Ayub, yang dahulu dihormati karena kebajikan dan keberhasilannya, kini menjadi sosok yang dirundung derita tanpa henti. Sahabat-sahabatnya, tidak memberikan penghiburan, tetapi justru menerima penghakiman. Dalam perikop ini, kita bertemu dengan Zofar, sahabat yang berbicara paling sedikit, tetapi paling tajam dan keras. Ia melihat penderitaan Ayub bukan sebagai ujian iman, melainkan sebagai hukuman yang bahkan masih lebih ringan daripada yang seharusnya Ayub terima. Dengan penuh kepastian, Zofar menegaskan bahwa Tuhan Maha Tahu dan Maha Kuasa, sehingga mustahil bagi Ayub untuk memahami maksud-Nya.
Zofar, seperti Elifas dan Bildad, berusaha mengajak Ayub untuk menyadari bahwa ia bersalah. Namun, ia melampaui batas dengan menganggap penderitaan Ayub sebagai konsekuensi yang wajar atas kesalahannya. Tanpa belas kasih, ia menyindir Ayub, membandingkannya dengan keledai liar yang mustahil menjadi bijak. Penghakiman ini tidak hanya menyakitkan bagi Ayub, tetapi juga keliru. Sebab, dari awal Allah sendiri telah menyebut Ayub sebagai orang yang tak bercela (Ayub 1:8, 2:3).
Penghiburan yang berubah menjadi penghakiman sering kali lahir dari ketidaksabaran dan keinginan untuk memahami penderitaan dalam kerangka logika manusia. Sahabat-sahabat Ayub memulai dengan empati, tetapi perlahan-lahan kehilangan kesabaran. Mereka mengira bahwa penderitaan harus selalu berakar pada dosa. Mereka menolak untuk menerima bahwa ada misteri dalam rencana Allah yang melampaui pemahaman manusia. Di sinilah letak bahayanya, ketika manusia merasa tahu segalanya tentang Allah, mereka bisa tergelincir ke dalam kesombongan rohani. Saat membicarakan tentang kebesaran Allah, Zofar tidak melihat ruang belas kasih Allah. Ayub memang mempertanyakan Tuhan, tetapi ia tidak pernah menyangkal-Nya, Ia hanya ingin memahami. Sayangnya Zofar menyalahartikan keluhan itu sebagai omong kosong yang tak layak dibenarkan.
Sahabat Alkitab, betapa sering kita tergoda untuk menjadi seperti Zofar, cepat menilai seseorang tanpa benar-benar memahami penderitaan yang mereka alami. Kita lupa bahwa kata-kata yang kita ucapkan dapat menjadi pisau yang melukai, bukannya obat yang menyembuhkan. Dalam dunia yang penuh dengan penderitaan, mungkin kita tidak selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang sedang berduka. Namun, kita bisa hadir, mendengarkan, dan mengasihi tanpa perlu menghakimi. Kebijaksanaan sejati bukanlah sekadar mengetahui banyak hal, tetapi juga memahami kapan harus diam dan membiarkan kasih berbicara lebih lantang daripada kata-kata.