Manusia selalu punya cara dalam mengabadikan kenangan. Misalnya pada zaman dahulu orang sering mencetak foto orang yang mereka kasihi dan meletakkannya di dompet agar mudah untuk dijangkau. Peristiwa-peristiwa bersejarah dalam hidup seseorang, seperti wisuda atau pernikahan, diabadikan dalam foto dan dipajang dengan baik di ruang keluarga masing-masing rumah. Bahkan media sosial mencoba untuk menduplikasi perilaku ini dengan menampilkan aktivitas-aktivitas di medsos secara berkala. Rupanya pola yang sama dalam membangkitkan kenangan akan suatu peristiwa juga dilakukan oleh Allah saat Ia menyampaikan dengan detail kepada Yehezkiel bagaimana seharusnya kelak bait suci akan dibangun kembali.
Pada teks kali ini kita mendapatkan gambaran tentang pelataran dalam. Pintu-pintu gerbang ke pelataran dalam ini sama persis dengan pintu-pintu gerbang pelataran luar, baik dari ukuran, kamar jaga, serambi, dan ukiran-ukiran tiangnya juga sama. Akan tetapi khusus untuk tangga, ada perbedaan antara tangga yang terdapat di pelataran luar dan pelataran dalam. Tangga menuju pelataran luar pada setiap pintu gerbang berjumlah tujuh tingkat (ayat 22-26), pelataran luar merupakan tempat umat beribadah. Sedangkan tangga ke pelataran dalam, tempat para imam bertugas, pada setiap pintu gerbang berjumlah delapan tingkat (ayat 31,34,37). Hal menarik dari bangunan ini, pada tiang-tiang temboknya terukir gambar pohon kurma. Pohon kurma yang disebutkan disini mungkin merupakan sejenis pohon kurma yang tingginya dapat mencapai 18 meter dan umurnya dapat mencapai 200 tahun. Ukiran pohon kurma juga menghiasi bait suci pertama yang dibangun oleh raja Salomo. Pohon kurma sebagai icon peradaban gurun, selain memiliki fungsi sebagai dekorasi karena keindahannya, pohon kurma juga biasa digunakan sebagai gambaran/simbol kesuburan dan berkat (Mazmur 92: 13). Mungkin penempatan ornamen pohon kurma di bait suci merupakan cara Allah untuk mengingatkan umat akan janji penyertaannya. Sehingga bayangkanlah kelak ketika Bait Suci ini telah berdiri teguh, umat akan teringat segala janji penyertaan Tuhan saat ia melihat ornamen pohon kurma tersebut.
Sebagai seorang manusia, kita hidup dalam dinamika iman yang terkait dengan apa yang kita alami di kehidupan sehari-hari. Mungkin ada kalanya kita begitu teguh menjalani hidup berlandaskan kasih serta pengharapannya, tetapi di lain waktu hidup menjadi terasa begitu berat. Bahkan seolah olah kita merasa berkat-berkat Tuhan telah pergi dari kehidupan kita. Maka kiranya kita juga dapat memaknai aneka ragam peristiwa sebagai simbol dari kasih serta penyertaan Allah, sebagaimana bangsa Yehuda diingatkan akan janji Allah melalui ornamen pohon kurma yang terukir di bait suci. Dalam keterpurukan kita masih dapat melihat sinar matahari yang menyentuh kulit kita, makanan yang masih dapat kita santap, atau udara yang kita hirup sebagai “ornamen-ornamen” dari Allah untuk mengingatkan akan penyertaan-Nya.