Peribahasa di masa lampau mengatakan, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang.” Manusia akan dikenal dan dikenang, bahkan jauh setelah kematiannya karena perbuatan yang ia lakukan, baik kebaikan maupun keburukan. Mungkin inilah yang juga coba disampaikan Ayub pada pasal 19. Menariknya kenangan Ayub atas masa lalunya bukan karena kekayaan atau kekuasaannya, melainkan karena dampak hidupnya yang menjadi berkat bagi banyak orang.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, Ayub menyatakan bahwa ia pernah menjadi mata bagi orang buta, kaki bagi yang lumpuh, dan penghibur bagi yang bersedih. Ia tidak sekadar menjadi orang baik, tapi menjadi sarana kehadiran Allah bagi sesama—mengangkat yang terpinggirkan dan menegakkan keadilan. Integritasnya menjadi kesaksian bagi sekitarnya. Ia dihormati bukan karena hartanya, tetapi karena karakternya. Kata-katanya dinanti seperti hujan musim semi yang menyegarkan tanah yang kering. Orang menanti nasihatnya, dan hadirnya membawa penghiburan, bahkan dalam duka yang terdalam.
Inilah kejayaan yang digambarkan serta diingat Ayub. Ia bagaikan seorang pemimpin di suatu daerah. Ia menasehati warga yang memerlukan, mengadili perkara mereka dengan adil, dan berpihak kepada mereka yang terpinggirkan. Tindakan-tindakan baiknya tersebut melahirkan sebuah rasa hormat yang otentik dari orang-orang sekitarnya. Dari gambaran yang ada di pasal 29 kita bisa mendapatkan tampilan sekilas atas kejayaan Ayub di masa lampau. Hidupnya begitu cerah dan berlimpah berkat. Ironisnya perenungan tersebut terjadi saat ia tengah berada dalam pergumulan yang begitu berat. Namun ingatan akan masa yang cerah itu sekaligus menghadirkan kekuatan serta pengharapan bagi Ayub. Hal itu terjadi karena pemaknaan bahwa kejayaan masa lampau itu terjadi hanya karena campur tangan Tuhan maka masa kini pun tetap menjadi arena perwujudan kasih serta penyertaan-Nya.
Sahabat Alkitab, refleksi Ayub di atas juga dapat mengingatkan kita akan langkah yang hendak kita ambil dalam hidup. Apakah kita akan dikenang karena keburukan atau kebaikan? Tentunya setiap orang ingin dikenal atas dasar kebaikannya, maka dari itu wujudkanlah kebaikan secara konsisten dalam hidup kita sehari-hari. Selayaknya seorang yang tengah menabur benih dan butuh proses untuk bertumbuh serta berbuah, demikianlah kebaikan-kebaikan yang kita tabur dalam hidup. Ayub tidak pernah melandaskan perbuatan baiknya karena usahanya sendiri, melainkan berkat pertolongan Allah semata. Maka kita pun harus menyadari bahwa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan merupakan kasih karunia-Nya semata.