yang dapat melunturkan kepercayaan pada diri seorang umat TUHAN adalah ketakutan. Pada saat seseorang mengalami kondisi hidup yang begitu berat hingga ia mengalami ketakutan, ia pun dapat meragukan kehadiran dan karya TUHAN. Pada saat seseorang begitu cemas dalam memikirkan masa depan hidupnya hingga ia mengalami ketakutan atas sesuatu yang belum nyata, ia pun dapat mulai menyangsikan kuasa TUHAN. Ketakutan semacam ini pula lah yang dialami oleh Abram, tepatnya mengenai persoalan keturunan yang tak kunjung tiba dalam garis keluarga Abram dan Sarai. TUHAN pun tidak tinggal diam membiarkan Abram menghadapi ketakutannya sendirian. Justru, di tengah momen itulah TUHAN hadir dan berdialog dengan Abram untuk menyampaikan janji, meneguhkan percaya dan menumbuhkan iman Abram. Pada saat Abram mendengarkan perkataan TUHAN dengan segala janji dan kuasa pemulihan iman yang terkandung di dalamnya, ia pun meresponsnya segera dengan sebuah kepercayaan. Abram tidak bernegosiasi dengan TUHAN atau menyangsikan perkataan janji tersebut. Ia hanya memilih untuk percaya. Inilah sebuah kebenaran yang TUHAN temukan pada diri Abram, yakni sebuah kepercayaan akan firman-Nya di tengah kondisi hidup yang menimbulkan ketakutan pada diri Abram.
Sahabat Alkitab, pada hari ini kita telah diingatkan bahwa percaya pada firman TUHAN adalah sebuah kebenaran di hadapan TUHAN. Memang, memercayai firman TUHAN tidaklah sekadar berkata-kata. Pasang dan surutnya kehidupan menjadi arena pelatihan terhadap kepercayaan kita kepada TUHAN. Namun, justru hal inilah yang membuat kita semakin tersadar bahwa memercayai TUHAN bukanlah sebuah hal klise atau konsep abstrak belaka, melainkan sebuah komitmen untuk menjalani pilihan yang kita tetapkan sebagai seorang pengikut TUHAN.