Mazmur 20 adalah sebuah doa sebelum pertempuran. Sebuah kidung yang dinaikkan bukan oleh tentara yang mengandalkan kuda dan kereta perang, melainkan oleh umat yang mempercayakan harapan mereka kepada nama Allah Yakub. Mazmur ini bukan sekadar seruan heroik, tapi sebuah pengakuan jujur, bahkan raja, sang pemimpin tertinggi, tidak mampu menanggung beban sejarah seorang diri. Ia butuh doa umat, dukungan rohani, dan perkenanan Allah. Dalam dunia yang mengagungkan otot, angka, dan kekuasaan, mazmur ini menjadi sebuah kontras, bahwa kekuatan sejati bukan pada persenjataan, tapi pada ketergantungan kepada Tuhan.
“Orang ini memegahkan kereta dan orang itu kuda, tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita” (ayat 8). Bukankah ini pilihan mendasar dalam hidup manusia? Antara membangun citra diri atau berjalan dalam rancangan Tuhan. Namun ketergantungan bukanlah sikap pasif. Dalam mazmur ini, sang raja telah mempersembahkan kurban, menata maksud dan kehendaknya di hadapan Tuhan, dan menyiapkan diri untuk pergi ke medan pertempuran. Doa dan aksi tidak bertentangan, melainkan bertemu di titik kepercayaan. Iman sejati menggerakkan kaki untuk bertindak, bukan karena yakin pasti menang, tetapi karena tahu kepada siapa kita berpihak.
Sahabat Alkitab, ‘pertempuran hidup’ tidak selalu berujung pada kemenangan seperti yang kita harapkan. Tetapi Mazmur 20 mengajarkan, ada bentuk kemenangan yang lain, yaitu tegaknya jiwa yang tetap berdiri ketika dunia runtuh. Seperti kata pemazmur, “Mereka rebah dan jatuh, tetapi kita bangkit berdiri dan tetap tegak”. Pesan ini bukan semata kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas ketakutan, keputusasaan, dan godaan untuk menyerah.