Di tengah tekanan hidup, penderitaan, dan ketidakadilan yang terasa nyata, kita sering kali merasa terpojok dengan satu pertanyaan, “Bolehkah aku mengeluh kepada Tuhan?” Pertanyaan ini muncul ketika doa terasa seperti tidak mendapat jawaban atau saat penderitaan menimpa tanpa alasan yang bisa dipahami. Namun, pertanyaan tersebut seringkali menjadi sesuatu yang tabu. Kita sering mendengar nasihat bahwa mengeluh adalah tindakan yang kurang baik, serta mengkhawatirkan hal-hal yang berada di luar kendali kita adalah kesia-siaan. Sementara itu, jika kita berani jujur pada diri sendiri, bukankah ada kalanya keluhan merupakan bentuk kejujuran terdalam dari hati manusia? Sebuah upaya mencari makna di balik penderitaan.
Pada bacaan hari ini, Ayub menyuarakan sebuah pergumulan yang sangat manusiawi. Ia tidak hanya menderita secara fisik dan emosional, tetapi juga terluka secara psikologis bahkan spiritual akibat vonis dari sahabat-sahabatnya. Mereka menyatakan bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dosanya. Namun Ayub dengan lantang menolak asumsi ini. Ia menunjukkan bahwa orang fasik pun bisa hidup dalam kelimpahan dan kemakmuran. Anak-anak mereka bersukacita, ternak mereka berkembang biak, rumah mereka aman, dan mereka dapat tertawa. Pernyataan Ayub ini melawan arus pemahaman konvensional masa itu—dan mungkin juga kita hari ini—yang mengharapkan bahwa hidup yang benar selalu akan tampak mulus. Namun satu hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah bahwa Ayub tidak mengeluh kepada manusia, tetapi kepada Tuhan. Ia tetap mengarahkan seluruh keluh kesahnya ke arah yang benar—kepada Sang Pencipta. Hal ini bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan ekspresi iman yang jujur. Dalam keterpurukan, Ayub masih percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat yang layak menerima kejujurannya.
Dari sisi psikologis, keluhan bisa dilihat sebagai bagian dari ‘mekanisme koping’ (coping mechanism) yang sehat. Psikologi modern membagi koping menjadi dua jenis: emotion-focused dan problem-focused coping. Apa yang dilakukan Ayub termasuk dalam problem-focused coping—mengarahkan perhatian pada inti masalah, yakni kegelisahan eksistensial atas ketidakadilan dan absurditas realitas. Dengan kata lain, keluhannya adalah langkah awal menuju penyembuhan, bukan pelarian. Keluhan yang sehat adalah keluhan yang diarahkan kepada Tuhan, bukan sekadar gumaman negatif yang memperpanjang rasa pahit. Mengeluh kepada Tuhan bukanlah perbuatan dosa (selama dilakukan secara wajar/tidak berlebihan), tetapi bagian dari perjalanan spiritual yang jujur dan mendalam.
Sahabat Alkitab, apakah kita masih merasa bersalah ketika ingin mengeluh kepada Tuhan? Pada taraf tertentu, hal tersebut wajar sebagai bentuk kehati-hatian kita, tetapi janganlah menjadikannya upaya untuk membungkam suara hati yang sedang berduka. Pembungkaman tersebut sama dengan pengingkaran atas kondisi hati kita yang mungkin masih terasa gundah, mencoba untuk mencerna segala yang terjadi. Ingatlah bahwa Tuhan membuka telinga-Nya bagi mereka yang dengan jujur mengungkapkan kepedihan hatinya.