Viktor Frankl, seorang penyintas Holocaust dan penulis Man’s Search for Meaning, pernah berkata, “Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way”. Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri. Frankl mengalami penderitaan yang begitu dalam, kehilangan keluarganya di kamp konsentrasi Nazi, dan menghadapi kematian setiap hari. Namun, dari kegelapan yang begitu pekat, ia menemukan bahwa harapan dan makna tidaklah bergantung pada keadaan luar, melainkan pada bagaimana kita meresponsnya. Kisah Frankl mengingatkan kita pada perjalanan Ayub. Ia mengalami penderitaan yang tak terbayangkan, kehilangan harta, keluarga, dan kesehatannya. Namun ia tetap bertahan dalam pencarian makna di tengah keputusasaan.
Ayub menyadari bahwa hidupnya ada dalam rancangan Allah, tetapi ia tidak mampu memahami maksud penderitaan yang menimpanya. Ia merasa tertuduh tanpa tahu apa kesalahannya. Ia memohon agar Allah menjelaskan, apakah benar penderitaannya adalah hukuman atas dosa, ataukah ada alasan yang tersembunyi di balik semua ini. Dalam keheningan batinnya, Ia bergulat dengan dua kemungkinan, jika ia bersalah maka layakkah hukuman ini? Jika ia benar, mengapa ia tetap menderita? Ayub mencapai puncak kepedihan ketika ia mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri. Seandainya ia tidak pernah lahir, ia tidak perlu merasakan kesengsaraan ini. Ia berbicara tentang kehidupan yang fana, yang hanya sekejap lalu lenyap dalam bayang kematian. שְׁאוֹל (Sheol), tempat kegelapan dan ketidakpastian, seakan lebih masuk akal baginya daripada kehidupan yang terus dihantui oleh derita.
Namun, justru dalam keputusasaan Ayub, kita melihat secercah harapan. Ia tidak berkata bahwa Tuhan tidak ada. Ia tidak menyangkal keberadaan-Nya. Ia hanya ingin Tuhan meninggalkannya sejenak, agar ia dapat menikmati sedikit kelegaan sebelum akhirnya ia menutup mata dalam ketidakpastian. Harapan itu tetap ada, meski samar dan tertutup kabut penderitaan. Seperti embun pagi yang hadir di balik kabut, Ayub tanpa sadar tetap menggantungkan dirinya kepada Allah yang ia anggap telah meninggalkannya.
Sahabat Alkitab, setiap orang pasti mengalami tantangan dalam hidup, seperti kehilangan, kegagalan, dan kesedihan yang mendalam. Dalam situasi sulit, kita bisa memilih untuk merespons dengan iman dan keteguhan hati. Meskipun terang Tuhan mungkin tak selalu tampak, bukan berarti Ia tidak hadir. Hari ini kita kembali diingatkan bahwa di tengah kegelapan, kita tetap dapat menemukan cahaya jika kita berserah kepada Tuhan. Seperti Ayub, kita mungkin tidak langsung memahami alasan penderitaan, tetapi iman menuntun kita untuk tetap percaya bahwa Allah memiliki rencana yang lebih besar.